logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Siapa Ayah Sean?

Daniel merebahkan tubuhnya di atas futon di dalam kamar sederhananya. Pikirannya melayang, memikirkan seorang Clarissa Kim. Seorang yang mampu menawan hatinya. Padahal baru kali ini ia bertemu dengan sosok indah itu, apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Tidak mungkin, mungkin ini hanya perasaan kagum sesaat.
Selama ini dia selalu diam, tak pernah menyapa hanya menatapnya dari jauh. Daniel bukan tipe laki-laki yang akan banyak bicara dan merayu sana-sini, namun wanita itu cukup untuk menarik perhatiannya.
"Daniel, kau di dalam!"
Di tengah lamunanya, pria tampan namun pendiam itu dikagetkan dengan suara seorang wanita dari depan pintu kamarnya. Daniel buru-buru bangun dari tidurnya, dan melangkahkan kakinya ke arah pintu untuk membukanya.
Ceklek
Suara pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya memakai hanbok berwarna gelap, dengan hiasan bunga kecil-kecil di bagian bawahnya, tengah berdiri membelakangi pintu kamar milik Daniel. Di tangannya tersemat sebuah buket bunga mawar dan lily putih, yang tampak masih segar.
"Ibu, ada apa?" ujarnya.
Wanita tersebut menatap teduh ke arah puteranya seraya mengusap lembut helaian rambut berwarna brown milik Daniel. Bibirnya tampak bergetar, dan wanita itu tiba-tiba berkata, "Kau sangat mirip dengan Kakakmu, Daniel. Ibu begitu merindukannya." Tanpa sadar setetes kristal bening jatuh menyusuri pipi putihnya. Wajah cantiknya berubah sendu setiap mengingat putera pertamanya yang sudah lebih dulu pergi menghadap Tuhan.
Ada perasaan sakit setiap mengenang mendiang kakaknya. Ibunya adalah orang yang paling terpukul atas kematian Jason. Tangannya terjulur untuk menghapus air mata orang yang telah melahirkannya yang masih deras mengalir. "Ibu. Ini sudah sebelas tahun berlalu. Tidakkah Ibu akan merelakannya. Lihatlah, Kakak akan bersedih jika Ibu terus seperti ini," ucapnya seraya merengkuh tubuh wanita kesayanganya.
Nyonya Baek hanya mampu tersenyum pahit, walaupun sudah 11 tahun berlalu, namun hatinya seakan belum rela menerima kematian putra yang amat disayanginya itu.
"Daniel cepat ganti bajumu, Nak. hari ini peringatan sebelas tahun kematian kakakmu, kita akan mengunjungi makam  kakakmu bersama-sama." Daniel lantas melepas rengkuhannya pada tubuh ringkih Airin Baek. Ada kilatan sendu yang tertangkap dalam kedua mata yang terlihat sayu.
Hanya dengan mengangguk, Danuel memberikan jawabannya. "Baik, Bu."
"Ibu tunggu di depan, cepatlah bergegas." Wanita itu menepuk bahu anaknya pelan sebelum ia sendiri berallu dari deoa kamar Daniel. Menyisakan pria itu dengan helaan napas lelahnya.
"Ibu, sampai kapan kau begini." Dia bergumam sesegera mungkin menutup kembali pintu kamarnya dan bergegas mengganti baju.
Sebelas tahun telah berlalu saat kakak laki-lakinya itu meninggal, rasanya sosok kakaknya itu masih berada di sampingnya. Daniel begitu menyayangi sosok yang menjadi panutannya itu. Kakak laki-laki yang selalu menjadi contoh untuknya, pelindungnya setelah ayahnya meninggal sejak Danuel masih di dalam kandungan.
***
Clarissa menatap kosong dari balik kaca jendela kamarnya, pikirannya terus berkecamuk memikirkan pemuda bernama Daniel Baek itu. Kenapa wajah mereka begitu mirip, namun kalau dilihat lagi, Daniel masih terlihat jauh lebih muda, dari orang itu. Daniel itu pendiam, tidak banyak bicara. Sedangkan orang itu, dia laki-laki yang banyak bicara dan banyak tersenyum.
"Apa yang kupikirkan, kenapa selalu Daniel, pemuda dingin yang menyebalkan. Tidak, aku tidak memiliki perasaan apapun padanya." Kepalanya menggeleng cepat dengan bibir terkekeh.
"Ibu!" Clarissa menoleh ke belakang, didapatinya Sean— putra kecilnya—tengah berdiri di depan pintu kamarnya, dengan raut sendu di wajah tampanya.
"Sean, ada apa? Ayo ke mari." Tangannya melambai ke arah Sean yang kini memilih berjalan dengan wajah menunduk.
Clarissa menepuk-nepuk kasur tempatnya ia duduk. Sean melangkah pelan menghampiri ibunya. Ia mendudukan tubuhnya di samping wanita yang telah melahirkannya itu masih dengan ekspresi yang sama. Wajah tampannya senantiasa lebih suka menatap lantai
"Sean, apa yang terjadi denganmu? Bicara pada Ibu, ada yang kau pikirkan?" tanyanya seraya mengelus surai hitam milik putranya.
"Bu." Ucapannya begitu lirih, bahkah terdengar serak. Dia tahu anak itu menahan tangis.
Didekapanya tubuh kecil putranya erat-erat. "Sean kenapa menangis? Apa Ibu berbuat salah padamu, hem?"
"Tidak Bu, Sean hanya merindukan Ayah, kapan kita akan bertemu Ayah." Clarissa menatap sendu ke arah putranya, menghapus air mata yang masih deras mengalir di pipi gembil putra kecilnya.
Bibir merahnya seketika terkatup rapat. Apa yang harus ia katakan, sementara saat ini, ia pun belum mengetahui informasi sedikitpun soal pria itu. "Maafkan Ibu, tapi secepatnya Sean pasti akan bertemu dengan Ayah." Dia mencoba menghibur, meskipun ia sendiri tak yakin dengan ucapannya.
Sean mengangguk walau ragu.
"Ibu, seperti apa wajah Ayah, apakah dia tampan sepertiku?" Dia bertanya antusias. Matanya yang tadi memerah karena menangis kini terlihat ada binar semangat dari retina yang tertangkap pandangan dari Clarissa.
"Ya, Ayahmu tampan sepertimu," ujarnya, dengan senyum tipis menghias bibir merahnya. Kenyataannya pria itu memang sangat tampan.
"Sungguh, Ibu tidak berbohong," ucapnya antusias.
Clarissa tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa mengatakan sebuah kebohongan. Janji yang selalu ia katakan pada Sean pada akhirnya akan teringkari.
Bertemu dalam waktu dekat, itu adalah hal mustahil sedang keberadaannya saja ia tak tahu. Tak ada secuil pun informasi tentang lelaki itu. Semuanya terasa abu-abu.
(Maafkan Ibu, Sean. Di mana kau sebenarnya, putramu sangat merindukanmu,) batinnya berkata.

Comentário do Livro (9)

  • avatar
    Simpati Telkomsel

    bagus

    14/07/2023

      0
  • avatar
    tedjo pramonofanny

    apa ada kelanjutannya nggak guys

    05/09/2022

      0
  • avatar
    VictoryFery

    bgs

    10/06/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes