logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Keputusan

Setiap rumah tangga itu bermasalah.
Yang perlu diselesaikan itu masalahnya ... bukan rumah tangganya.
Cinta sejati saling melengkapi kekurangan.
Bukan menuntut sebuah kesempurnaan.
♡ ♡ ♡
Firda tak bergeming. Tangannya pun diam, tak melanjutkan mengemasi baju-bajunya dan juga baju putrinya. Rayan masih saja memohon bahkan sekarang memeluk kembali kakinya sambil menangis dengan kerasnya.
Firda tahu, Rayan selalu seperti itu, terlihat pemarah tapi dia tak akan pernah bisa hidup sendirian. Firda juga selalu tak bisa membiarkan Rayan seperti ini, hatinya selalu tidak tega. Entah karena rasa kemanusiaan atau rasa cinta yang sudah mengakar di hatinya.
Akhirnya hati Firda pun luluh, dia membantu Rayan berdiri dan mereka saling berpelukan, saling menangisi keadaan, padahal jelas-jelas Firda saat ini adalah korban. Namun, kenyataannya Firda masih saja memaafkan.
Apa yang ada di pikiran Firda saat ini, dia pun tak mengerti. Yang dipikirkan hanyalah rasa bersalah jika Rayan benar-benar akan bunuh diri.
"Tolong, bawa Syifa kemari, biar dia tidur di sini. Aku juga ingin tidur. Aku lelah. Kita bicara besok lagi," ucap Firda pada sang suami.
Rayan pun melepas pelukannya lalu melangkah ke kamar sebelah, menggendong putrinya yang masih terlelap dan membaringkannya di samping Firda. Rayan pun turut merebahkan tubuhnya di samping istrinya. Dia diam tak berani bersuara, karena pikirannya juga sedang tak baik-baik saja. Rayan takut jika dia tidur, Firda akan nekat kabur. Dipeluknya istrinya dari belakang, dipeluknya erat meskipun Firda memilih berpura-pura terlelap. Untuk saat ini Rayan sangat bersyukur, istrinya tak melanjutkan niatnya untuk pergi dari rumah dan meninggalkannya.
Rayan benar-benar takut kehilangan istrinya. Penyesalan memang selalu datang belakangan. Sementara Firda juga bingung entah apa yang akan dia lakukan. Karena Firda tak mau mengambil keputusan dengan emosi dan terburu-buru. Firda benar-benar memikirkan baik buruknya jika dia pergi, meskipun dalam hati kecilnya sangat menginginkan meninggalkan suaminya saat ini juga. Ibunya, putrinya, hanya itu yang ada di pikirannya. Firda tak pernah memikirkan dirinya sendiri, karena baginya kebahagiaan ibunya dan keluarganya adalah yang utama.
Akhirnya menjelang dini hari, mereka pun sama-sama masuk ke alam mimpi. Keduanya tak bisa tidur dan memikirkan langkah apa yang akan mereka lakukan esok hari.
Pagi harinya, aktivitas berjalan seperti biasa dan seperti tidak terjadi apa-apa.
Begitulah mereka, bertahun-tahun hidup berumah tangga, jika ada pertengkaran atau pun perselisihan yang terjadi malam hari, maka pagi harinya seperti tidak terjadi apa-apa. Begitu pun sebaliknya, jika ada masalah atau pertengkaran pada pagi hari, maka suasana pun akan kembali seperti biasa pada malam harinya. Entah itu masalah sudah diselesaikan atau hanya dibiarkan menggantung tanpa kepastian.
Firda sebenarnya tak menyukai hal itu, tapi dia tahu, Rayan tak suka jika dia membahas masalah yang sudah terjadi dan tak ingin lagi mengingatnya kembali. Firda pun akhirnya mengikuti keinginan suaminya, tak pernah lagi membahas suatu masalah jika keadaan sudah terlihat baik-baik saja.
Rayan tetap pergi bekerja, meskipun berat sekali rasanya. Dia takut istrinya akan pergi meninggalkannya di saat dirinya tak ada di rumah. Namun, jika dia tak masuk kerja, Rayan juga bingung mencari alasannya. Begitu pula dengan Firda yang tetap mengurus rumah tangga dan putrinya seperti biasa. Tapi entah dengan pikiran mereka, karena hanya kebisuan yang ada. Rayan pun masih tak berani banyak bicara kepada istrinya.
Di saat jam makan siang, ponsel Firda berdering. Terlihat di layar ada nomor yang tak dikenalnya dan sepertinya telepon dari salah satu kantor atau rumah dengan kode tiga angka di depannya.
"Assalamu'alaikum, Mama di rumah, kan? Mama sudah makan?" sapa seseorang yang ternyata Rayan. Suaminya menelepon dengan menggunakan telepon kantor di mana dia bekerja.
Ponsel Rayan yang pecah, pastinya tidak bisa dipakai lagi. Dan saat ini Rayan pun tak ada uang untuk membeli ponsel lagi.
"Iyaa, aku di rumah. Alhamdulillah sudah makan," jawab Firda singkat.
Biasanya Firdalah yang sering menanyakan kabar suaminya di saat istirahat siang.
Namun, kali ini berbeda, Firda tak lagi menanyakan kabar sang suami. Firda hanya menjawab telepon Rayan dengan singkat tanpa basa basi.
"Alhamdulillah, ya sudah, aku mau melanjutkan pekerjaanku lagi. Assalamu'alaikum." Rayan menutup teleponnya karena dia tahu istrinya sedang tak ingin banyak bicara.
Hatinya pun lega, setidaknya istrinya masih tetap di rumah, tak pergi seperti yang ditakutkannya.
♡ ♡ ♡
Merebahkan diri, menetralkan hati, mengistirahatkan badan, menenangkan pikiran, Firda memikirkan apa dan bagaimana tindakan selanjutnya. Teringat kabar dari ibunya waktu itu, Firda tak ingin membuat hati ibunya bertambah pilu. Firda tak ingin ibunya sedih jika mendengar rumah tangganya berantakan. Apalagi jika mendengar menantu yang sudah diperjuangkan dulu berselingkuh dengan istri orang. Rasanya tak sanggup Firda mengatakan semua itu pada semua orang jika mereka harus berakhir pada perceraian.
Firda adalah anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Kakak-kakaknya laki-laki semua dan yang rumah tangganya tetap utuh hanya satu. Ketiga kakaknya sudah berpisah. Dan yang dua sekarang sudah kembali berkeluarga. Firda tak ingin mengikuti jejak mereka, walaupun Firda tahu tidak mudah menjalani semuanya.
Yang menjadi beban pikirannya hanyalah ibunya. Firda tak ingin ibunya merasakan lagi kesedihan. Kakaknya yang ketiga sudah bercerai baru beberapa bulan. Firda tak ingin ibunya mendengarkan lagi masalah rumah tangga anaknya yang akan mengalami lagi sebuah perpisahan.
Memandang wajah mungil Syifa yang terlelap di sampingnya, tak luput dari pikirannya. Firda juga ingin anaknya bahagia tanpa merasakan sebuah keluarga yang orangtuanya harus berpisah.
Kembali pikirannya ke masa itu, saat remaja bahkan masih usia sekolah menengah, Firda ikut merawat anak-anak kakak pertamanya. Kakak pertamanya terpaksa bercerai karena istrinya sudah tak bisa diberi pengertian lagi. Istri kakaknya dulu sangat posesif dan tak mau mengerti kondisi suami. Anak-anaknya pun dibiarkan tak terawat. Setiap hari isinya hanyalah perdebatan dan pertengkaran hebat.
Kasihan anak-anaknya, kakak adik yang masih balita. Anak pertama usianya dua tahun dan yang kedua usianya masih lima bulan, masih sangat membutuhkan kasih sayang orangtuanya. Firda dan ibunya merawat mereka bersama. Kala itu masih ada ayahnya. Ibu dan ayahnya dibantu Firda saling bantu merawat kedua balita itu. Kakaknya harus ke Jakarta untuk bekerja. Sampai Firda lulus SMA, ayahnya akhirnya meninggal dunia.
Alhamdulillah sekarang kakak-kakaknya sudah bahagia dengan keluarga barunya. Istri-istri mereka menerima dengan ikhlas dan sayang anak-anak tirinya.
Firda juga bukan dari keluarga kaya. Mungkin om, tante, kakek, nenek dan pamannya kaya raya, tapi orangtuanya sangat sederhana. Bahkan mereka tak punya rumah. Ibunya sekarang tinggal bersama salah satu saudaranya. Firda sebenarnya selalu mengajak ibunya tinggal bersama dirinya, namun ibunya menolak dengan alasan tak ingin mengganggu rumah tangga putri satu-satunya.
Lalu jika Firda berpisah dengan Rayan, dia akan pulang ke mana?? Tabungan tak punya, uang juga hanya tinggal beberapa lembar saja.
Firda bisa saja tinggal di kontrakan kecil yang murah dan bekerja apa saja, tapi bagaimana dengan putrinya? Apa dia harus mengajak Syifa ke mana pun dia pergi? Tak akan mungkin Firda melakukannya.
Firda juga merasa bukan wanita yang berparas cantik, hanya saja Firda mempunyai kulit yang putih bersih. Wajahnya sederhana saja meskipun banyak yang bilang Firda ayu dan keibuan. Dengan pakaian yang selalu longgar dan berhijab panjang, Firda tahu dia tak akan mudah mendapatkan pekerjaan. Apalagi Firda hanya tamatan SMA, meskipun dulu setelah lulus dia pernah bekerja di kantor bagian administrasi salah satu perusahaan. Namun Firda sadar, waktu gadisnya dulu berbeda dengan keadaan sekarang.
Firda bangkit lalu mengambil air wudhu dan melaksaan kewajiban empat rakaatnya. Berdo'a dan berdo'a, memohon ampunan dan kemantapan hati dalam keputusan yang sudah diambilnya.
Firda telah memutuskan untuk memaafkan Rayan. Sebuah keputusan yang tak mudah baginya. Meskipun sesak di dada, bayangan pesan-pesan mesra yang menyakitkan selalu menghantui pikirannya. Firda akan belajar dan berusaha untuk melupakannya.
Firda akan berjuang untuk keutuhan rumah tangganya. Firda yakin dengan keputusannya. Keputusan yang mungkin banyak orang tidak setuju, namun Firda lebih memilihnya karena kasih sayang pada ibunya dan juga putrinya. Namun, niat yang utama adalah karena Allah Subhanallahu wa Ta'ala. Setiap orang pasti pernah khilaf dan berbuat dosa. Allah saja Maha Pengampun, apalagi dirinya yang hanya seorang manusia.
Firda berjanji tak akan menceritakan kepada siapa pun aib rumah tangganya. Bahkan kepada saudara-saudara Rayan. Apalagi saudaranya sendiri. Biarlah semuanya akan dia pendam sendiri di dalam sanubari. Meskipun hari-harinya nanti akan dilalui dengan hati yang perih.
"Pasti aku bisa, semua sakit hati ini akan hilang dengan sendirinya. Aku akan selalu mencoba melupakan semuanya, seiring berjalannya waktu, aku yakin bisa melakukan itu." Firda berkata menyemangati diri sendiri. Berusaha tersenyum dan menghilangkan kesedihan di hati.

Comentário do Livro (88)

  • avatar
    LiyduLismawati

    ceritanya bagus.. ga nyangka firda sesabar dan seikhlas itu. lika liku rumah tangga betul betul berat

    15/08/2022

      0
  • avatar
    avrilliaNiaa

    waww

    6h

      0
  • avatar
    FaradilaMuliani

    terima kasi

    18d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes