logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 6 Just hang out

Apa Kak Juno tidak menyadari kalau aku mendengarnya? Aku menarik katanya… tanpa sadar kusentuh kedua pipiku, merasa sangat malu. Tapi segera kutepis rasa canggungku dengan mengalihkan perhatian pada permainan yang ingin kucoba.
“Aku mau naik itu, kalian mau ikut tidak?”
“Tidak, hanya orang sepertimu saja yang tertarik dengan permainan tidak berguna itu.”
Kutekuk bibirku mendengar komentar El, untungnya Kak Juno menarik lenganku untuk masuk ke dalam antrian, tanpa kata ia mengartikan mau ikut. Namun bukan Dimi namanya kalau menyerah begitu saja, aku berbalik mendekati El yang masih berdiri di tempat.
“Bilang saja kamu takut.”
El memutar bola mata, seperti bicara denganku adalah wasting time untuknya. “Aku tidak takut, hanya tidak minat.”
“Alasan, bilang saja tidak berani. Aku paham, banyak kok ibu hamil di sini yang juga tidak mau naik.”
Matanya kembali melotot, “Maksudmu? Aku disamakan dengan ibu… hamil?”
Kutepuk bahunya prihatin, “Aku paham kok.”
Chicken…
Dengan senyum samar aku kembali antri bersama Kak Juno yang tengah menahan tawa. Kurasa apapun nanti yang kulakukan pada teman satunya itu, ia pasti akan menyukainya. Baru beberapa detik kami mengantri, seseorang nekat menembus antrian dan meminta pada petugas untuk didahulukan. Spontan, orang-orang yang sedang mengantri langsung meneriakan keluhannya. Aku yang tidak begitu tinggi harus berjinjit untuk melihat siapa yang menjadi biang keributan.
“Gila, itu El.” Suara tertahan Kak Juno membuatku mendongak melihat ke arah permainan. Aku hampir lupa menutup mulutku yang terbuka melihatnya berada di atas sana.
Menerobos pintu masuk, menempati tempat duduk paling belakang, dan terombang-ambing oleh perahu namun tetap duduk tenang tanpa suara teriakan sama sekali.
Aku diam seribu bahasa.
Dan ternyata El tidak bermain satu kali, ia bermain terus menerus sampai giliran aku dan Kak Juno masuk. Ia melihatku dan tersenyum penuh kemenangan. Sambil menelan ludah aku berusaha konsentrasi pada permainan. Pada saat perahu besar itu naik dan turun yang pertama, lututku bergetar, aku berpegang kuat pada tempat duduk di depanku. Naik-turun yang kedua semakin tinggi, aku mencoba berteriak tapi yang keluar dari mulutku hanya suara orang tercekik, lututku semakin bergetar dan kepalaku tiba-tiba pusing. Dan ketika perahu besar itu terus melanjutkan tugasnya aku sudah kehilangan rasa antusias dan kesenangan, berganti dengan rasa mual yang tertahankan.
Kumohon, siapapun yang mengendalikan mesin ini. Tolong hentikan!!
***
“Ha…ha…ha…”
Aku pun berakhir di tempat sampah, mengeluarkan makanan dalam perut dengan tragis. Dari belakang Kak Juno mengurut leherku sambil memegang air mineral. Sedangkan tidak jauh dari kami, El tengah bahagia melihat penderitaanku.
“Sudahlah El, jangan ditertawakan. Kasihan Dimi, bukannya membantu malah tertawa terus.” Setelah tingkat mual-ku mereda, Kak Juno memberikanku air mineral masih dengan ekspresi khawatir.
“Terima kasih kak, maaf merepotkan.”
“Tak apa, kalau Dimi masih mual lebih baik kita pulang saja.”
“Ha…ha…” suara tawanya benar-benar menganggu. Aku melirik tajam El yang melangkah menghampiri kami sambil tertawa puas. “Now, who’s seen like a chicken?”
Aku semakin cemberut, kesal dengan kondisi badanku yang tak mendukung. “Oke, aku ngaku kalah. Sorry udah anggep remeh kamu.” Ucapku, berusaha tulus. Kupegang perutku yang tiba-tiba jadi sakit.
Aduh, perutku…
“What’s wrong with her?” suara tawa menghilang, aku sibuk menunduk meremas-remas perutku. Entah ekspresi apa yang kini ia tampilkan padaku.
“Kenapa, Dim?”
“Mungkin maag, kak.”
“Duduklah.” Kak Juno membimbingku duduk di taman. “Kakak beliin obat dulu ya. El, tolong jaga Dimi.”
“Jun, belikan aku burger.” pinta El, memikirkan kebutuhannya sendiri.
Kak Juno pun berlari menembus kerumunan orang-orang. Aku berusaha meredakan sakit perutku dengan meminum air mineral sampai habis. Dengan sikap canggung El duduk di sudut paling ujung tempat dudukku, tidak ingin terlalu dekat denganku sepertinya.
Selama menunggu kami memilih aksi diam, aku belum berani memulai pembicaraan karena takut menghadapi ucapannya yang setajam pisau. Baru sekitar lima menit kemudian Kak Juno berlari menghampiri kami.
“Ini obatmu, minumlah.” Kak Juno menyerahkan plastik obat dan segelas air mineral. Ia juga memberikan sebuah burger extra besar untuk El.
“Dimi, tadi aku ditelepon ayah, aku harus menemuinya sekarang. Kalau kamu tidak keberatan, biar Elfreim saja ya yang mengantarmu pulang?”
“Apa?” El terlihat menolak ide itu. Kak Juno menoleh dan berucap dengan nada memaksa. “My father’s call me, he has information for us. Please, understand that.”
Aku melihat El yang tampak berpikir lalu membuang muka tidak suka. Kurasa aku harus segera turun tangan. “Aku bisa pulang sendiri Kak, pergilah bersama temanmu.”
“Tapi kamu sedang sakit, Dimi.”
“Sudah tidak apa.” Kutunjukkan otot tanganku yang sebenarnya tidak ada, meyakinkan Kak Juno aku baik-baik saja. “Aku langsung sembuh dengan cepat, sudah pergi sana! Ayahmu pasti sedang menunggu.”
Kak Juno berdiri, masih kurang yakin. “Kamu tahu jalan kan?”
“Ya ampun, masih di Indonesia ini. Aku juga punya GPS di handphone, tenang aja. Aku masih mau main lagi nih.” Ucapku, membangun semangatku kembali. Walau aku tidak terlalu paham jalanan sekitar, aku bukanlah tipe wanita yang manja. Lagipula sikap Kak Juno yang mencemaskanku begitu berlebihan.
“Just go away!....let me take care of her.” El berbicara, malu-malu mengatakan bersedia mengantarku pulang. Kini giliran aku yang tidak bersedia.
“Tapi kan aku masih mau main lagi, nanti pulangnya. Kalau kamu sibuk nggak papa kok aku sendiri di sini.” Kucoba berkata sopan dengan El, tapi pemuda itu malah terlihat semakin jengkel. Aku tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan.
“Apa boleh kutelepon Stepani untuk menemanimu?”
“SUDAHLAH!!” aku dan El kompak meminta Kak Juno berhenti membuat option.
“Aku butuh informasi ayahmu, kamu minta aku menjaga makhluk ini. oke, deal?”
Ma…Makhluk?!
Kak Juno menatapku penuh rasa bersalah. “Maafkanku, aku janji akan mengganti kebersamaan yang tertunda ini.”
Aku memandang kepergian Kak Juno, merasa sedih karena ditinggalkan. Kuelus perutku yang ternyata masih terasa sakit.
“Hei.”
Aku menoleh, dengan seenaknya El melempar burgernya ke pangkuanku. Kupegang burger itu dengan tanda tanya besar di kepala.
“Makanlah, setelah itu baru boleh mencoba permainan lagi.” El berdiri, berlagak melihat-lihat sekitar. “Naik kincir angin yang itu sepertinya seru, atau…”
Kucoba memakan sedikit, lalu sediki lagi dan terus dengan gigitan yang lebih besar.
Bodoh, ternyata perutku sakit karena lapar…
***
Sinar lampu yang menyilaukan memaksaku membuka mata. Yang pertama kali kulihat adalah atap kamar asramaku, lalu perlahan ku kesampingkan badan yang terasa remuk ini sambil mengumpulkan kesadaranku sepenuhnya. Kulihat Diata tengah serius mengetik di laptop merahnya, aku menoleh sedikit dan mendapati wajah close up Stepani, Zia dan Mina yang tengah memandangiku tanpa ekspresi.
Kukerjapkan mata berkali-kali, memastikan bahwa aku benar berada di kamar asrama bersama para ladies. “Dimi sudah bangun, Pan.” Mina menggerakkan badan lebih mendekat, tampak serius melihatku.
“Ada apa?”
“Lain kali, jangan pernah tertidur di mobil bersama laki-laki yang baru kamu kenal.” Pani tiba-tiba menasehatiku, menggantikan posisi yang biasanya kulakukan.
“Iya Dim, nggak biasanya kamu seceroboh ini.” Zia ikut berkomentar, menambah kebingunganku.
“Kok? Ada apa sih?” perlahan aku bangun dan duduk, masih sangat bingung.
“Coba ingat lagi, dari kamu pulang kampus sampai berada di sini.”

Comentário do Livro (50)

  • avatar
    JatiTaruna Muda

    keren bngt cerita nyaa banyak bnyak ya bikin cerita yng lbih kren lgii

    7d

      0
  • avatar
    Kimochi

    bahus

    27d

      0
  • avatar
    BotOrang

    aku suka crita in aku kash bintang 5

    21/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes