logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 35 Perasaanku dan Perasaanmu

Farzan berdiri di depan flat Nadzifa, setelah pulang dari kantor. Satu kantong kresek berwarna hitam menggantung di tangan kanan. Dia menekan tombol bel dengan tangan yang masih bebas.
Dalam hitungan detik, seorang perempuan berparas cantik dengan rambut hitam tebal telah berdiri di sela pintu. Seperti biasa Nadzifa mengenakan baju kaus oblong dengan celana jeans pendek selutut. Pakaian ‘kebesaran’ yang selalu dikenakan sehari-hari.
“Bawa apaan lagi tuh?” tanya Nadzifa mengerling ke kantong hitam yang ditenteng Farzan.
“Ketoprak buat makan malam,” jawab Farzan menaikkan kantong itu ke atas.
“Ch! Irit tuh duit. Bentar lagi nikah, butuh biaya banyak loh,” tanggap Nadzifa seraya memutar tubuh memasuki flat.
“Tenang, tabunganku cukup kok buat biaya pernikahan,” balas Farzan enteng.
“Habis nikah gimana?”
“Masih ada. Nggak usah terlalu dipikirkan.”
Nadzifa duduk di meja makan setelah meletakkan piring untuk alas ketoprak yang akan dimakan. Dia membuka bungkusnya, kemudian dihidangkan di depan Farzan.
“Makasih, “ ucap pria itu semringah.
“Welcome,” sahut Nadzifa mulai mengaduk ketoprak agar bumbu kacang menyebar di sayur, bihun dan lontong.
Mereka duduk bersisian sekarang, tidak lagi berhadap-hadapan. Katanya sih agar bisa lebih akrab dan terbiasa. Padahal ingin merasakan getar-getar tak biasa di dalam dada. (Halah ini apaan sih? Ck!)
“Nggak terasa sebulan lagi ya?” gumam Nadzifa setelah menelan suapan ketiga ketoprak.
Farzan mengangguk pelan. Dia masih fokus memakan ketoprak kesukaannya.
Nadzifa menoleh ke kiri, tempat pria itu duduk. Dia menumpu kepala di punggung tangan. Senyum tergambar di parasnya melihat bumbu kacang belepotan di pinggir bibir Farzan.
“Kebiasaan, kalau makan bumbunya suka ke mana-mana,” celoteh Nadzifa menyeka bumbu kacang dengan ibu jari.
Farzan langsung menangkap tangan gadis itu, kemudian meraih tisu dan membersihkan ibu jari Nadzifa yang terkena bumbu kacang.
“Pakai tisu kalau mau bersihkan,” kata Farzan seraya mengelap ibu jari gadis itu.
Nadzifa menggeleng pelan. “Penginnya tadi itu pakai bibir, tapi takut nanti ada yang marah lagi kayak dulu,” godanya menyeringai.
Pandangan Farzan berpindah ke wajah tirus yang semakin cantik di matanya. Jika dulu ia tidak tertarik dengan Nadzifa yang masuk kategori kurus, tapi sekarang justru membuat mata elang itu tak jemu memandang.
Tilikan netra hitam Farzan berpindah ke bibir yang pernah dikecapnya tiga bulan lalu. Keinginan untuk melabuhkan ciuman lagi di sana kembali muncul.
“Kenapa?” Nadzifa menatap bingung. Sesaat kemudian dia menyeringai.
“Kalau mau cium, ya cium aja nih,” sambungnya memejamkan mata sambil memajukan bibir ke depan.
Farzan masih bergeming dengan pandangan belum beranjak dari wajah Nadzifa. Terjadi perang maha dahsyat di dalam hatinya saat ini. Sebagian meronta-ronta, meminta agar dia mencium lagi bibir berisi Nadzifa. Sebagian lainnya berteriak melarang.
Nadzifa membuka sedikit mata, karena bibir Farzan tidak kunjung singgah di bibirnya. Dia mendengkus kesal melihat pria itu hanya diam tanpa melakukan apa-apa.
“Kalau nggak mau ya udah,” desahnya memalingkan paras.
Farzan menggeleng cepat, agar Nadzifa tidak salah paham. “Bukannya nggak mau.”
“Trus?” Nadzifa meraih gelas, lalu meneguk air putih.
“Khawatir kalau nggak bisa nahan diri. Bahaya,” tutur Farzan terus terang.
Gadis itu menarik napas panjang seraya mengangkat bahu. “Iya juga sih.”
“Tapi kalau ini masih boleh, ‘kan?” Farzan langsung melabuhkan kecupan di pipi kiri Nadzifa.
Mata hitam lebat gadis itu berkedip pelan terkejut dengan tindakan Farzan barusan. Ini kali ketiga pria bertubuh tinggi itu menciumnya. Meski bukan di bibir, tapi kecupan itu mampu membuat tubuhnya bergetar.
Nadzifa memandang pria itu, agar bisa menyelami lagi perasaannya saat ini.
Masa sih gue jatuh cinta sama Farzan? Nggak mungkin, racaunya pada diri sendiri.
Kenapa nggak mungkin, Zi? Toh Farzan selama ini baik sama lo. Dia juga bukan tipe cowok yang suka mainin perasaan cewek. Farzan berbeda jauh dari Brandon, batinnya lagi.
Mengenai Brandon, hingga saat ini ia masih belum melakukan apa-apa untuk membalas kematian sang Tante. Nadzifa memutuskan untuk mewujudkannya perlahan, setelah menikah dengan Farzan nanti.
“Hubungan kita sekarang gimana sih, Zan?” Nadzifa bergumam pelan mengutarakan kebingungannya.
“Gimana apanya?” Farzan ikut-ikutan bingung.
“Perasaan lo ke gue dan perasaan gue ke lo. Bikin gue bingung,” desis gadis itu.
Farzan menarik kursi Nadzifa ke depan, sehingga posisi mereka berdekatan. Jantung mereka bertalu-talu ketika tangan pria itu bergerak membelai rambut hitam tebal miliknya.
“Perasaan aku?”
Nadzifa mengangguk pelan menahan luapan perasaan yang tak bisa dibendung. Matanya kembali terpejam merasakan kehadiran jari Farzan di pinggir pipi. Perlakuan pria itu dan sentuhan-sentuhannya semakin membuat Nadzifa menginginkan lebih.
“Aku sebenarnya ….” Farzan menarik napas dalam sebelum meneruskan kalimatnya.
Gadis itu kembali membuka mata dan melihat raut gugup di paras Farzan.
“Aku ci—”
Kalimat yang diucapkan Farzan harus terpotong ketika ponselnya berdering. Tangan yang tadi berada di pinggir wajah Nadzifa, sekarang turun merogoh saku. Matanya bergerak melihat nomor yang tertera di layar ponsel.
“Ya, El?” sahut Farzan setelah menggeser tombol hijau. Rupanya Elfarehza yang menelepon.
Terdengar napas menderu di seberang sana. “Mami, Bang,” kata El terdengar khawatir.
“Kak Arini kenapa, El?” Farzan ikutan cemas.
Nadzifa mengamati perubahan raut wajah Farzan sekarang. Dia memilih mendengarkan dulu percakapan searah dari pria itu.
“Mami ke sana nggak?” tanya El kemudian.
Farzan menggelengkan kepala, lantas berdiri. “Kak Arini nggak ke sini. Kenapa?”
“Mami nggak ada di rumah. Papi juga nggak tahu Mami ke mana. Kata penjaga Mami pergi pake mobil,” terang El terdengar panik.
“Astaghfirullah,” ucap pria itu melangkah ke arah pintu.
Nadzifa bertambah bingung melihat Farzan meninggalkan dirinya tanpa bicara terlebih dahulu.
“Tolong bantu cari Mami, Bang. Aku sama kakek juga udah cari Mami. Papi juga udah pergi.” Pemuda itu terdengar kacau.
“Iya. Ini abang mau pergi.” Farzan memejamkan mata sebelum mencapai pintu flat. Dia membalikkan tubuh dan melihat kepada Nadzifa yang mematung tak jauh dari sana.
“Ikut aku, Zi,” pintanya mengerling, “lima menit lagi aku tunggu di depan.”
Nadzifa menganggukkan kepala lega. Ternyata pria itu masih ingat kalau dirinya ada di sana.
Farzan segera bergerak menuju flat-nya, mengambil jaket dan dua helm. Dia butuh Nadzifa berada di sisinya saat ini.
Selang lima menit kemudian, Farzan kembali keluar flat. Ternyata Nadzifa telah menunggunya terlebih dahulu. Gadis itu menerima helm yang diserahkannya.
Tanpa membuang waktu mereka berdua langsung turun ke basemen parkiran, tempat motor berada.
“Kak Arini nggak ada di rumah,” info Farzan setelah mereka di dalam lift.
“Kok bisa?”
Farzan mengangkat bahu. “Nggak tahu. El bilang tadi pergi sama mobil. Kak Arini ‘kan nggak boleh nyetir lagi sama dokter.”
Kedua pangkal alis Nadzifa naik ke atas saat membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Arini kambuh.
“Emang mau cari ke mana sekarang?”
“Ancol,” jawab Farzan singkat.
“Ancol? Lo yakin Kak Arini ada di sana?”
Farzan mengangguk tanpa ragu. Dia menarik tangan Nadzifa ketika pintu lift terbuka.
“Dari dulu Kak Arini selalu ke sana kalau ada apa-apa. Katanya tenang aja lihat air laut dan ombak,” jelas Farzan memasangkan helm.
Setelah Nadzifa duduk di jok belakang, motor yang dikendarai Farzan langsung meninggalkan area basemen parkir.
Pria itu mengemudi dengan kecepatan tinggi. Dia menghindari lubang jalanan dengan lihai. Tak peduli dengan truk bermuatan kontainer yang berjejer di sepanjang Kalimalang, Farzan terus menyalipnya setiap ada kesempatan. Sementara Nadzifa memilih diam di belakang dengan mengeratkan tautan tangan di depan perut Farzan.
Selang empat puluh lima menit kemudian mereka sudah tiba di Ancol. Luar biasa. Cikarang menuju Ancol hanya ditempuh dengan waktu singkat. Salut!
Motor berhenti sempurna ketika tiba di kawasan parkir pantai Ancol. Farzan mencoba mengingat spot yang sering disinggahi Arini ketika mereka sekeluarga ke sini waktu ia masih kecil.
“Sebelah sana, Zi,” ajak Farzan kembali menarik tangan Nadzifa.
Mereka berlari kecil menuju sisi lain dari pantai Ancol. Benar saja, Farzan menangkap keberadaan mobil sedan milik keluarganya. Tampak jelas dari plat nomor belakang yang bertuliskan HRN, singkatan dari nama Harun. Sekarang tinggal mencari Arini.
Langkah pria itu berhenti ketika melihat seorang perempuan dengan rambut panjang tergerai dan mengenakan gaun rumah duduk di atas bebatuan pantai. Dia melihat Arini dengan perasaan hancur, karena wanita itu tidak mengenakan kerudung. Dada Farzan terasa sesak lagi karena penyakit kakak iparnya sedang kambuh.
Tautan tangan Farzan terlepas ketika ingin berlari memeluk Arini saat itu juga. Perasaan yang sempat goyah, karena kehadiran Nadzifa kembali muncul dan mendominasi lagi. Kakinya melangkah pelan ke dekat Arini. Namun sepuluh meter dari sana, ia berhenti saat menyaksikan Brandon datang berlari menghampiri istrinya.
Farzan hanya mematung melihat Brandon memeluk erat Arini dengan wajah luar biasa panik. Dia memilih diam di tempat menyaksikan kemesraan yang tercipta di antara suami istri tersebut. Mata elang itu menghangat saat Brandon dan Arini berciuman dengan intens. Perasaan yang tadi muncul, menciut begitu saja ketika sadar sudah tidak ada lagi tempat baginya di sisi wanita itu.
Nadzifa yang sejak tadi bingung dengan reaksi aneh dari Farzan, berjalan menghampiri pria itu. Dia menggenggam jemarinya dengan erat.
Perhatian Farzan menjadi teralihkan oleh gadis cantik yang berdiri di sampingnya. Dia menarik tangan Nadzifa ke depan, sehingga jarak mereka terpangkas.
“Kamu tadi tanya gimana perasaan aku, ‘kan?” tanya Farzan tiba-tiba.
Nadzifa mengangguk meski masih dilanda kebingungan. Apalagi pembicaraan sebelumnya sudah lama berlalu.
Farzan menarik napas panjang sebelum melabuhkan ciuman di bibir berisi milik Nadzifa. Tanpa dijelaskan dengan kata-kata, gadis itu sudah tahu jawabannya.
Seakan tidak bisa lagi membendung perasaan, Nadzifa membalas ciuman itu dengan penuh hasrat. Keduanya larut dengan ciuman panas itu hingga beberapa saat. Tangan Farzan sampai naik ke sampai leher gadis itu, lalu membelainya lembut. Sehingga menghadirkan sensasi yang luar biasa.
Farzan memundurkan kepala setelah ciuman terlepas, kemudian menempelkan keningnya di kening Nadzifa. Dia tersenyum lega karena perasaan yang sempat goyah, kini sepertinya akan menetap pada satu hati.
“Lo nggak mau ciuman di flat, tapi malah ciuman di sini. Ini ‘kan tempat umum,” komentar Nadzifa celingak-celinguk malu khawatir ada yang melihat.
“Di sini lebih aman daripada di flat,” tanggap Farzan.
Pria itu kembali menoleh kepada Arini dan Brandon yang masih pamer kemesraan di pantai. Sekarang laki-laki paruh baya itu menggendong istrinya meninggalkan area pantai.
“Apa mereka selalu gitu?” desis Nadzifa mulai kagum dengan cara Brandon memperlakukan Arini. Dia tidak menyangka seorang playboy bisa setia di saat istrinya sedang sakit seperti itu.
Farzan mengangguk. “Always. Makanya aku bilang sama kamu, jangan lihat masa lalu Mas Brandon karena dia udah berubah.”
Nadzifa terdiam dengan pandangan masih mengawasi Arini dan Brandon dari kejauhan. Dia memang masih marah dengan pria itu, tapi melihat bagaimana caranya memperlakukan sang Istri, membuat gadis itu kembali berpikir. Mungkinkah pria yang membuat sang Tante bunuh diri adalah Brandon?
Gue harus tanyakan langsung sama orangnya, biar nggak menduga-duga lagi, batinnya tanpa ragu.
Bersambung....

Comentário do Livro (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes