logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 8 Usaha, eh?

“Namanya Kahfi.” Jawabku tanpa menoleh pada Arash.
“Lo tau benar maksud dari perkataan gue.” Sikap dinginnya sudah kembali. Kalau sudah begini, aku lebih memilih gaya bicara Arash yang formal saja dari pada dingin dan menusuk hati.
“Kalo ngomong yang jelas. Nanya juga yang jelas. Gue bukan paranormal yang bisa tahu maksud dari ucapan lo yang singkat padat begitu.”
“Apa hubungan dia sama lo?” Aura dinginnya makin terasa. Bahkan, aura yang ada pada Arash terasa lebih horror dari pada aura mistis makhluk gaib. Aku tahu ini berlebihan.
“Teman.”
“Teman?” Tanyanya. Aku hanya mengangguk tanpa berniat menoleh padanya.
Hening.
Arash tidak bertanya apapun lagi. Dan posisiku masih tidak bergerak sama sekali, berdiri di depan Arash dan memunggunginya.
“Lo ngapain ke sini?” Karena tak tahan dengan situasi yang awkward moment seperti ini, akhirnya aku memilih untuk bertanya.
“Ketemu lo.” Jawabnya singkat dan menggantung. Bertemu denganku? Sekarang sudah bertemu, lalu apa?
“Terus?”
“Gue ke sini buat ketemu lo.” Jawabnya lagi.
“Iya gue tahu. Sekarang udah ketemu, terus apa?” Jawabku gemas. Meskipun nada gemas dalam suaraku masih tersamarkan oleh nada datar yang aku keluarkan.
Arash tidak menjawab. Malah kini aku mendengar langkah kakinya yang menuju sofa. Karena Arash pun sudah beranjak dari tempatnya tadi, aku ikut melangkah untuk menduduki kursi kerjaku.
“Gue kangen.” Ucapnya yang membuat jantungku terasa seperti berhenti berdetak.
***
Tidak mau langsung terbang karena mendengar ucapannya, aku memilih mengabaikannya. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya agar tidak menatapku intens seperti saat ini.
“Melodi kemana?” Tanyaku. Arash yang mendengar pertanyaanku malah menaikkan sebelah alisnya. Seolah mengatakan tumben mantan mau nanyain calon istri .
“Singapur.” Jawabnya singkat. Lagi-lagi singkat, padat, dan menggantung. Sepertinya Arash memang suka dengan menggantung-gantungkan. Termasuk menggantungkan perasaan anak orang. Aku bukan curhat, ya.
“Terus lo kok di sini? Nggak nemenin dia?” Tanyaku. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan. Seperti: Melodi ngapain ke Singapur? Berapa hari di sana? Lama nggak? Terus rencana nikah jadi enggak? Tapi aku masih bisa menahan rasa penasaranku karena aku tidak mau Arash mengira bahwa aku terlalu kepo-in dia. Meskipun itu memang benar.
“Malas.” Singkat. Saking singkatnya sampai membuatku terkejut. Bukan karena tingkat kesingkatannya, tapi karena jawabannya yang seolah ringan tanpa beban.
Kupasang wajah sedatar mungkin untuk menutupi raut keterkejutanku atas jawabannya tadi. “Oh, terus lo di sini mau ngapain selain ketemu gue?”
“Lihatin lo, mungkin.” Astagfirullah, jawaban singkat, padat, dan gantung ini berhasil membuat hatiku ketar-ketir sendiri. Antara kesal dengan jawabannya yang singkat, dan senang karena meskipun singkat dan terdengar seperti rayuan gombal picisan, tapi berhasil menghangatkan hatiku. Membuat kerja jantungku berkali-kali lebih cepat.
Dengan tetap memasang wajah datar, aku menjawab “Oh, tapi hari ini gue sibuk. Dan lagi nggak mood buat dilihatin mantan.”
Arash terkekeh. Dan ini pertama kalinya aku melihatnya tertawa seperti itu sejak.. lima tahun yang lalu. “Oh, jadi sekarang udah bisa nerima kalo gue udah jadi mantan lo?” Entah kenapa, mendengar pertanyaannya membuat hatiku kembali sesak karena mengingat lagi masa lalu.
“Maksudnya?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti. Meskipun sebenarnya aku tahu jelas maksud dari pertanyaannya.
“You know what I mean, Nara.” Jawabnya. Matanya memandang lekat tepat dimanik mataku. Membuatku gugup ditatap seperti itu olehnya.
“Iya, deh. Terserah lo.” Aku memutuskan kontak mata diantara kami. Aku mengambil beberapa desain baju yang belum kuselesaikan lalu mencoba menekuninya. Sebenarnya hanya pura-pura menekuninya.
Dua puluh menit berlalu. Aku masih pura-pura menekuni pekerjaanku menyelesaikan desain baju tanpa sedikitpun menoleh pada Arash. Entah apa yang Arash lakukan sekarang, yang pasti apa yang dilakukannya saat ini sangat membuatku penasaran untuk segera melihat ke arahnya. Tapi, aku tidak mau tertangkap basah sedang memperhatikannya, maka dari itu aku lebih memilih mengabaikannya.
Tapi ini sudah dua puluh menit berlalu. Apa Arash tidak bosan padaku yang terus mendiamkannya dan menganggapnya tidak ada? Atau mungkinkah Arash tertidur?
Perlahan, aku mencoba mendongakkan kepalaku untuk melihat ke arahnya. Di sana, Arash sedang memperhatikanku dengan intens. Pandangan mata kami bertemu. Arash tersenyum padaku, senyum yang jarang diperlihatkannya padaku setelah lima tahun berlalu. Senyum yang selalu berhasil membuatku terpikat padanya. Aku mengalihkan perhatianku secepat kilat. Takut akan terjatuh semakin dalam pada pesonanya.
Kilauan cahaya dari flash camera membuatku menghentikan aktifitas pura-pura mendesain baju. Aku mendongakkan kepalaku melihat Arash yang saat ini tengah memegang ponselnya sambil mengarahkannya sejajar dengan tubuhku.
“Lo ngapain?”
“Fotoin lo.” Jawabnya lalu kilauan cahaya kembali menyambar wajahku.
“Gue tau. Maksud gue, buat apa?”
“Gue save di handphone gue.”
“Jawaban lo absurd banget. Bikin setiap orang yang dengar naik darah.”
“Termasuk lo?” Tanyanya dengan sudut bibir kiri yang terangkat ke atas. Memamerkan senyumnya yang menurutku manis.
Aku diam tidak menjawab pertanyaannya.
“Kalo gue kangen, gue bisa lihat foto lo.” Simple memang jawabannya, tapi efeknya sangat besar untukku.
“Lo sehat?” Hanya pertanyaan itu yang mampu kuucapkan.
“Maksud lo?” Tanyanya dengan alis kanan yang terangkat tinggi.
“Calon istri lo itu Melodi. Bukan gue. Jadi, yang harus lo kangenin itu Melodi. Bukan gue.”
“Iya, gue tahu kok. Lo juga kangen gue.” Aku malah mengerutkan keningku saat mendengar
jawaban Arash. Sepertinya Arash memang kurang sehat.
“Lo ben—
“Kalo gitu, gue pulang dulu, ya. Lo jangan telat makan siang. Bentar lagi masuk jam makan siang.” Setelah memotong ucapanku, Arash berdiri dan melangkahkan kakinya keluar dari ruanganku. Meninggalkan aku sendiri dengan berbagai macam pertanyaan mengenai perubahan sikapnya tadi padaku.
*****
.
"Tolong beri jarak, aku tidak ingin kembali lagi jatuh. Karena sekarang kamu miliknya, bukan milikku."
.

Comentário do Livro (81)

  • avatar
    Ha KyoLee

    Dilanjut dong kak. Sayang banget kalau digantung. Padahal ceritanya seru, menarik banget dan sangat berbeda sama cerita lainnya😍😍😍. Tetap semangat ya kak buat ngelanjutin ceritanya💪💪💪.

    14/04/2022

      2
  • avatar
    syakirapro

    comel

    14h

      0
  • avatar
    KotongSas

    bagus banget ceritanya

    22d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes