logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Latihan Teater

Aku hanya ingin mengetes saja, mereka ke sini tahu tujuan apa tidak. Kali saja, ada yang tidak tahu tujuannya di sini itu apa.
Beberapa detik memang kurasa hening, namun sesekali terpecah oleh satu jawaban.
"Tujuannya mau actink, Gus. Kan di tanggal tiga puluh april mau pentas Teater di Aula Pondok Pesantren Fatimah Hasyim."
Iya, itu santri putri yang tadi. Yang katanya Gus Hasan itu pemain utamanya.
"Ya sudah kalau sudah tahu tujuannya ... sekarang aku tanya, tokohnya atau pemerannya siapa saja ini?"
Aku tidak hanya memusatkan pandangan ke arah santri putri yang tokoh utama itu, tetapi juga ke arah mereka semua yang memang niat mau tampil di tanggal tiga puluh buat teater.
"Banyak, Gus. Ya, semua ini adalah tokohnya."
"Maksudnya? Semua yang dihadapan saya ini yang jadi tokoh?"
Aku tercekat heran.
Semua ini tokoh? Lalu bagian tata busana, tata rias, properti dan lainnya siapa? Kalau memang di sini semuanya tokoh.
Selesai. Kalau soal penata lampu dan panggung, itu memang aku yang akan membantu. Tetapi kalau properti sama lainnya bagaimana? Bukan aku lagi, soalnya.
"Ada dua belas pemain utama sama enam pemain sampingan."
Aku mendengar jawaban lagi dari santri putri yang sedang ada di sebelah si tokoh utama tadi.
"Pemain utamanya itu selalu ada di setiap alur apa?"
Aku masih bingung rasanya, apa mungkin mereka semua ini pertama kali ya? Buat tampil teater?
"Ya ... tidak semuanya, Gus. Intinya yang muncul di setiap alur, itu hanya beberapa saja. Namun hanya lebih sering gitu saja, Gus. Mangkanya jadi pemain utama."
Semakin runyam pertanyaan yang ada dibenakku ini buat mereka kali ini.
"Cerita dalam teater ini gantung ... atau dibuat ending sejelas-jelasnya?"
Wajah mereka semua seperti penuh tanya, bahkan mulai dari si pemeran utamanya saja itu masih tengok kanan tengok kiri buat tanya soal naskah.
"Naskahnya ini masih belum selesai, Gus. Kami masih menyelesaikan setengah ... dan kami begitu kesulitan saat membuat teks naskahnya."
Semakin heran pula aku.
Aku kira di sini akan tinggal melatih saja, tapi kok tidak. Ya sudah, harus lebih sabar saja.
"Kesulitan bagian yang mana? Coba kamu ke sini, menjelaskan dari mana sulitnya?"
Aku menyuruh salah satu santriwati yang aku latih ini maju.
Aku ingin melihat hasil naskah hasil buatan mereka. Mungkin stragtregi pembuatannya ada yang salah. Sehingga mereka jadi bingung.
Sampai yang difokuskan itu perasaan hanya tokohnya saja, soal penangung jawab lain sampai tidak terpikir.
Saat teks aku pegang, Gus Hikam ini malah mendadak datang.
Mungkin Ia ingin berbicara.
"Assalamu'alaikum, Gus."
Gus Hikam menyapa salam tetapi dengan tangan yang tidak berjabat, namun tangan yang menepuk agak keras saat mendaratkannya pundakku.
Gus Hikam memang tidak bisa Flat. Taunya itu santai. Namun santainya tidak tahu orang. Cukup berlebihan.
Gus Hikam berdiri, namun aku tetap terduduk. Sudah terlalu nyaman untuk duduk. Jadi yang aku perlukan cuman cukup menatap lalu membiarkan Gus Hikam berbicara.
"Wa'alaikumsalam, ada apa?"
"Gus ... bagaimana kita bagi pelatihnya ... aku akan melatih santri putra dan Gus tetap ngelatih santri putri sini. Bagaimana, Gus?"
Aku tercekat mendengar itu.
Oh, ada dua babak ya?
Kok tadi tidak bilang-bilang kalau ada dua babak.
Atau aku yang kurang tahu informasi?
Aku saja baru tahu, kalau santri putra juga akan pentas.
"Lho ... yang mau tampil nanti itu dua babak? atau bagaimana"
Aku beranjak dari tempat, menghadap ke depan Gus Hikam yang tepat selisih dua langkah darinya.
Memastikan perkiraanku soal pementasan itu benar.
"Kan sudah di umumin Gus Faksyah kalau tampilnya dua babak dan itu dalam satu hari yang sama. Kan sudah disampaikan di grup."
Ku lirik sejenak para santri putri yang aku latih itu, mereka seperti ikut tercengang melihat aksi kami. Yang saling berbicara serius.
Aku sebagai gus, tahu tentang bagaimana kehidupan para santri. Yang terkadang spaneng dalam pembelajaran baik maknai kitab ataupun pelajaran sekolah formal yang lain.
"Ya allah, aku tidak tahu. Ya aku kira itu, cuman ini saja. Santri putri yang aku latih ini."
Aku memakai alasan yang benar-benar ada di depanku saat ini, bagaimana aku bisa teledor seperti ini?
Apa aku terlalu banyak santainya? Atau bagaimana? Perasaan aku santai, palingan aku kalau lagi panas-panasnya kepalaku. Ya, aku tinggal hijrah bentar.
Alias, jalan-jalan ke arah manapun mengenakan motor yang baru setahun lalu aku beli.
Itupun, aku sudah jarang banget.
Belakangan ini kesibukanku benar-benar padat dan tidak bisa ditinggalkan.
"Tidak, Gus. Tapi santri putra juga."
Tatapanku menatap kosong ke daun pintu hijau yang menetap di sana, namun anehnya aku masih mendengar suara Gus Hikam yang terus menjelaskan.
"Kalau begitu, terserah kamu. Aku nglatih sini saja."
Aku mengambil posisi duduk, dan sedikit tersenyum nyengir menatap balik pandangan Gus Hikam.
"Sepakat, Gus?"
Jelas, kebiasaannya selalu menanyakan yang sudah aku jawab sebelumnya.
"Ya ... sepakat, aku."
Aku mengangguk tidak biasa. Sambil memberikan senyum.
"Ya sudah, Gus. Aku mau ngelatih santri putra, katanya naskahnya sudah jadi. Hanya tinggal fokus pelatihan!"
"Tempatnya di mana kalau putra?"
"Di taman Darul Mustaqim yang baru itu. Di sana cukup luas dan menyejukkan bila aku buat melatih mereka, soalnya."
"Ya sudah, terima kasih ya ... kalau kamu tadinya tidak ke sini, aku tidak tahu informasi lengkapnya."
"Sama-sama, Gus. Kita itu satu tim. Tentunya harus saling mengingatkan."
Aku mengangguk sambil sedikit melongo menatap Gus Hikam sampai Ia sendiri keluar dari aula kami.
Lalu, aku fokuskan kembali pelatihanku ke Santri putri.
Aku membaca teks dengan judul "merek" isinya kurasa memang sedikit aneh, latarnya juga masih belum menentu, alurnya acak-acakan. Ketikannya juga amburadul tidak sesuai kaidah. Ya Allah, kali ini pelatihan harus lebih sabar.
"Kamu duduk saja nduk, biar aku jelasin."
Untungnya di aula sini ada papan. Aku bisa jelasin secara terang-terangan. Stragtregi mereka salah dan aku harus memperbaiki.
"Mana spidolnya?"
Ini papan putih, namun aneh tidak ada spidol.
"Nduk, spidolnya mana?"
Aku melirik ke arah santri putri yang jumlahnya sekitar dua puluhan itu.
Mereka malah sibuk bersahut bicara dengan samping kanan samping kiri di tengok berkali-kali.
Aku cari spidol di laci yang ada di pojok Aula, ternyata hanya nyamuk isinya.
Banyaknya barang bekas yang tidak terpakai, membuat nyamuk makin bahagia bertempat di situ.
Apa ini sengaja dibiarkan atau bagaimana? Seharusnya kalau aula, itu sebelum dipakai itu seingatku selalu dibersihkan dulu. Tapi kalau ini digunakan seadanya.
"Sudah ... saya pakai spidol milik saya saja."
Aku menghentikan keramain yang membendung, mengambil sergap spidol di tas coklat moka milikku yang selalu aku bawah kemana-mana.
"Gini Lho ... kalian kemarin itu buatnya gimana?"
Aku menghadap ke arah para santri putri yang aku latih ini dengan tangan kiri yang bersandar di dinding dekat papan.
Ekspresiku datar dan menunjukan benar, kalau aku ini bertanya sungguhan.
"Ya ... sekedar buat begitu saja, Gus."
"Kalian buatnya ini dialog dulu apa?"
"Iya, Gus."
"Sudah aku duga, gini lho ... kalau kalian membuat naskah teater alias film perdana seperti ini. Kalian harus terlebih dahulu nentuin tokoh. Itu yang pertama, lalu yang ke dua apa Gus? Yang ke dua itu, kalian harus fokus pada tokoh yang kalian buat, semisal bila jumlah tokohnya lima belas, yang dijadikan tokoh utama itu setidaknya tiga sampai lima ... kalau yang kalian jadikan lima belas atau sepeluh itu namanya tokoh yang hanya sering muncul saja dalam cerita yang mengikuti tokoh utama tapi kedudukannya sama seperti tokoh lain."
"Gus, tokoh utama itu seperti apa?"
"Tokoh yang selalu ada di setiap alur cerita, maksudnya itu terus ada dalam cerita."
"Gus, haruskah ada tokoh jahat dalam cerita?"
"Nggak wajib itu, dengar ya ... tokoh jahat itu sebenarnya nggak ada, biasanya tokoh jahat itu muncul karena tokoh itu memiliki masalah atau konflik yang membuat tokoh tersebut menjadi jahat. Tapi kalau menurut saya ya ... tokoh jahat, lebih sering saya gunakan atau saya ikutkan pada saat ending dalam sebuah cerita."

Comentário do Livro (115)

  • avatar
    AzahraWiwin

    ceritanya sangat inspiratif, bagus dan memotivasi kita semua. thanks

    24/07/2022

      0
  • avatar
    Dwi CahyaFardana Difka

    Cerita Ini Sangat Menarik Dan Alurnya Juga Indah

    21/07/2022

      0
  • avatar
    Selvia Putri

    seru banget novelnya

    7d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes