logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

4. Alva

"Bagaimana kabarmu dan Runi?" Sudah lama sekali Tante Mia tidak berbincang dengan Alva, sikap dingin Alva padanya membuat Ia kesulitan untuk mengajak bicara. Alva yang sebenarnya enggan untuk menemui Tante Mia terpaksa menemuinya. Bagaimanapun juga Tante Mia lah yang merawat dia dan adiknya sejak kecil, setidaknya dia harus menghormatinya.
"Kami baik-baik saja, kau tak perlu khawatir." Ada kecanggungan diantara mereka, Alva menatap dingin Tante Mia, sambil sesekali melihat ponselnya. Hal itu membuat Tante Mia sedih, Ia tak menyangka Alva akan sedingin ini padanya. "Apa kau benar-benar akan membuka kasus itu lagi?" Tante Mia bertanya dengan hati-hati.
"Iya, aku akan mengusahakannya." Satu jawaban mantap dari Alva mengubah raut wajah Tante Mia, wanita itu terlihat khawatir. "Apa kau perlu bertindak sejauh itu? Lagi pula kasus ini sudah lama di tutup." Tante Mia mencoba membujuk Alva, tapi Alva tak akan pernah sependapat dengan wanita itu, dia jelas menolaknya, "Aku akan tetap melakukannya walau kau memintaku berhenti."
Kekhawatiran semakin jelas terlihat di wajah Tante Mia, sejujurnya dia tidak mau anak asuhnya itu berurusan dengan hukum yang akan mempersulit dirinya. "Tapi itu tak akan mudah, justru akan mempersulit hidupmu." Wanita itu berusaha membujuk Alva sekali lagi. Alva bangkit dari tempat duduknya, menatap Tante Mia dengan marah. "Lalu?? Apa aku harus diam saja? Seperti yanh kau lakukan?". Mendengar itu tante Mia terdiam, yang dikatakan Alva adalah sebuah fakta, fakta yang menghantam tepat di dadanya. Saat itu juga hatinya teriris, dia mengaku salah. Dia merasa buruk karena tak melakukan apapun walau tahu kebenarannya. Seolah-olah di jahit, lisannya tak bisa mengucapkan sepatah katapun, wanita itu hanya menunduk sambil memaki dirinya sendiri dalam hati.
Sementara Alva hanya berdiri disana, matanya mulai bergetar, merasa menyesal dengan apa yang baru saja Ia katakan. Seharusnya Ia tak sekejam itu, api Ia tak berani untuk mengakuinya, bahkan sekedar mengucapkan maafpun terasa sulit, karena rasa bencinya pada wanita itu. Tiba-tiba ponselnya berdering, setelah membaca pesan yang baru saja masuk Ia bergegas pergi, namun sempat mengucapkan satu kalimat untuk tantenya itu, "Maafkan aku. Mulai sekarang kau harus hidup di hidupmu sendiri! Aku akan mengurus Runi dengan baik."
Setelah mengambil mobilnya dari parkiran restoran, Alva buru-buru masuk, menancap gas dan pergi. Satu pesan lagi masuk di ponselnya, masih dari orang yang sama, "Tunggu aku di depan minimarket saja!!" itulah isi dari pesan yang Ia terima.
Dengan kedua tangan berada di saku jaket, Alva berjalan mondar mandir tepat di depan minimarket dekat kantor polisi Yonsam. Dia mengadakan janji bertemu dengan temannya hari ini, "Apa kau menunggu lama?" Seseorang memanggilnya. Dia Leon teman Alva saat kuliah. Alva langsung menghentikan kegiatan mondar-mandirnya yang sebenarnya tidak bermanfaat itu, dan bergegas menghampiri temannya dengan langkah cepat, "Apa kau mendapatkannya?"
"Apa ini yang kau cari?" Leon mengangkat sebuah map dengan tangan kanannya, tanpa basa-basi Alva langsung merebutnya dari tangan Leon. Ia mulai membuka map itu, membaca dan mempelajarinya dengan cepat, mencoba memastikan apa dokumen itu yang Ia cari. Setelah merasa cukup, dia menutup kembali map itu. "Benar, ini yang kucari."
"Mencari dokumen yang dibuat sepuluh tahun lalu bukanlah hal mudah." Leon menggerutu, jika bukan karena Alva adalah teman baiknya, dia tak akan mau mencari dokumen yang hampir mustahil untuk dicari, bagaimana tidak ada banyak dokumen lama yang menumpuk di tempat yang sama dan Leon harus membukanya satu persatu.
"Apa yang kau mau? Coffee? Teh? Atau yang lain? Katakan padaku!" Karena merasa hutang budi, setidaknya Alva harus membalasnya walau hanya dengan secangkir kopi. "Yang aku ingin?pacar? Hahhaha!!" Leon tertawa di akhir kalimat, dia memang suka bercanda. "Hahahha, kau mau tambah berapa lagi?" Alva juga ikut tertawa menanggapi temannya itu. Sama-sama mengenyam pendidikan di Police University membuat mereka berteman dekat, walaupun akhirnya mereka ditempatkan di distrik yang berbeda.
"Tapi ngomong-ngomong, kenapa kau membutuhkan dokumen itu?"
"Aku akan memberitahumu lain kali! Telepon aku jika kau ingin minum kopi!" Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Alva sebelum dia pergi. Jam makan siang akan segera berakhir, dia harus segera kembali ke kantor polisi Ansami, tempatnya bekerja.
☆○☆○☆
Alva datang ke kantor polisi Ansam tepat saat dirinya dicari, "Cepat!! Kepala Jong mencarimu!!" Seorang petugas yang sedang duduk di meja kerjanya tiba-tiba memberi berita buruk. Jika kau tiba-tiba dicari kepala Jong berarti ada dua kemungkinan, yang pertama karena kau berprestasi dan kau dipanggil untuk mendengarkan beberapa pujian, sedangkan kemungkinan yang kedua adalah karena kau bermasalah dan kau akan mendapat semprotan. Dan kemungkinan yang Alva miliki adalah yang kedua, jadi Alva buru-buru menemui Kepala Jong sebelum kena semprot.
"Detektif Alva, darimana saja kau?" Wajah garang Kepala Jong sudah terpasang, Alva pun langsung meminta maaf, "Maafkan saya, jalanan sedikit macet tadi."
"Alasan" Ternyata alasan yang diberikan Alva tak membuat kepala Jong percaya. "Baru menjadi detektif pemula, tapi sudah berani membuat masalah!"
Alva menundukan kepalanya, meminta maaf sekali lagi "Maafkan saya." Kepala Jong merasa harus memberinya pekerjaan lebih, menempatkannya dalam Unit Kejahatan Ringan ternyata membuat Alva banyak menganggur. Jadi keputusan Kepala Jong adalah memindahkannya ke Unit Kejahatan Berat untuk mengungkap kasus yang sulit, jadi tak ada waktu bersantai untuknya. "Mulai sekarang aku akan memindahkanmu ke Unit Kejahatan Berat. Masuklah ke tim detektif Han, bantu dia menyelesaikan banyak kasus!"
Tentu saja Alva terkejut dengan keputusan kepala Jong yang terdengar mendadak. Entah harus sedih atau bahagia mendengarnya. Alva merasa senang karena masuk Unit Kejahatan Berat adalah keinginannya sejak lama, tapi di sisi lain Ia merasa belum mampu. Meskipun begitu Alva tak punya pilihan lain selain menerima keputusan itu dengan lapang dada, tak mungkin Alva akan membantah perintah dari kepala Jong. "Saya akan bekerja sebaik mungkin." Dengan sedikit ragu, Alva menerimanya.
☆○☆○☆
Biasanya supirlah yang akan menjemput Yuna, tapi kali ini ayahnya datang sendiri ke sekolah untuk menjemputnya. Setelah melihat mobil ayahnya sudah berada di depan gerbang, Yuna segera menghampiri.
Ayah Yuna adalah seorang anggota dewan yang sangat disegani masyarakat, citra baiknya sudah menyebar di seluruh kalangan masyarakat karena selalu membantu masyarakat yang membutuhkan dan menjadi donatur di berbagai sekolah. Dia adalah pemilik yayasan SMA Smart Star, yang tak lain adalah SMA tempat anaknya sekolah. Tidak Hanya itu ayah Yuna atau yang sering dipanggil Tuan Sanjaya itu juga memiliki bisnis makanan yang sudah merambah ke seluruh penjuru negeri. Tak heran jika Yuna dinobatkan sebagai siswa terkaya disekolahnya.
"Ayah! Tumben sekali kau yang menjemputku."Yuna memasuki mobil, duduk manis di depan bersama ayahnya. "Ayah kebetulan lewat." Sang Ayah langsung menancap gas, mengantar anaknya pulang.
"Ayah dengar ada murid baru di kelasmu. Apa dia pintar?" Entah dari mana ayah Yuna tahu perihal ini, tapi tiba-tiba saja beliau bertanya. "Aku sudah bertanya Pak Anas, dia murid yang aktif tapi tidak terlalu pintar." Dengan mata yang terfokus membaca buku, Yuna menjawab pertanyaan Ayahnya.
"Bagus kalau begitu, sayangnya Hana lebih pintar darimu." Ayah Yuna sangat terobsesi dengan nilai dan peringkat anaknya. Yuna selalu dituntut untuk mendapat nilai yang sempurna, dan peringkat satu. Namun sayangnya sampai sekarang Yuna belum bisa mengalahkan Hana.
Yuna merasa tersinggung dengan perkataan ayahnya yang selalu membandingkan dirinya dan Hana Dia menutup bukunya dengan keras, "Ayah! Aku sudah berusaha keras untuk mengalahkannya. Berhentilah membandingkan aku dengan Hana." Yuna menatap ayahnya marah, namun sang ayah tak peduli dan terus fokus ke jalan, "Kalau kau tak mau dibanding-bandingkan, lebih baiklah darinya!!" Yuna hanya menahan amarahnya, dia mengepalkan tangan. Dalam pikirannya hanya ada sosok Hana yang selalu membuat dia terintimidasi ayahnya sendiri.
Setelah sampai dirumah mewah tempat tinggalnya, Yuna keluar mobil dan menutup pintunya dengan keras sebagai tanda marahnya pada sang ayah. Namun ayahnya tak merasa terusik, langsung menancap gas lagi dan pergi. Walaupun ayahnya sudah tak terlihat, tapi wajah marah Yuna masih ada.
Masuk dengan wajah cemberut, Yuna membuat ibunya bertanya-tanya. "Sayang, apa yang terjadi? Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?". Yuna melempar tasnya ke sofa kemudian duduk disamping ibunya, "Ayah membuatku kesal, dia membandingkanku dengan Hana lagi."
"Apa? Lagi? Ayahmu benar-benar!!", Ibu Yuna mendekat padanya, "Tenang saja, Ibu akan bicara pada ayahmu". Yuna menatap ibunya, "Percuma, ayah akan terus membandingkanku selama Hana masih berada di peringkat satu." Yuna bangkit dari duduknya, mengambil tasnya lagi dan menuju ke kamar. Semantara Ibu Hana memutar otaknya berusaha mencari cara agar anaknya bisa mengalahkan Hana.

Comentário do Livro (86)

  • avatar
    MikaKyra

    alur ceritanya benar-benar bagus. Penulis nya hebat dapat membuat cerita seperti ini. Semangat untuk penulis nya

    02/01/2022

      0
  • avatar
    junelsyDelphi

    bgus

    04/04

      0
  • avatar
    Lamongan IndahPraditha

    🥳🥳🥳

    01/03/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes