logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

KEDATANGAN IBU MERTUA

Bab 6
KEDATANGAN IBU MERTUA
Sore harinya, dia terbangun dengan badan yang sedikit segar. Segera dia menuju kamar mandi untuk berendam. Cukup lama dia berendam, membuat tubuhnya terasa rileks.
Setelah merasa cukup, dia segera keluar. Di sore hari begini, ia ingin menikmati secangkir teh sembari duduk di gazebo dekat kolam renang. Rasanya pasti menyenangkan.
Kienan segera turun dari kamarnya dan mendengar suara ribut-ribut di depan.
"Kienan!"
Seseorang memanggil namanya,begitu dia menjejakkan kaki di tangga terakhir. Kienan menghentikan langkahnya.
Ternyata yang datang adalah ibu mertua dan adik iparnya.
"Ibu? Ada apa?" tanya Kienan.
"Kok ada apa? Kamu lupa sekarang tanggal berapa? Kok jatah Ibu belum dikirim?" protes mertuanya.
"Iya, nih, kak Kienan. Uang jajanku juga udah habis. Aku kan mau nongkrong di cafe sama temen-temenku," sahut Aira, adik iparnya.
Mereka kini duduk santai di ruang tengah.
"Maaf, Bu! Apa mas Akbar belum cerita kepada Ibu?"
"Cerita apa?" tanya mertuanya.
"Mas Akbar sudah menjatuhkan talak sama aku, Bu! Kami bukan suami istri lagi! Jadi, Ibu bukan tanggung jawab aku!"
"Apa? Talak? Kamu serius?" tanya mertuanya.
"Iya, Bu. Jadi, untuk uang bulanan sebaiknya Ibu minta langsung ke mas Akbar."
"Kok bisa dia jatuhkan talak sama kamu? Pasti, kamu gak becus jadi istri."
Kienan menghela napas perlahan.
"Aku yang minta, Bu!" jawab Kienan.
"Kenapa?"
"Mas Akbar selingkuh, Bu! Bahkan, wanita itu sekarang sudah hamil besar."
"Ka … kamu tahu dari mana?" tanya mertuanya grogi.
"Aku lihat sendiri, Bu! Mas Akbar juga sudah mengakui kalau wanita itu istrinya."
"Trus, Akbarnya sekarang dimana?"
Kienan menghela napas.
"Entahlah. Mungkin dia di rumah istri barunya. Apa Ibu tidak tahu kalau mas Akbar menikah lagi?" tanya Kienan.
"Em … masalah itu …."Mertuanya terlihat gelisah.
"Jadi, selama ini Ibu sudah tahu? Dan Ibu menutupi semua ini dari aku?" tanya Kienan tak percaya. Melihat gelagat mertuanya, dia langsung paham jika mertuanya terlibat dengan pernikahan kedua suaminya.
"Bukan begitu, Kienan! Waktu itu, Ibu tidak punya pilihan. Wanita itu sedang hamil anaknya Akbar. Jadi, dia harus tanggung jawab," jawab mertuanya merasa tak enak.
"Dan ibu merahasiakan itu semua dari aku?"
"Akbar yang minta. Katanya, nanti Akbar sendiri yang akan cerita. Jadi, Akbar memang sudah cerita, ya?" tanya mertuanya.
"Gak. Aku tahu dengan sendirinya."
"Kenapa kalian harus bercerai? Anak itu kan sudah lama ditunggu sama Akbar. Toh, itu nanti jadi anakmu juga. Nanti kalian bisa merawat sama-sama."
"Apa Ibu tidak memikirkan perasaanku saat mengatakan itu? Aku dikhianati, Bu! Mas Akbar selingkuh! Dan dengan santainya Ibu mengatakan aku harus merawat anak itu sama-sama?" ujar Kienan dengan emosi.
"Ya … mau bagaimana lagi. Kamu kan, mandul. Akbar anak laki-laki Ibu satu-satunya. Dia harus punya keturunan untuk meneruskan garis keluarga kami."
"Tapi kan, tidak harus dengan cara selingkuh, Bu! Masih ada cara lain! Lagian, aku gak mandul!"
"Kalian sudah menikah hampir lima tahun dan belum dikarunia anak. Apa namanya kalau bukan mandul?"
"Iya, nih, mbak Kienan. Harusnya, mbak menerima mbak Rachel. Daripada jadi janda! Siapa yang mau sama janda mandul?" ejek Aira.
"Jaga mulutmu, Aira! Yang sopan sama orang yang lebih tua!"
"Kienan! Beraninya kamu bentak anakku! Lagipula, yang dikatakan Aira memang benar! Siapa yang mau sama janda mandul kayak kamu!"
"Aku tidak mandul, Bu! Aku sedang hamil!" ujar Kienan.
"Apa? Yang benar? Jangan bohong kamu!"
"Untuk apa aku berbohong, Bu! Terserah Ibu mau percaya atau tidak."
"Alah … itu pasti akal-akalannya saja, Bu! Agar gak jadi diceraiin sama mas Akbar! Mandul aja belagu!" ejek Aira.
"Kamu bener, Ra! Pasti dia nyesal sudah meminta cerai dari Akbar."
"Tidak akan, Bu! Aku malah bersyukur!"
"Itu karena kamu belum tahu saja …." ucap Aira dengan senyum mengejek.
"Belum tahu apa?" tanya Kienan.
"Aira, sudah. Jangan diteruskan! Ayo kita pulang!"
Mereka segera beranjak dan berniat meninggalkan rumah Kienan.
"Tunggu, Bu!" cegah Kienan.
Mertuanya tersenyum sinis.
"Apalagi? Kamu mau bilang menyesal dan minta Akbar balik lagi sama kamu?" ejek mertuanya.
Kienan tersenyum tenang.
"Bi Asih?" teriak Kienan memanggil pembantunya.
"Iya, Bu! Ada apa?" tanya bi Asih.
"Tolong ambilkan koper dan barang-barang kemarin!"
"Baik, Bu!"
"Koper apa, Nan?" tanya mertuanya heran.
"Barang-barang milik mas Akbar yang masih tertinggal disini, Bu! Tolong, Ibu bawa sekalian. Aku tidak mau menyimpannya."
Tak lama kemudian, bi Asih membawa sebuah koper besar dan dua buah kardus.
"Ini, Bu, barang-barangnya!"
"Terimakasih, Bi!"
"Iya, Bu! Sama-sama!"
"Silahkan dibawa, Bu! Daripada aku membuangnya ke tong Sampah!"
"Keterlaluan kamu, Kienan! Status Akbar masih suamimu. Dia masih punya hak di rumah ini. "
"Sejak dia ketahuan berselingkuh dan menjatuhkan talak padaku, dia sudah tidak punya hak apapun di rumah ini. Silahkan barangnya dibawa!"
"Anton ….!" teriak mertuanya memanggil sopir Kienan.
Mendengar teriakan yang begitu nyaring, Pak Anton yang minum kopi di dapur bergegas berlari ke depan.
"Iya, Bu! Ada apa?" sahut Anton.
"Masukkan itu ke dalam mobil saya!"
Pak Anton masih terdiam sambil memandang Kienan seolah meminta izin. Saat Kienan mengangguk, pak Anton baru berani mengangkat barang-barang tersebut.
"Kamu akan menyesal, Kienan! Ingat itu!"
Kienan tak menggubris ocehan mertuanya. Dia kembali ke tujuan awal, melangkahkan kaki ke gazebo.
Sembari menikmati secangkir teh, dia memikirkan semuanya. Apa yang telah terjadi dan apa yang harus dia lakukan. Dia tidak ingin menunda-nunda waktu lagi.
********************************************
Setelah keluar dari rumah Kienan, Bu Ana dan Aira menuju rumah Rachel.
"Bu, kita kemana sekarang?"
"Kita ke rumah Rachel mengantar barang kakakmu, sekalian minta uang belanja," jawab Ibunya.
Aira mengarahkan mobilnya menuju rumah Rachel. Mobil itu pemberian Kienan saat Aira awal masuk kuliah. Saat itu, Aira merengek minta dibelikan mobil. Dengan segala upaya, Ibunya membujuk Kienan agar mau membelikannya.
Tak lama kemudian, mereka sudah sampai di tujuan.
"Akbar!" teriak Ibunya begitu memasuki rumah.
"Ibu? Tumben kesini?" tanya Rachel.
Dia terkejut mendengar ribut-ribut di depan, jadi dia bergegas keluar.
"Memangnya gak boleh? Ini kan, rumah Akbar juga. Dia yang beli," jawab Bu Ana sewot. Dia segera duduk di ruang tengah.
"Kok gitu sih, Bu, jawabnya!? Aku kan, tanya baik-baik!" ujar Rachel.
"Bibi!" teriak Bu Ana.
Bi Murni tergopoh-gopoh berlari ke depan.
"Iya, Bu! Ada apa?"tanya bi Murni.
"Buatkan saya jus jeruk, sekalian bawakan camilan juga!" perintah Bu Ana.
"Baik, Bu!" jawab bi Murni.
"Aku juga, Bi! Aku jus alpukat ya!"
"Iya, Non!" Bi Murni segera undur diri ke belakang. Rachel hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan mertuanya.
"Akbar mana?" tanya Bu Ana.
"Ada apa, Bu?" sahut Akbar tiba-tiba muncul.

Comentário do Livro (305)

  • avatar
    SahibIntan

    Jalan cerita yg bagus, penulisannya juga smooth. Ending nya agak penasaran. Looking forward to read another book by this writer. Success ya mbak!

    15d

      0
  • avatar
    BurdamMarten

    sangat baik

    20d

      0
  • avatar
    EjheheAhmed

    beri aku 100.juta

    22d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes