logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Pangeran Tampan dan Putri Embun

"Kalau begitu terpaksa kita mengarang saja." jawabku memandang bola mata dokter itu. Dia terkejut dan sepertinya dia tidak setuju, dia berpikir sesaat sehingga keningnya berkerut.
"Kamu mau cerita apa?" tanyanya dengan tatapan tidak rela acaranya aku rusak. sebenarnya dia cukup cantik, matanya besar dan berbulu mata lentik, hidungnya tinggi tapi mungil sama seperti bibirnya, tapi semua itu tertutup dengan kaca matanya, wajahnya polos tanpa make-up,dan rambutnya yang diikat dengan sumpit berantakan, di pinggir bibirnya ada sisa noda.
"Apalah, karang-karang saja," Edo langsung mendorongku naik ke atas podium. Dokter itu melihatku dengan wajah khawatir.
"Siang anak-anak, siang ibu-ibu, senang bertemu kalian semua!" seru Edo dengan keriangan yang berlebihan. Pria bertubuh gempal itu menatap ke sekeliling ruangan, ibu-ibu dan anak-anak langsung bertepuk tangan dengan semangat. Aku memperhatikan kalau dokter itu berjalan ke pintu hall seperti ingin keluar dari ruangan ini, apakah dia mencoba mengambil buku tadi? Jangan sampai wartawan tadi masuk kesini. Aku lalu memperhatikan wajah-wajah kecil anak-anak dihadapanku yang pucat, dan ada beberapa terlihat lemas di kursi roda lengkap dengan tabung oksigen, walau tubuh mereka lemah tapi sinar mata mereka terlihat sangat bersemangat.
"Halo guys, aku Kakak Adrian!" ucapku menyapa mereka, sinar mata mereka yang penuh harap membuatku terharu. Mereka berteriak riuh kembali. Aku segera memutar otak dan membuat cerita dadakan.
"Kakak mau baca cerita nih, tentang Putri Embun," lanjutku lagi. Anak-anak bertepuk tangan, Edo meletakkan jarinya di bibirnya dan anak-anak pun mulai diam.
"Pada suatu hari ada seorang gadis cantik nan jelita, rambutnya berwarna keemasan bernama Putri Embun." Cerita dadakan dimulai, aku terus memutar otak agar ceritanya menarik, dokter itu sepertinya menyerah untuk keluar, dia akhirnya mematikan sebagian lampu hall, sehingga yang yang terang hanya di bagian panggung.
"Putri embun senang bermain di padang bunga, kakinya yang lincah menari - nari mengelilingi padang bunga," kataku sambil memperhatikan wajah-wajah bersemangat di hadapanku.
"Datang Pangeran Tampan yang terpesona melihatnya." ucapku dengan suara lirih sambil menunjuk wajahku sendiri, anak-anak seperti terbawa alur cerita, wajah mereka yang penuh konsentrasi lucu sekali.
"Wahai putri cantik, siapa namamu?" seruku dengan suara berat seperti pangeran jaman dahulu, sambil bertanya ke Dokter Jessica, dia terkejut dan langsung tersipu malu, saat seluruh anak memutar kepalanya untuk melihat reaksinya. Hening sesaat, anak-anak terus menunggunya untuk menjawab.
"Aaah... eeeh nama saya Putri Embun yang mulia," jawab Dokter itu malu-malu setelah beberapa lama, anak-anak menatapnya terpesona sambil memperlihatkan senyuman mereka.
"Kamu cantik sekali Embun." jawabku menanggapinya. Dokter itu entah kenapa menjadi semakin malu dan menunduk. Anak-anak semakin memandangnya tanpa berkedip.
"Embun, maukah kamu kemari menemaniku menikmati senja?" ujarku masih dalam karakter pangeran. Edo turun dan menjemputnya, dengan bergaya anggun. Dokter itu dengan ragu-ragu berjalan dengan pelan ke arahku, mata anak-anak terus mengikutinya, Edo berjalan mengikuti belakangnya sambil menari-nari.
"Pangeran segera jatuh hati dengan Putri Embun yang cantik." kataku lagi ketika dokter Jessica naik ke atas panggung.
"Wahai Putri Jelita, bolehkah aku meminangmu, menjadikan engkau menjadi kekasih hatiku selamanya?" pintaku mengambil tangannya, mengecup punggung jemarinya, lalu memberi hormat. Wanita itu terkesiap akan kecupanku, bola matanya membesar, tapi anak-anak tertawa cekikikan sambil berteriak, 'mau, mau' berulang kali. Sambil menatapku dan menunduk lagi akhirnya Dokter mengangguk pelan. Anak-anak langsung bertepuk tangan dengan senang.
"Tidak boleh!" seru Edo mengejutkanku dan dokter itu sebenarnya aku mau mengakhiri drama tidak jelas ini tapi Edo malah memperpanjangnya.
"Embun bukanlah putri sejati!" teriak Edo lagi. Anak-anak menarik napas terkejut.
"Lihat rambutnya?" tanya Edo mendekati sang dokter yang bingung, dia menatap Dr. Jessica dan memperhatikannya dengan berlebihan. Wanita itu seperti mengkerut di panggung karena pandangan Edo yang menyorotnya.
"Kenapa rambutnya?" tanyaku masih berusaha dalam karakter pangeran, tapi menatap kesal pada Edo.
"Rambut putri sejati tidak seperti itu yang mulia? Putri idaman yang mulia selalu berambut panjang!" seru Edo menatap jijik pada dokter Jessica yang langsung menyentuh rambutnya dengan panik.
"Jahat, jahat, biarkan saja!" seru anak-anak kesal dengan Edo. Aku cukup terkejut dengan reaksi anak-anak, aku biasanya main film, drama tv atau iklan, tidak pernah drama panggung seperti ini, sehingga melihat reaksi langsung mereka hatiku terasa hangat.
"Diam dulu kamu pengawal!" seruku dengan penuh wibawa, mendorong kasar Edo kebelakang. Anak-anak yang tadi marah-marah menjadi diam kembali.
"Putri Embun adalah putri sejati, lihat!" seruku mendekati Dr. Jessica, matanya yang bulat menatapku takut-takut. Aku tersenyum kepadanya untuk menyemangati Jessica. Aku lalu menarik sumpit yang menyangga rambutnya. Rambutnya yang hitam tebal jatuh tergerai dengan indahnya sampai ke punggung. Edo terbelalak melihatnya, entah akting, entah sebenarnya. Jessica menggoyang- goyangkan rambutnya yang tergerai indah. Anak-anak berteriak dan bertepuk tangan dengan meriah. Jessica kembali tersenyum tersipu malu.
"Cantik kan?" tanyaku pada anak-anak, mereka langsung menjawab dengan riuh.
"Cantik, Putri Embun putri sejati!" teriak seorang anak dengan seluruh kekuatannya. Dokter Jessica tertawa kecil karena anak itu begitu ekspresif.
"Betul, Putri Embun putri sejati, enyahlah engkau pengawal jahat!" seruku mengusir Edo, dia memasang wajah sedih dan turun dari panggung, anak-anak menyorakinya.
"Dan akhirnya Pangeran Tampan menikah dengan Putri Embun dan mereka hidup bahagia selamanya," kataku senang mengakhiri ceritaku. Anak-anak bertepuk tangan dengan senang.
Anak-anak keluar dari ruangan dengan tertib. Sebagian dari mereka masih menceritakan ulang kisah karangan dadakanku tadi. Aku cukup senang dengan penampilanku tadi yang mengejutkan adalah ternyata Dokter Jessica bisa mengimbangi aktingku.
Dia kembali menggelung rambutnya dengan sumpit, dan mengatur agar anak-anak kembali ke bangsalnya dengan rapih, pintu hall terbuka aku melirik keluar, sepertinya pihak keamanan rumah sakit berhasil mengusir para wartawan tadi.
"Saya selaku pihak rumah sakit mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan Adrian dalam acara baca cerita anak-anak hari ini." ucap Dokter Jessica resmi. Dia menyodorkan tangannya, menungguku, aku tersenyum tipis teringat kecupan tak sengaja tadi. Dia tiba-tiba seperti teringat sesuatu lalu menarik tangannya.
"Kenapa kamu senyum-senyum." tanyanya melirikku segera memasukan tangannya ke kantong jas dokter nya.
"Ga ada apa-apa." jawabku menatap langsung ke arah bibirnya, dia menyadari arah tatapan mataku.
"Saya harap anda tidak berpikir macam-macam ya Bapak Adrian!" serunya marah.
"Ih aku ga pikir macam-macam kok." jawabku geli karena menyadari bahwa kami memikirkan hal yang sama. Dia mendengus marah, lalu hendak pergi mengikuti anak-anak, tapi datang dokter lain yang mendatangiku.
"Ahh Adrian, sayang sekali saya tidak sempat melihat pembacaan cerita tadi, saya baru saja selesai rapat." seru wanita paruh baya itu tersenyum lebar sambil menyodorkan tangannya. Aku segera menyalaminya, dan Jessica berdiri dibelakangnya.
"Sudah makan? setidaknya kami bisa mentraktir Adrian makan kan, yang sederhana saja nggak apa-apa kan, atau ada scheduled lain?" tanya dokter tua itu penuh harap kepada Edo. Jangan, bilang saja aku sibuk, Aku sungguh berharap Edo mengerti bahasa isyaratku.
"Belum Bu Dokter, kami sibuk dari pagi, jadi belum sempat makan," jawab Edo penuh harap, pria gempal itu mengedipkan sebelah matanya kepadaku.
"Oooh pas sekali, ayo kita makan, ayo Dokter Jessica kamu juga harus ikut kan kamu penanggung jawab acara ini." ajaknya dengan gembira. Aku dengan terpaksa mengikutinya sambil melirik Edo dengan jengkel.
Tetapi baru kami berjalan beberapa langkah, handphone Dokter paruh baya itu berbunyi, dia mengangkatnya dengan kesal.
"Ya, baik pak saya segera kesana." jawabnya jengkel, lalu menatapku dengan sedih.
"Maaf sekali Adrian saya tidak bisa ikutan, tapi ada Dokter Jessica yang akan menemani. Jess tolong ya!" perintahnya sambil menepuk pundakku agak lama, lalu pergi menuju lift. Dokter Jessica menatapku dengan jengkel.
"Mau makan dimana?" tanyanya padaku dengan ketus.
"Wah terserah ibu Dokter dong, kami ikut saja, kan kami ditraktir," jawab Edo senang tersenyum manis. Jessica menyipitkan matanya, tapi diam saja lalu berjalan menuju pintu parkiran.
"Eh sebaiknya gw berangkat duluan biar wartawan yang sisa ngikut ma gw ya, pasti di depan ada yang nunggu, ntar WA ya kemana gw nyusul," ujar Edo masuk akal, sebaiknya aku tidak membuat berita baru lagi. Pria Gempal itu segera menuju mobil kami, dan benar saja beberapa wartawan memang menunggu dan langsung mengikuti Edo.
"Oke, berarti aku ikut mobilmu." Dia memandangku dengan kaget, tapi akhirnya menyerah, sambil menghela napas panjang.
"Ya udah," jawabnya lemah menuju mobilnya.

Comentário do Livro (21)

  • avatar
    RafiFauzia

    terimakasih banyak memuaskan

    12d

      0
  • avatar

    bagus

    30/07/2022

      0
  • avatar
    UlfaMiqita

    iii

    19/07/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes