logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Tiba-tiba Pacar

Aku keluar untuk menghirup udara pagi yang segar dari balkon apartemenku. cuaca cerah pagi ini, sepertinya lari pagi di taman bisa jadi ide yang baik, ucapku di dalam hati. Semoga hari ini menjadi hari yang menyenangkan.
Aku segera mengganti bajuku dengan yang baju olah raga dan mengikat rambutku menjadi satu di belakang sebelum berlari keluar dari lobi apartemenku. Tetapi saat aku baru sampai di halaman depan apartemen, rombongan wartawan langsung mengerubungiku, seketika aku merasa takut.
"Bagaimana tanggapan anda terhadap tuduhan Miranda?" tanya seorang wartawan menyodorkan alat rekamnya seenaknya di hadapanku.
"Mba Jessica, mba Jessica!" panggil wartawan-wartawan itu semua dengan riuh, mereka saling dorong menutup jalanku, aku terperangkap di tengah-tengah mereka, ada apa ini? Tubuh mereka saling bergesekan mencoba mengambil fotoku sebaik mungkin, Mereka pasti salah orang, tapi mereka jelas-jelas memanggilku Jessica, seketika aku merasa takut.
"Apa tanggapan ada akan tuduhan Miranda, mba Jessica?" tanya seorang wartawan lagi, kameramennya memasang lampu sorot ke arahku, mataku silau sampai tidak dapat melihat apa-apa. Jantungku berdebar kencang, aku tiba-tiba menjadi takut. Bau keringat dimana-mana, mereka saling mendorong, sampai aku hampir terjatuh, jantungku berdebar cepat, aku mulai panik.
"Jessica, apakah anda akan melakukan tuntutan balik atas tuduhan pelakor?" tanya seorang wartawan yang lain lagi. Apa pelakor? Emosiku yang tadinya takut menjadi marah, mulai naik, aku langsung memutar badanku dan mau menyerang wartawan yang baru bertanya tadi, tapi tiba-tiba tanganku ditarik kencang oleh seseorang, wartawan semakin riuh dan mengambil foto banyak-banyak. Mereka semakin menghimpitku. Aku menjerit kencang, karena kaget dan marah. Siapa yang berani menarikku seperti ini? Wartawan jaman sekarang benar-benar kurang ajar. Aku segera mencoba melepaskan diri, tapi wartawan itu segera mengambil foto kami, pria itu mendorong para wartawan yang mengerubungiku, dan membuka jalan buat kami agar kami bisa keluar dari para wartawan.
"Adrian... Adrian, jadi ini pacar barunya lagi ya?" Mulai terdengar pertanyaan demi pertanyaan baru dari wartawan di belakangku. Aku baru sadar kalau yang memegang tanganku dengan kencang ini adalah Adrian, dia sedang mengenakan perlengkapan menyamarnya, tapi karena tubuhnya yang tinggi, dia tetap terlihat menonjol dari kerumunan wartawan ini. Aku berhenti mencoba melepaskan diriku, dan ikut berlari bersamanya.
"Adrian, Miranda menangis tuh, kok kamu tega sih!" teriak wartawan yang lain mencoba memancing emosi Adrian tetapi aku yang hendak berteriak marah tapi Adrian menyentak tanganku dan memberikan tanda diam dengan jarinya.
Kami segera masuk kembali ke dalam lobi apartemen, beberapa wartawan masih bisa menerobos masuk ke dalam mengikuti kami, sedangkan sebagian tertahan oleh pihak keamanan apartemen. Kami segera berlari menuju lift lantai tinggi, karena lift lantai tinggi berbeda dengan lift lantai rendah. Napasku tersengal-sengal, aku memandang ke sekitarku, wartawan yang tersisa semua mencoba mengambil fotoku dan Adrian.
"Adrian, sama Mba Jessica panggilan sayangnya apa?" tanya wartawan yang tersisa, aku mengerutkan keningku atas pertanyaan absurd itu. Walaupun misalnya aku benar pacaran dengan Adrian, apakah panggilan sayang kami butuh diketahui publik? pikirku dalam hati.
"Adrian sombong deh, ceritain dong apa yang bedain Mba Jessica sama Miranda?" teriak wartawan yang lain. Kekesalanku sudah di ubun-ubun, aku baru saja mau berteriak menjawab mereka, tapi lift sudah terbuka, dan akhirnya kami bisa masuk kedalam. Fiuh... keheningan dalam lift kali ini membuat ku lega. Kami menghela napas bersamaan, lalu saling menatap.
Deg deg deg... jantungku tiba-tiba berdebar karena hal yang lain. Dia segera melepaskan tanganku yang dari tadi digandengnya.
"Maaf." ucapnya tidak enak. Berdua dengannya seperti ini membuatku menjadi salah tingkah, aku terus memandangi ujung sepatuku. Udara lift terasa sejuk, namun berdekatan dengannya membuatku merasa kepanasan.
"Maaf, karena aku, ... kamu jadi terseret masalah lagi." gumamnya lagi. Aku memandang pria di sampingku, kemarin dia terlihat begitu ceria, tapi hari ini senyumannya sama sekali tidak tampak, wajahnya terlihat suram.
"Ga apa-apa, mereka kan hanya salah orang, nanti juga mereka klarifikasi dan meminta maaf." ujarku tidak terlalu mengambil pusing. Wartawan gosip seperti itu tidak melakukan riset dengan baik, mereka pasti salah orang, tidak mungkin artis terkenal seperti Adrian mau pacaran dengan dokter umum seperti aku, pikirku dalam hati lalu menoleh ke arah Adrian, dia ternyata sedang menatapku serius, tatapannya membiusku, dia mengangkat tangannya dan menepis sedikit rambut yang jatuh di keningku. Hanya dengan gerakan sederhana seperti itu, kakiku langsung terasa lemas.
"Andai semudah itu Jessica." ucapnya lalu keluar dari lift, aku baru sadar kalau kami sudah sampai di penthouse nya, aku segera melangkah masuk, sebelum pintu lift kembali tertutup.
Aku baru kali ini masuk ke penthouse, memang uang membuat segalanya berbeda. Semua yang ada di penthouse ini terasa mahal dan mewah. Walaupun modelnya sederhana, tapi kesan mahal tetap ada di setiap barang yang ada. Dia mempersilahkan aku duduk di sofanya yang bewarna hitam. Aku duduk dan dia memberikanku secangkir kopi.
"Maaf aku hanya ada kopi atau air putih." ujarnya meminta maaf.
"Ga apa-apa." balasku segera menghirup kopi yang dia berikan. Rasa panas menjalar di perut dengan nyaman, aku menghirup kopi itu lagi dengan bersyukur.
Dia mengintip ke balkon dan melihat ke bawah. Aku menjadi penasaran dan mengikutinya ke balkon. Wartawan masih banyak berkumpul di pintu lobi, karena kami terlalu tinggi mereka hanya terlihat kecil sekali.
"Waah angin di lantai 21 kencang sekali ya!" seruku mencoba mencairkan suasana, dia terlalu murung. Dia tersenyum padaku, aku lalu menikmati tiupan angin yang menerpa wajahku, sambil menutup mata, tiba-tiba aku merasa gamang, dan mau jatuh. Aku segera meraih tangannya, dan menariknya untuk menjaga keseimbangan. Adrian segera memegang tanganku, dan meraih pinggangku, dan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Jantungku kembali berdebar kencang, mataku terkunci pada matanya dan napasku tertahan.
"Hati-hati kamu melihat terlalu kebawah," ucapnya berbisik rendah, wajahku terasa panas, dia... ternyata tampan sekali, pantas lah dia menjadi aktor terkenal. Dia belum melepaskan pelukannya dalam beberapa saat dia malah menatapku sambil kembali menapis rambutku yang tertiup angin.
"EHEEM..." terdengar suara dari belakang kami.
"Jadi ini Mba Jessica yang terkenal itu?" ujar seorang pria paruh baya sambil tersenyum kepadaku. Wajahnya berkerut gembira seperti baru mendapatkan ide cemerlang. Adrian segera melepaskan pelukannya, dan masuk ke dalam, aku menarik napas panjang agar jantungku kembali normal, segera mengikutinya lalu duduk di sofa.
"Pak Lionel, kenapa jadi begini?" tanya Adrian dengan emosi, dia berjalan mondar-mandir dengan gusar, keningnya berkerut, dan kali ini wajahnya terlihat marah.
"Kita harus cari akal untuk mengatasi masalah Miranda ini, dia semakin menjadi-jadi." ujar Edo kesal.
"Popularitasnya semakin meningkat, pagi ini dia jadi trending topik #savemiranda , astaga mau aku lempar batako mereka semua itu!" seru Edo dengan penuh emosi.
"Engg, sebenarnya ... Miranda siapa ya?" tanyaku polos, karena tidak mengenal dunia artis sama sekali, bahkan mengenai Adrian saja aku tahu saat dokter kepala membangga - banggakannya kepadaku sepanjang hari.
"Sebenarnya Miranda itu siapa?" ulang Edo bingung, seakan-akan aku baru bertanya satu tambah satu berapa.
"Sebenarnya Miranda siapa...? ucap pria paruh baya tadi, tapi dengan nada yang berbeda.
"Bagus juga pertanyaannya!" serunya senang.
"Buat apa kita menyangkalnya semakin membuat dia terkenal? itu memang yang dia mau." ujar Adrian bersemangat.
"Betul, kita harus membuat orang melupakannya, dia harus berhenti menumpang kepopuleran artis lain!" kata Edo dengan geram.
"Tapi caranya gimana?" tanya Adrian menggaruk rambutnya sehingga menjadi acak-acakan. Pria paruh baya itu menatapku dengan tatapan aneh, Edo yang sedang menatap pria itu ikut menatapku dengan senyuman penuh arti. Perasaanku semakin tidak enak, Adrian menyadari arah tatapan mata mereka berdua, lalu ikut menatapku.
"Ah... jangan itu ... jangan, nggak mungkin kasihan Dokter Jessica," ucapnya gugup, menatapku lalu kembali menatap pria tua itu. Senyuman pria paruh baya itu semakin lebar.
"Kenapa? mau ada apa?" tanyaku bingung, karena semua orang memandangku dengan aneh, aku yang tadinya duduk jadi ikut berdiri.
"Halo Jessica, saya pak Lionel, senior manager di MG entertainment," ucapnya sambil memberikan kartu namanya. Aku mengambil kartu namanya yang berwarna hitam dengan perasaan tidak enak.
"Bagaimana menurut Dokter Jessica jika anda menjadi pacar Adrian?" tanyanya mendekatiku dengan senyumnya yang penuh rencana.
"Pacar Adrian?" tanyaku tidak mempercayai pendengaranku sambil menatap Adrian.

Comentário do Livro (21)

  • avatar
    RafiFauzia

    terimakasih banyak memuaskan

    12d

      0
  • avatar

    bagus

    30/07/2022

      0
  • avatar
    UlfaMiqita

    iii

    19/07/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes