logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

My World

My World

Alifia C.T


|1.| Study Tour

"Nyatanya, tak ada rasa sakit yang membuat kita terbiasa."
•••
'PLAK!'
"Nilai ujian fisika dapat delapan kamu berani minta izin ikut
study tour
?! NGGAK! BELAJAR!"
"Tapi, Pa—"
"PAPA BILANG NGGAK, YA, NGGAK! SANA BALIK KE KAMAR! BELAJAR!"
Gadis berambut coklat pekat itu berlari menuju kamarnya di lantai dua sembari memegang permukaan pipi kirinya. Meski sudah menjadi makanan sehari-hari, Retta tetap saja merasa sakit hati saat diperlakukan kasar oleh sang ayah.
Elvaretta Adinda, gadis berusia 17 tahun ini kerap membuat banyak gadis lain iri dengan kemewahan yang melekat pada dirinya. Padahal, semua itu hanya tampak luar. Mereka tidak tahu, apa yang Retta rasakan setiap hari. Tekanan batin apa yang menimpa Retta setiap detik. Dan seberapa sesak keadaan di dalam rumah mewah yang mereka kagumi.
Retta dituntut untuk selalu menjadi yang terbaik. Nilai ujian di bawah angka 9, ia tak akan mendapat jatah makan malam. Pernah suatu hari Retta mendapat nilai ujian 7 untuk pelajaran kimia. Bukan tanpa alasan. Di hari ujian itu, Retta tiba-tiba mimisan sehingga ia terpaksa hanya menyelesaikan 18 dari 20 soal yang ada. Dan saat sang ayah mengetahui hal itu, Retta dipaksa tidur di luar.
Sebenarnya, Retta bisa saja melawan. Lagipula, bekas-bekas luka di tubuhnya cukup jadi bukti tindakan kekerasan yang dilakukan sang ayah. Tetapi, amanah untuk menjadi anak berbakti dari mendiang ibunya selalu sukses mengurungkan niat itu.
Retta meremas kertas ujian fisika di tangannya. Padahal, ia mendapat nilai sempurna di semua mata pelajaran, kecuali fisika. Retta akui, fisika memang kelemahannya. Gadis itu juga sudah berusaha keras menuruti keinginan sang ayah. Belajar lewat tengah malam pun hampir setiap hari ia lakukan.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya, membuat Retta lantas menghapus jejak air mata di pipinya.
"Masuk," ucap Retta.
Ternyata, itu adalah Bi Arum. ART di rumah Retta yang sudah bekerja di sana sejak ibu Retta masih hidup. Tepatnya, sekitar 20 tahun yang lalu. Wanita paruh baya itu membawa nampan berisi segelas susu hangat. Aktivitas rutin yang tak pernah terlewatkan.
"Minum dulu, Non."
"Bi, kan, Retta bilang, nggak usah panggil 'Non' kalau lagi nggak ada papa."
Sejak ibunya meninggal 3 tahun yang lalu, Retta memang meminta Bi Arum untuk berhenti memanggilnya dengan embel-embel 'Non'. Sebab Retta merasa ia dipanggil oleh ibunya sendiri saat Bi Arum memanggil namanya.
Bi Arum tersenyum meringis. "Udah kebiasaan, Non. Eh, Retta."
"Makasih, ya, Bi. Harusnya, Bibi nggak usah bikinin kalau Retta nggak minta."
"Waktu Retta masih kecil, Bibi selalu bikinin meskipun Retta nggak minta."
"Ya. Itu, kan, waktu masih kecil, Bi." Retta tertawa. "Retta minum, ya?"
Bi Arum mengangguk sambil tersenyum ramah. "Ngomong-ngomong, tadi Bibi nggak sengaja dengar. Retta mau ada
study tour
, ya, besok?"
Retta meletakkan gelas berisi susu yang tinggal setengah di atas nakas. Gadis itu mengangguk lesu. "Tapi, nggak dibolehin sama papa. Gara-gara nilai fisika Retta dapat delapan."
"Bibi dengar, besok tuan ada meeting di luar kota gitu, Non---eh, Retta---terus, nginep katanya."
Retta tertawa getir. "Palingan juga sama cewek yang lain lagi."
"Bukan gitu maksud Bibi." Bi Arum duduk di kasur Retta. Wanita paruh baya itu memasang ekspresi serius. "Kalau Retta mau, besok habis tuan berangkat, Retta juga berangkat ikut
study tour
."
"Tapi, nanti Bibi dimarahin papa, gimana?"
"Tenang. Aman masalah itu mah."
"Beneran, Bi?"
Bi Arum mengangguk antusias. Tiga detik berikutnya, Retta memeluk Bi Arum erat. Senyuman manis merekah di bibirnya. "Makasih, Bi."
***
Karena harus menunggu Panji---ayah Retta--berangkat terlebih dahulu, nyaris saja gadis itu ketinggalan bus kota. Study tour yang akan Retta ikuti ini bertujuan ke Bandung. Dari SMA Trijaya ke lokasi, seluruh peserta yang ikut diharuskan berangkat bersama rombongan dengan menaiki bus.
"Gue kira lo nggak ikut tadi," ucap Eli sesaat setelah Retta duduk di samping kirinya.
Retta yang masih dalam keadaan napas ngos-ngosan menjawab, "Suntuk gue di rumah. Berasa mau mati muda."
Eli tertawa. Ia adalah sahabat terdekat Retta di sekolah. Saling mengenal sejak duduk di bangku SD, membuat Eli sedikit-banyak tahu tentang kehidupan Retta. Eli tak pernah meminta Retta curhat. Ia hanya menyediakan telinga untuk Retta berkeluh-kesah.
"Hai, Retta. Makin cantik aja." Itu adalah suara bernada khas buaya darat dari mulut laki-laki bernama Erzan, salah satu
most wanted
yang terkenal kaya di SMA TRIJAYA.
"Retta, gue punya coklat buat lo." Kalau yang satu ini, Rian namanya. Cogan, sih. Tapi, kalau tanpa kacamata.
"Gue diet," ucap Retta ketus sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela. Enggan bertatapan dengan dua lelaki yang duduk di kursi depannya.
"Kalau jus mangga, mau, dong?" Yang barusan ini, Erlangga namanya. Ia biasa dipanggil Angga. Cowok dengan ketampanan di atas rata-rata dan fans bejibun. Lelaki itu menyodorkan segelas jus mangga dari kursi belakang.
"Udah kenyang." Lagi-lagi, Retta mengabaikan rayuan para lelaki itu.
"Air mineral mau, dong? Biar lo nggak kehausan nanti." Terakhir, Azka. Yang satu ini, bisa dibilang biang onarnya kelas XI IPA 3. Tanpa Azka, suasana kelas bisa bertransformasi menjadi suasana kuburan.
"Gue udah bawa minum."
Tentu saja, dari keempat lelaki tadi, tak ada satu pun yang membuat Retta tertarik. Selain karena tak ada waktu untuk masalah cinta-cintaan, selera pacar idaman Retta bisa dibilang ... mustahil.
"Gue heran sama lo, Ret. Lo normal nggak, sih?" tanya Eli yang sejak tadi memperhatikan bagaimana cueknya Retta menanggapi keempat
most wanted
SMA TRIJAYA.
Retta lantas melotot tajam ke arah sahabatnya. "Normallah! Enak aja lo kalau ngomong."
"Habisnya, cowok-cowok
most wanted
TRIJAYA lo tolak semua. Apalagi Angga. Bisa-bisanya lo nolak dia."
"Ya, emang gue nggak suka. Gimana, dong?"
"Terus? Lo sukanya yang kayak gimana?"
Retta melukis senyum penuh makna. "Ganendra Javas Kaivan."
"Ye ... itu, sih, karakter novel yang lo ciptain sendiri!"
Retta memang seorang penulis novel. Berkat dukungan ibunya, Bi Arum, dan Eli, Retta berhasil menerbitkan novel pertamanya di salah satu penerbit indie ternama. Bulan ini, karyanya yang berjudul 'GANENDRA' telah dibeli lebih dari 10 ribu orang.
Kecintaan akan dunia novel, membuat Retta memutuskan untuk menciptakan karakter tokohnya sendiri. Sebab hal itu pula, kriteria pacar idaman Retta semakin melambung tinggi.
Menurut Retta, tak ada lelaki seperti Ganendra Javas Kaivan di sekolahnya.
***
Pantai.
Sebuah tempat wisata yang sangat Retta rindukan. Saat ibunya masih ada dulu, Retta sering diajak liburan ke pantai bersama kedua orang tuanya. Namun, semua itu kini hanya tinggal kenangan.
Anak-anak lain sedang asyik bermain air. Lain halnya dengan Retta yang memilih duduk menyendiri di pinggir pantai. Gadis itu butuh waktu untuk mengisi energi, mengingat sifat introvet dalam diri Retta.
Ia membiarkan ombak menggelitik jari-jari kakinya. Retta mendongak, menatap langit yang tampak sedikit mendung. Saat ini, Retta merasa begitu dekat dengan ibunya.
Tak lama kemudian, gerimis mengundang. Semua orang di pinggir pantai lantas berhamburan untuk mencari tempat berteduh. Tak terkecuali Retta. Namun, gadis itu melihat tangan seseorang yang melambai di tengah pantai.
Ada orang tenggelam.
Tanpa pikir panjang, Retta berlari ke tengah pantai. Tak ada keraguan sedikitpun dalam dirinya. Sebab, air adalah sahabat terbaik Retta setelah Eli.
Usaha Retta tak sia-sia. Ia berhasil menyelamatkan lelaki berusia tiga puluhan itu. Ada sedikit rasa aneh dalam diri Retta saat ia sampai di pinggir pantai. Indra pengelihatannya, tak menangkap seorang pun di sekitar.
"Abang nggak apa-apa?" tanya Retta saat mereka sampai di pasir pantai.
"Elvaretta Adinda,
right
?"
Kedua mata Retta melebar. Terkejut dengan pria yang baru saja menyebut nama lengkapnya. "Abang tahu nama saya dari mana?"
Alih-alih menjawab, pria itu malah mengulurkan sebuah botol kaca yang entah apa isinya.
"Nama gue Cokro Surya. Lo bisa panggil gue Bang Surya. Di dalam sini, ada beberapa kapsul dengan warna berbeda. Ambil."
Tatapan Retta mengarah pada botol kaca dalam genggaman Surya. Gadis itu merasa ragu untuk mengambilnya. Tentu saja. Siapa yang akan langsung percaya pada orang asing seperti Surya? Bagaimanapun, mereka baru bertemu, tapi lelaki itu sudah memberikan sesuatu untuk Retta.
"Ambil," ucap Surya sambil meraih telapak tangan Retta dan meletakkan botol kaca di sana.
"Ini apa?"
Surya kembali mengulurkan sesuatu. Kali ini, secarik kertas yang entah berasal dari mana.
"Semua pertanyaan lo, ada di sini."
Detik itu juga, kesadaran Retta lenyap.

Comentário do Livro (89)

  • avatar
    SianturiSondang

    bintang⁵seru dan

    17d

      0
  • avatar
    GamingRenal

    terimakasi y

    06/07

      0
  • avatar
    Yan Wp

    saya sangat suka

    26/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes