logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

9. Apa Hanya Pasien?

Lembut dan yaman, ya, dua hal yang dirasakan Alana saat kelopak matanya sempurna terbuka. Tentu saja karena ia sedang berada di kasur yang sangat empuk, berbeda dengan punyanya di kos yang terasa kaku. Wajar saja jika ia merasa tidurnya kali ini berbeda.
Ia merenggangkan tangan. Lenguhan kecil keluar dari bibirnya. Sedikit Alana mengambil posisi miring untuk mengecek pria yang tidur semalam degannya.
Kosong.
Ternyata pria itu tidak ada di tempatnya. Alana bingung ke mana Denuca. Ia tidak menyangka pria itu lebih dulu bangun daripada dia. Selama ini ia berpikir bahwa pria seperti Denuca akan telat bangun karena pekerjaan yang terlalu banyak setiap hari. Akan tetapi, entahlah.
“Apa yang akan aku lakukan hari ini? Aku tidak mungkin masuk bekerja dengan jarak sejauh ini dari tempat Justin,” gumam Alana.
Ia menyibakkan selimut dan segera ke kamar mandi membasuh wajahnya. Kepalanya sedikit pening ketika sekelebat bayangan hinaan ibu-ibu di kosnya terbayang. Dia merasa hidupnya banyak sekali cobaan. Dari dia hamil tanpa pernah berhubungan intim dan sekarang dia diusir karena disangka perempuan tidak benar.
***
Alana duduk di kursi santai menghadap jendela. Pemilik apartemen yang ia tempati sampai sekarang belum menampakkan batang hidungnya sementara perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Ingin turun ke bawah membeli sarapan, tetap ia tidak berani.
Sampai derap langkah kaki terdengar ke arahnya. Ia menoleh dan ternyata seorang wanita dengan penampilan yang menurut Alana sedikit menakutkan. Dalam hati ia bertanya-tanya karena wanita ini bisa masuk ke dalam apartemen Denuca.
“Apa dia adik, kakak atau kekasih Dokter Denuca?” batinnya.
Ia berdiri dengan gugup.
“Permisi, Miss Alana. Saya dititahkan Dokter Denuca untuk membawa Anda ke rumah sakit.”
Alana hampir saja menepuk jidatnya. Ia lupa jika hari ini merupakan jadwal dia cek in. Namun, dia ragu untuk mengikuti wanita di depannya. Apalagi aura yang dikeluarkan begitu mengintimidasi.
Wanita itu berdehem saat membaca raut wajah Alana. “Dokter Denuca sudah menunggu Anda di sana,” tuturnya.
“Ah, i—iya.” Alana tergagap. Wajahnya memanas karena merasa telah bertingkah bodoh.
Walau cemas, ia tetap mengikuti wanita itu. Di bawah begitu mewah. Alana bisa membayangkan betapa mewahnya hidup Denuca. Wajar saja, sih, ia dokter yang bayarannya pasti mahal.
***
Jantung Alana tidak berdetak maraton lagi setelah bear-benar sampai di rumah sakit. Ia disambut oleh Lusi. Salah satu asisten perawat Denuca. Terlihat Lusi hanya mengangguk sekilas kepada wanita yang bahkan Alana sampai sekarang tidak tahu namanya.
Ia dibawa ke ruangan Denuca. Dahi Alana mengerut. Alih-alih ke tempat kandungan, ini malah jalur ke dokter ahli beda. Namun, ia tidak berani bertanya.
“Silakan masuk. Dokter Denuca di dalam.”
“Terima kasih.”
Alana segera masuk ke dalam dan benar Denuca berada di dalam. Ia melihat Denuca kini memakai jas putihnya dengan stetoskop yang melingkar di lehernya.
“Duduklah dan kemarikan tanganmu.”
Alana mengulurkan tangannya. Ia memperhatikan wajah Denuca yang begitu dekat dengannya. Tampak pria ini kurang tidur, tetapi bukankah semalam mereka tidur bersama?
“Ada keluhan hari ini?”
“Ak—kriyukkk~”
Alana menggigit bibir bawahnya. Perutnya dengan tidak tahu malu malah menyuarakan diri. Ia menunduk saat Denuca menatap penuh ke arahnya.
“Kamu tidak sarapan?”
“Aku belum sempat membeli sarapan, Dok.”
“Di meja sudah ada makanan. Apa kamu tidak melihat roti dan segelas susu hamil di sana?”
“Aku ....” Alana tidak tahu harus berkata apa, karena ia tidak berani menyentuh sedikit saja barang Denuca. Takut jika sesuatu hilang dan dianggap dirinya yang mengambil. Ia tahu pasti harga barang-barang di apartemen pria itu bukan main nominalnya.
“Apa kamu tidak menyukainya?” tanya Denuca karena dia berpikir ibu hamil terkadang tidak berselera makan.
Kepala Alana menggeleng dengan cepat. “Bukan begitu, Dok!” bantahnya cepat, “aku tidak pergi ke dapur.”
Denuca menghela napas. Ia segera mengambil benda pipi di dekatnya dan medial nomor seseorang. Alana hanya diam saat mendengar Denuca memesan roti dan susu hamil rasa coklat untuknya.
“Kenapa Dokter Denuca begitu baik padaku? Harus dengan cara apa aku membalas kebaikannya?” batin Alana dengan terharu akan kebaikan Denuca.
Tidak lama kemudian pesanan Denuca datang. Yang mengantarnya Lusi. Ia melempar senyum tipis ke arah Alana membuat Alana membalas senyumnya.
“Makanlah.”
Alana mengangguk dan makan dengan lahap. Namun, tiba-tiba baru satu roti yang berhasil ia habiskan, perutnya merasa mual. Ia memegang mulutnya dan berlari keluar mencari toilet.
Denuca terperangah di tempat saat melihat Alana berlari dengan kencang. Bukan masalah pintunya yang buka kasar, tetapi wanita itu sedang mengandung anaknya dan lari tanpa takut tersenandung.
Buru-buru Denuca menyusul Alana sampai ia bertanya kepada beberapa suster yang lewat sampai ia tahu keberadaan Alana. Wanita itu bersandar dengan wajah pucat pasi. Bahunya ditarik Denuca karena terlihat hampir linglung.
“Dok, aku tidak tahu jika hamil bisa seperti ini,” lirih Alana sebelum ia memejamkan mata. Ia tidak pingsan dan tidak tidur, hanya saja tenaganya terkuras habis.
Denuca segera membopongnya ke salah satu kamar VIP. Melihat Alana sepucat ini, ada rasa iba di hatinya. Sialnya, saat ia merasa iba perkataan Axelio malah datang seperti hantu yang mengusiknya.
“Argh! Bodoh! Aku hanya perlu bertanggung jawab terhadap hidupnya,” batinnya, tetapi ia semakin menatap Alana dengan perasaan gundah.
Ia beranjak dan meminta suster membawa infus. Setelah melihat Alana tenang dan wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Ia keluar untuk menebus obat untuk Alana. Ini akibat Alana telat makan hingga mempengaruhi kondisi kandungannya.
Ingin memarahi Alana, tetapi nanti wanita itu malah ketakutan. Ia cukup tahu akan hormon wanita hamil untuk itu ia memilih diam. Andai Axelio tidak menghubungi tengah malam buta untuk segera terjun ke lokasi, ia tidak akan membiarkan Alana tidak sarapan.
“Dokter!”
Denuca menoleh. Ia memasang wajah datar saat melihat gadis yang berlari ke arahnya dengan menyengir kuda. Dia tidak menyangka gadis itu datang ke tempatnya.
“Kamu lihat baik-baik ini. Apa yang sedang aku kenakan?” Sambil menepuk-nepuk jas putihnya.
“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Denuca malas.
“Aku datang untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi Dokter ahli beda! Sekarang, see ... namaku sekarang Dokter Selly Reitz!”
Denuca tahu sekali dari dulu Selly sangat ingin menjadi seorang dokter ahli beda sepertinya. Namun, Denuca tidak tertarik dengan pencapaian Selly. Dengan cuek ia melangkah pergi membuat Selly mengerucutkan bibirnya kesal.
“Ugh, selalu saja cuek.”
Tapi, meski ia protes, ia tetap mengikuti Denuca sampai berada di ruangan. Ia menatap aneh ke arah Denuca saat melihat ternyata pria pujaannya menebus obat untuk pasiennya.
“Keluarlah, Selly. Kau tahu ini tempat apa,” usirnya tak sungkan.
“Kenapa kamu bela-belain beli obat buat dia?”
“Dia pasienku.”
“Hanya pasien?”
Denuca diam membuat Selly merasa patah hati. Wanita itu keluar dengan perasaan hancur. Ia merelakan impiannya menjadi seorang model hanya demi bersama Denuca. Ia mengambil jurusan kedokteran demi satu profesi dengan Denuca, tetapi semua sia-sia.
“Aku tidak akan membuat 10 tahunku sia-sia,” batinnya penuh tekad.
***
TBC

Comentário do Livro (245)

  • avatar
    ELYN

    makasiiiiii

    7d

      0
  • avatar
    JondepCarolina

    qwdfghhhh

    20d

      0
  • avatar
    Evelyn KimEryn

    I LOVE THIS STORY SO MUCH

    02/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes