logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 58 Memadu Kasih

Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!
Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.
Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.
Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.
“Aku bangunin kamu ya?” tanya Farzan dengan suara serak.
Wanita itu menggeleng pelan sembari mengangkat wajah lagi. “Emang udah waktunya bangun. Jam berapa sih sekarang?”
“Masih jam empat. Tidur lagi aja kalau masih ngantuk.”
“Nggak ah. Mau mandi dulu, biar nggak telat salat Subuh,” sahut Nadzifa mundur sedikit ke belakang dengan merapatkan selimut.
“Hari ini kasih keterangan ke kantor polisi, ‘kan?” Farzan mengajukan pertanyaan lagi dengan pandangan tidak lepas dari wajah Nadzifa yang tampak menggemaskan. Wanita itu masih terlihat cantik meski baru bangun tidur. Dia baru saja menyadari kekeliruannya dulu, ketika Bramasta memuji kecantikan perempuan yang sekarang resmi menjadi istrinya.
“Iya. Nanti aku pergi sendirian aja. Kamu ‘kan harus ke kantor,” tanggap Nadzifa tersenyum lembut.
Pria itu menggeleng malas. “Bisa nggak kasih keterangannya diundur dulu? Kita baru nikah, Zi.”
Nadzifa berdecak seraya mengeluarkan kedua tangan, lalu ditangkupkan di kedua pipi Farzan. “Jadwal udah ditentukan sebelum kita nikah, Zan. Masa iya reschedule? Nggak mungkin dong.”
“Wow! Tangannya dinaikin lagi, Zi,” goda Farzan melirik tubuh bagian atas Nadzifa yang tersingkap.
Wanita itu langsung menarik lagi selimut ke atas dan merapatkannya ke tubuh. “Kamu ini ya?” desisnya salah tingkah.
Farzan tertawa renyah melihat ekspresi malu-malu istrinya. “Eh, tadi malam aku udah lihat semua loh. Pahala tahu bikin suami senang.”
Pria itu menarik pinggang Nadzifa ke depan, sehingga tubuh mereka kembali merapat. Kelopak mata wanita itu langsung melebar seketika.
“Mau ngapain nih?”
“Jalan-jalan lagi.”
“Sebentar lagi Subuh, Zan.” Nadzifa meletakkan kedua telapak tangan di dada Farzan, lantas mendorongnya ke belakang. “Habis itu aku harus siap-siap ke kantor polisi. Kamu juga harus kerja. Nanti aja kalau udah pulang.”
Farzan mendesah pelan mendengar alasan Nadzifa yang masuk di akal. Tidak mengada-ngada agar bisa menolak ajakannya. Alhasil ia setuju untuk menunda lagi perjalanan yang telah dimulai tadi malam.
“Mandi bareng ya?” Farzan tersenyum nakal.
Nadzifa menggeleng cepat.
“Mau dapat pahala atau dosa?”
Wajah wanita itu langsung mengerucut. Akhirnya ia pasrah mengikuti kemauan sang Suami.
Farzan kalau dipikir-pikir sama dengan Brandon, selalu bawa-bawa pahala jadinya istri mereka tidak bisa menolak. Ya iyalah, namanya juga kakak beradik. Ck!
***
Farzan tersenyum ketika memalingkan wajah ke arah istrinya yang tampak cantik dengan balutan kerudung. Dia tidak menyangka wanita yang dulu hidup glamor, dekat dengan klub malam dan alkohol, kini justru menjelma menjadi sosok muslimah yang taat.
“Aku mau tanya sesuatu boleh?” tanya Farzan kembali melihat jalanan.
Mereka berdua sekarang berada dalam perjalanan menuju kantor polisi yang ada di daerah Sukabumi untuk memberi keterangan.
“Tumben tanya. Boleh dong. Kamu udah jadi suami aku, masa sih mau tanya sama istri pake tanyain dulu?!” jawab Nadzifa menepuk pelan lengan Farzan.
“Kenapa akhirnya putuskan pakai kerudung? Sebelumnya kamu bilang belum siap dan kita sempat berdebat bahas ini, ‘kan?”
Nadzifa tersenyum kecut, kemudian melihat lagi ke arah jalan. “Ceritanya panjang.”
“Panjang?” Kening Farzan berkerut.
“Intinya aku sadar aja kalau ternyata menutup aurat itu wajib. Nggak bisa nunggu siapkan hati atau jilbabkan hati dulu.” Nadzifa menundukkan kepala dalam seraya menarik napas panjang.
“Apa yang terjadi sama Mas Brandon, mengingatkanku kalau kematian itu dekat. Baru aja siangnya dapat chat dari Mas Brandon, sorenya udah kecelakaan. Gimana kalau aku juga gitu nanti? Bisa aja aku meninggal sewaktu-waktu dalam keadaan nggak menutup aurat,” sambungnya lagi panjang lebar dan terdengar lirih.
Farzan mengangguk membenarkan, lalu mengulurkan tangan membelai lembut belakang kepala istrinya. “Makasih ya.”
“Makasih apa?” Nadzifa jadi bingung sendiri.
“Karena udah tutup aurat kamu sebelum kita nikah. Paling nggak dosaku jadi berkurang, Sayang,” sahut pria itu cekikikan.
“Ih, apaan sih, Zan? Kok malah ketawa.”
“Masih aja panggil, Zan,” decak Farzan geleng-geleng kepala.
“Trus panggil apa?”
“Sayang, suami atau sweetheart gitu. Kita udah suami istri, Sayang.” Farzan mengerling sebentar, sebelum fokus lagi melihat jalanan.
“Kamu seriusan nih nggak kerja hari ini?” Nadzifa mengalihkan pembicaraan.
“Nggak ah. Mau cuti dulu tiga hari. Puas-puasin main sama kamu,” godanya tersenyum nakal.
Nadzifa kembali menepuk lengan berotot suaminya. “Apaan sih?” lontarnya memutar bola mata.
“Kayak kamu nggak suka aja. Tadi aja pas mandi minta tambah lagi,” balas Farzan menyeringai.
Wanita itu memalingkan paras ke sisi kiri jalan, pura-pura tidak mendengar perkataan sang Suami. Dia jadi malu sendiri, karena sudah kalap mata ketika berada di kamar mandi. Ruangan yang seharusnya dingin malah dibuat panas dengan aksi yang tak tertahan dari Nadzifa.
Percakapan panas pengantin baru itu harus berhenti, ketika mobil jenis sedan yang dikemudikan Farzan memasuki pekarangan kantor polisi. Karena kecelakaan dan penculikan terjadi di daerah Sukabumi, maka seluruh kasusnya ditangani oleh kepolisian setempat.
“Sebentar, Sayang,” tahan Farzan sebelum turun dari dari mobil.
“Ke—” Baru saja ingin mengajukan pertanyaan, bibir berisi itu sudah dibungkam oleh Farzan dengan bibirnya. Dia melumatnya dengan intens seakan tidak bosan mengecap rasa manis bibir Nadzifa.
“Sekarang turun yuk!” ajaknya setelah tautan bibir mereka terlepas.
Nadzifa tergelak seraya mencubit pinggang suaminya. “Aku pikir tadi mau ngapain. Taunya ciuman.”
“Emang kamu mau lebih lagi? Tuh ‘kan mulai ketagihan,” ledek pria itu seraya melepas sabuk pengaman.
Wanita itu memutar bola mata, kemudian membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Dalam hitungan detik, sang Suami sudah berdiri di samping seraya menekuk tangan membentuk siku.
“Lebay deh. Kita cuma mau ke kantor polisi,” sungut Nadzifa membuat pria itu semakin gemas.
Mereka berjalan memasuki kantor yang berukuran besar itu sambil bergandengan tangan. Sebelum benar-benar menapakkan kaki di dalam, Nadzifa berhenti sebentar. Dia meraih kedua tangan Farzan dan menatapnya sebentar.
“Aku minta maaf karena harus ceritakan semuanya nanti,” ucapnya pelan sembari melihat mata elang Farzan bergantian.
Pria itu tersenyum dengan mata berkedip. Kepalanya mengangguk singkat. “Sudah seharusnya kamu ceritakan semua di dalam. Aku dukung kamu, Zi.”
Farzan mengusap punggung tangan Nadzifa dengan ibu jari sebelum melanjutkan perkataannya. “Mungkin ini yang bisa bikin Mommy jera dan bertaubat.”
Nadzifa menarik napas berat sebelum kembali melangkah memasuki bagian depan kantor kepolisian. Dia segera melapor ke bagian penerima tamu, setelahnya wanita itu diminta masuk ke ruangan untuk dimintai keterangan. Sedangkan Farzan harus menunggu di luar.
Baru saja duduk di kursi kayu panjang yang ada di lorong, tilikan netra elangnya melihat kedatangan Arini dan Brandon. Dia langsung berdiri menyambut kakak dan kakak iparnya.
Brandon tersenyum usil melihat wajah sang Adik yang tampak mengantuk. “Gimana tadi malam?”
“Bran?” tegur Arini mendelik nyalang, “kamu apa-apaan sih, baru datang udah tanya begituan.”
Brandon cekikikan seraya melirik Farzan. “Habis penasaran aja sama anak yang nggak pernah pacaran, trus tiba-tiba nikah.”
Arini mendesah geleng-geleng kepala dengan kelakuan suaminya yang kekanak-kanakkan. Baru saja ingin berbicara lagi, terdengar bunyi panggilan masuk ke ponselnya.
“Bran, ada telepon dari kepala tim yang handle kasus kamu,” katanya menyerahkan ponsel kepada Brandon.
“Sebentar, Zan,” ujar Brandon kepada Farzan.
“Ya halo, Pak. Saya sudah sampai nih di kantor,” sapa Brandon dengan sebelah tangan masuk ke saku celana.
Farzan hanya diam melihat ekspresi Brandon ketika berbicara dengan salah satu anggota polisi yang menyelidiki kasusnya.
“Sudah ketemu?” Brandon mengalihkan pandangan ke arah Farzan dengan penuh makna.
“Baik, Pak. Saya akan tunggu di sini sampai orang itu tiba,” sambungnya lagi sebelum panggilan berakhir.
Brandon menarik napas berat, kemudian tersenyum singkat.
“Kenapa, Bran?” tanya Arini was-was.
Pria itu menyerahkan ponsel kepada Arini, lalu menggaruk kening dengan ujung ibu jari. “Itu. Ayu udah ketemu,” ungkapnya menepuk pelan pundak sang Adik
Bersambung....

Comentário do Livro (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes