logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

I've Been Watching You (Memperhatikanmu)

I've Been Watching You (Memperhatikanmu)

Pinnacullata


Capítulo 1 Melarikan Diri

"Adrian, coba liat sini!" panggil satu fotografer. Kilatan cahaya yang membutakan mata terus menyerbuku, aku mengangkat tangan agar cahaya itu tidak langsung mengenai mataku.
"Adrian, senyumnya mana?" bujuk fotografer yang lain. Suara kamera mengambil foto begitu riuh tidak berhenti-henti.
"Adrian, mana Miranda, katanya semalem bobo-boboan berdua?" tanya seorang fotografer yang langsung disambut dengan tawa oleh semua fotografer yang mencoba mengambil fotoku. Pertanyaan yang tidak sopan itu membuat emosiku naik tapi, aku tak boleh melakukan apa-apa, kalau tidak beritaku akan muncul lebih banyak besok pagi.
Aku terperangkap di sudut jalan, aku hanya ingin membeli rokok di minimarket, tanpa kusadari saat aku keluar dari kondominiumku, para wartawan sudah mengikutiku. Aku memandang handphone-ku yang kosong dengan putus asa. Dimanakah Edo? Aku sudah menghubungi pria itu dari setengah jam yang lalu.
"Bang Adrian, gimana kabar Miranda? Kabarnya calon mertua marah-marah tuh?" tanya wartawan yang lain. Aku telah diajari jika ada situasi seperti ini aku harus sabar, jangan terpancing emosi, aku hanya cukup diam saja, jangan menjawab, ucapku dalam hati mencoba menenangkan diri. Rokokku aman, aku menepuk-nepuk kantong celanaku. Yang penting para wartawan ini tidak mengetahui perihal rokok ini.
"Adrian sombong ih!" seru seorang dari wartawan itu. Aku tertawa kecil atas ungkapan itu, perlihatkan gigimu yang rapi Adrian, setidaknya besok saat muncul di tabloid fotomu tampak bagus.
Hadeuh, berapa lama lagi aku harus menunggu Edo, pikirku dalam hati, aku harus ingat untuk menjitaknya nanti. Tidak lama datanglah mobil van hitam, akhirnya Edo menjemputnya, dia menyetir dengan urakan, menyeruak gerombolan wartawan itu, membelah mereka menjadi dua bagian, beberapa dari mereka marah-marah sambil memukul van.
"Adrian, tunggu dulu, senyum dulu," panggil wartawan sambil mendorong mendekatiku sambil mengambil fotoku dekat sekali sehingga cahaya blitz membutakan mataku, Edo segera turun dari mobil dan menahan mereka agar aku bisa masuk mobil. Dengan susah payah aku akhirnya bisa masuk ke dalam mobil. Aku mengambil napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Akhirnya aku terbebas dari para wartawan itu.
"Masih belom kapok?" tegur Edo dengan dingin kepadaku. Aku melirik matanya yang menatap lurus ke jalanan, melalui kaca spion
"Hmm," balasku tahu kalau aku bersalah, tapi aku tak mau kalah dari Edo. Dia kini yang melirikku dari kaca spion tengah juga.
"Hmm, apa maksudnya tuh? Kita nggak bisa tahu sampai besok terbit beritanya, Adrian tertangkap saat pulang dari apartemen Miranda?" cecar Edo dengan suara ketus, dia terlihat begitu kesal. Aku tahu aku telah membuat masalah, ah tapi seperti biasa agensinya bisa menghilangkan berita apapun. Aku tidak perlu panik, pikirku sambil meraih kotak rokok di kantong celananya, tapi....
Hilang, sebungkus rokok itu hilang. Sepertinya kali ini aku telah membuat suatu kesalahan yang lebih besar.
...
"Adrian tertangkap basah membeli rokok di minimarket setelah semalaman di apartemen Miranda." baca Pak Lionel dengan geram, dia lalu memandangku dengan tajam.
"Adrian terlihat di minimarket membeli rokok setelah asik berkencan dengan Miranda?" dia mulai membaca artikel konyol yang lain.
"Duta anti rokok tertangkap membeli rokok di minimarket, calon mertua Adrian mengeluh, takut Adrian memberikan contoh yang buruk bagi Miranda?" bacanya lagi dengan jijik. Aku duduk semakin menunduk memandangi ujung sepatuku. Koran itu dia banting ke mejanya dengan kasar, mengagetkanku dan Edo, hidungnya kembang kempis seperti biasa jika emosinya meledak. Tiba-tiba teleponnya berbunyi, Pak Lionel mengangkat teleponnya di mejanya, suaranya berubah menjadi lembut, lirih seperti kehilangan wibawanya, dia akhirnya meminta maaf sambil menutup telepon. Dan kembali menatapku dengan matanya yang tajam seperti elang.
"Kamu kehilangan status duta anti rokokmu, mereka akan memakai Mario," ucap Pak Lionel dengan mengepalkan tangannya. Mario adalah sainganku, sejak berapa lama ini, kami selalu bersaing merebutkan drama atau iklan, dan kali ini aku yang kalah. Telepon kembali berbunyi, Pak Lionel mengangkat teleponnya lagi sambil memandang dengan penuh amarah kepadaku.
"Kamu kehilangan iklan permen karetmu." lanjutnya lagi dengan kesal. Aku teringat dengan iklan permen karet itu yang dengan susah payah aku rebut dari Mario. Hampir seminggu penuh aku berjalan keliling kota sambil memperlihatkan kalau aku makan permen karet itu, dan sekarang semua itu sia-sia.
"Adrian, sampai kapan kamu terus membuat skandal baru!" tanyanya dengan emosi. Aku yang tadi menatapnya langsung menundukkan kepalaku lagi.
"Jadwal dia hari ini apa Do?" tanya Pak Lionel tiba-tiba. Edo yang ikut merasa dimarahi langsung membuka jadwalku di handphone-nya. Pria gempal itu dengan berkeringat berusaha dengan cepat mencari jadwalku.
"Baca cerita di bangsal anak-anak di harapan kami, sekalian promo untuk syuting drama Dr. Ken" jawabnya dengan suara gugup. Edo mengambil sapu tangannya untuk mengeringkan keringat di keningnya.
"Setelah itu?" tanya Pak Lionel ketus seakan-akan aku tidak berada disitu.
"Seharusnya dia pemotretan iklan permen karet, tapi kalau sudah di copot…,-" jawab Edo menunduk kembali. Hatiku mencelos, aku benar-benar membuat masalah.
"Ya sudah kalau sudah selesai langsung bawa pulang dia ke condonya. Ikat kalau perlu Do!" kata Pak Lionel dengan geram. Mengambil koran tadi dari mejanya lalu menggulungnya.
"Aku benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Miranda, aku hanya bertemu dengan dia karena iklan shampo waktu itu." seruku membela diri dengan kesal, gara-gara wanita jelek itu aku jadi tidak bisa pergi kemana-mana. Pak Lionel menyipitkan matanya, memandangku dengan sinis.
"Itu benar Pak Lionel, Adrian tidak ada hubungan apa-apa dengan Miranda." kata Edo membelaku dengan terbata-bata. Aku memandangnya dengan rasa penuh terima kasih.
"Aku tahu, dia hanya mau dompleng ketenaran Adrian, sampai bawa Mamanya segala." Pak Lionel menghela napas panjang, kembali duduk di meja kerjanya. Kerutan di dahinya muncul kembali ketika dia membuka laptopnya. Aku tahu dia pasti sedang membaca halaman gosip di internet, pasti ada namaku lagi disana.
"Dah sana jauh-jauh, aku ga mau lihat mukamu dulu!" Pak Lionel mengusir kami dengan tangannya seakan-akan kami lalat. Aku dan Edo segera keluar dari ruangan kacanya.
"Pulang dulu dan mandi ya, biar bersih di RS nanti," ujar Edo tanpa basa basi. Aku langsung menurut karena merasa sangat bersalah.
"Sesampainya di RS Harapan Kami, aku langsung mengenakan kacamata hitam, masker dan topi agar aku tidak dikenali, siapa tahu ada rombongan wartawan lagi yang masih mau mengejar berita palsu aku dan Miranda. Aku heran dengan wanita itu, seenaknya saja buat gosip. Sayang sekali aku sudah tidak bisa bertemu dengannya lagi, kalau boleh, aku akan datang dan memaki di depan mukanya.
"Pintu RS terbuka otomatis, dan aku melangkah masuk. Aman tidak ada gerombolan wartawan maupun fotografer. Sepertinya acara membaca cerita untuk anak-anak seperti ini tidak seru untuk masuk berita gosip, hanya hal buruk yang disukai.
Aku mulai melangkah dengan tenang, aku harus bertemu Dr. Jessica, kata Edo, dia menunggu di ruangannya. Aku langsung menuju lift dan memencet lantai 7. Tidak banyak yang ikut masuk dalam lift, dan akhirnya hanya aku sendiri di lantai 7 itu. Aku menghampiri tempat suster, ada dua suster yang sedang menulis.
"Halo, saya mau bertemu dengan Dr. Jessica?" tanyaku sopan.
"Sudah ada janji?" tanya suster agak kasar kepadaku. Dia mendongakkan wajahnya yang bulat, kacamatanya memantulkan cahaya lampu yang berpijar di atas kepalaku.
"Sudah," jawabku. Mengintip kedalam booth suster-suster itu.
"Dokter kemana ya?" tanya suster yang tidak ramah tadi kepada teman disampingnya yang sedang asik menulis
"Lagi keluar tadi." jawabnya sambil melihat ke arahku, kedua suster berpakaian putih itu menatapku seakan aku harus mengerti sesuatu.
"Eh, jadi maksudnya gimana?" tanyaku bingung.
"Yah dah dengar kan, dia lagi keluar tunggu aja disitu," ucap suster yang pertama dengan kasar seakan-akan aku sangat lambat untuk mengerti.
"Oh oke." jawabku agak kesal lalu duduk di kursi plasti yang sangat tidak nyaman, dimana sih Edo? Harusnya dia yang berurusan dengan hal-hal seperti ini. Aku menunggu dengan tidak sabaran. Suster-suster tadi mulai mengobrol satu sama lain.
"Dah liat lom foto Adrian?" tanya suster pertama dengan suara mencicit. Aku langsung memasang telinga.
"Ada yang baru?" tanya suster yang kedua terlihat bersemangat.
"Iih telat deh ah, tadi pagi dia ketangkep basah beli rokok padahal dia kan duta anti rokok!" seru suster yang pertama memuntahkan semua informasi itu.
"Ah dia emang cuma menang ganteng kelakuan nya minus," jawab yang satu, Aish, telingaku mulai panas, apakah aku harus duduk disini dan dengarkan omong kosong ini?
"Dia dah main kan tuh sama Miranda, eh begitu kelar, langsung aja Miranda nya di depak, kasihan emang artis-artis baru." jawab suster pertama itu dengan nada sedih, menceritakan dusta Miranda seakan-akan itu adalah kenyataan.
"Kasihan ya Miranda, dia tuh cantik banget loh, kelewat polos yah." balas suster yang satu. Ah cantik apanya, wanita itu hanya cantik karena polesan. Aku tanpa sadar sudah menggenggam tanganku sampai putih. Polos, wanita ular seperti itu dibilang polos, cih kalau yang seperti itu polos berarti aku orang suci, pikirku kesal.
"Dia kan katanya mau kemari lho." kata suster yang kedua bersemangat.
"Adrian? serius lo?" tanya yang pertama tidak percaya suaranya terdengar ikut bersemangat.
"Iyak, katanya mo baca cerita buat anak-anak, Dr. Jessica kan yang dari kemarin sibuk mengurus kedatangannya," jawab yang kedua.
"Wah gue mo liat ah, bener nggak sih dia seganteng klo di TV, atau make-up ajah." balas suster yang pertama tetap sinis.
Aku hampir kehilangan kesabaranku dan menunjukan mukaku, jika tidak tiba-tiba teleponku berbunyi. Aku segera mengangkatnya.
"Lo dimana, lama amat parkir doang?" tanyaku kesal karena jadi korban gosip tanpa bisa memberitahu kenyataannya.
"Lo yang dimana gw dah sama Dr.Jessica nih?" seru Edo berteriak guna mengalahkan suara riuh di belakangnya.
"Hah gw di lantai 7!" ucapnya kesal.
"Ngapain lo disana? yah keknya ga baca WA, lo ya? kita di bawah di hall, dah buru ke lantai LG!" seru Edo segera mematikan telepon. Aku segera berdiri dan berlari ke lift.
"Itu dia, Adrian! Adrian!" teriak salah satu wartawan saat aku keluar dari lift tiba-tiba jalanku sudah penuh dengan wartawan dan fotografer.
"Bagaimana menurutmu lamaran Miranda barusan?" teriak salah satu wartawan. Aku terdesak dengan kamera dan kilatan blitz lagi, aku segera mencari jalan keluar dari desakan wartawan. Aku berlari di lorong rumah sakit. Diikuti oleh serbuan wartawan di belakangku. Apalagi yang dilakukan oleh Miranda kali ini? aku bertanya didalam hati. Para wartawan mengikutiku di belakang, aku berlari tanpa arah berusaha melepaskan diri dari mereka, topiku terlepas, dan akhirnya maskerku juga aku lepas karena mengganggu napasku yang tersengal-sengal. Dimana Edo yang seharusnya menjagaku?
Ada sebuah yang tiba-tiba terbuka di sebelahku, aku segera masuk tanpa memperhatikan agar dapat menghindari kejaran wartawan. Tanpa sengaja aku menabrak sesuatu.
Bibirnya terasa lembut, matanya yang bulat menatapku dengan terkejut, dia segera melepaskan bibirnya dari ciuman yang tak disengaja itu, menundukkan kepalanya menatap tanganku yang berada di tempat yang salah, dia segera mendorongku ke samping, dan menjerit. Aku langsung menutup mulutnya. Jangan sampai para wartawan menemukanku berduaan dengan wanita berjas putih ini.

Comentário do Livro (21)

  • avatar
    RafiFauzia

    terimakasih banyak memuaskan

    12d

      0
  • avatar

    bagus

    30/07/2022

      0
  • avatar
    UlfaMiqita

    iii

    19/07/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes