logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 33 Reuni

Farzan dan Nadzifa terus bergerak mendekati Brandon dan Arini. Dia melihat wanita berkerudung itu menatap adik iparnya dengan penuh kerinduan. Sorot matanya tampak berbeda dari biasa.
Nadzifa kembali dilanda gugup begitu jarak di antara dirinya dan Brandon terpangkas. Sejak dulu, ia ingin sekali bertemu dengan pria yang dijuluki Cassanova sewaktu masih muda. Pria yang digilai oleh banyak wanita dan sering mempermainkan hati kaum hawa. Perasaannya bercampur aduk sekarang. Marah, sedih, benci dan dendam. Semua bercampur menjadi satu.
Farzan bisa merasakan genggaman tangan gadis itu mengerat. Terasa basah oleh keringat, tapi tidak terlalu mempermasalahkannya.
“Kebetulan Mas ada di sini,” ujar Farzan begitu tiba di dekat kakak dan kakak iparnya.
Arini tersenyum lebar melihat kehadiran Farzan. “Bran. Akhirnya lo datang.”
Brandon menelan ludah mendengar perkataan Arini.
“Aku Farzan, bukan Mas Brandon, Kak.” Farzan menunjuk kepada Brandon dengan senyum kecut. “Ini Mas Brandon.”
Pria paruh baya itu semakin mengeratkan tautan tangannya lalu berbisik, “Dia benar, In. Ini gue Bran, sahabat lo. Udah ketuaan ya sekarang?”
Brandon tersenyum kecut, karena perbedaan mencolok antara dirinya dulu dan sekarang. Berbeda dengan sang Istri yang masih terlihat cantik di usia yang tidak lagi muda. Meski begitu, dia tampak memesona.
“Lo Brandon?” Arini tidak percaya.
Nadzifa menarik napas berat melihat interaksi mesra suami istri itu. Menurutnya Brandon tidak pantas bahagia seperti ini, setelah apa yang terjadi kepada Indah, tantenya. Dia menarik tangannya dari Farzan.
“Mau gue panggil kutilangdara di sini?” balas Bran mengerling nakal.
Arini tertawa kecil mendengar Brandon mengucapkan kutilangdara. “Kunyuk dekil.”
“Sebentar, Zan,” tahan Bran sambil menghadap Arini. Dia memeluk istrinya dan memberi kecupan di bibir mungil itu.
“Sekarang udah percaya, ‘kan? Aku mau ngomong sama Farzan sebentar ya,” sambungnya lagi.
Farzan memandang sendu kakak iparnya beberapa saat. Dia ingin sekali memeluk Arini saat itu juga, tapi ditahan.
“Farzan?” panggil Bran saat adiknya terdiam.
“Eh? Ya, Mas. Maaf.” Farzan mengusap wajah, kemudian meraih tangan wanita yang berdiri di sampingnya. “As my promise, Mas. Kenalkan ini calon istriku. Kami berencana menikah dua bulan lagi.”
Nadzifa berusaha mengendalikan diri, agar terlihat normal tapi tetap tidak bisa. Perasaannya terlalu kacau sekarang. Dia ingin pergi berlari dari sana, kemudian berteriak memaki Brandon sekeras-kerasnya. Gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan Farzan yang mengerat.
Pandangan Brandon beranjak melihat perempuan bertubuh mungil yang berdiri kikuk di samping Farzan. Tergambar perasaan tidak nyaman di paras manisnya. Kening pria itu berkerut saat menangkap pergerakan tak biasa pada tautan tangan adiknya itu.
“Siapa nama calon istri kamu, Zan?” tanya Brandon kepada adiknya.
“Na-nadz.” Arini mencoba mengingat nama Nadzifa.
“Nadzifa, Kak,” sela Farzan sebelum mengalihkan pandangan kepada Brandon. “Namanya Nadzifa, Mas.”
Gadis yang berdiri di samping Farzan itu berusaha menyunggingkan senyum.
“Selamat datang di keluarga Harun, Nadzifa,” sambut Brandon mengulurkan tangan. “Ini baru pertama kali Farzan bawa perempuan.”
Pria itu menepuk bangga lengan adiknya. Dia merasa lega setelah memastikan sendiri kalau Farzan telah memiliki pujaan hati.
“Makasih, Mas,” ucap Nadzifa sekenanya.
“Beda sama kamu dulu ya, Bran. Ada berapa itu?” Arini kembali mengingat deretan perempuan yang pernah dikencani suaminya.
“Udah, In. Masa lalu jangan diingat lagi,” protes Brandon keberatan. “Toh kamu yang pertama loh aku bawa ke rumah.”
Arini hanya tersenyum mendengar perkataan suaminya. Dia mencubit pinggang Brandon gemas. “Sekarang kamu bucinnya sama aku.”
“Jelas, Sayang. Mau bucin sama siapa lagi coba?” Brandon membelai lembut pipi istrinya.
Farzan tersenyum melihat kemesraan yang haqiqi dari suami istri itu. Entah kenapa saat ini ia tidak lagi merasa terganggu seperti sebelumnya.
“Kalian udah makan belum?” Brandon kembali mengalihkan pandangan kepada Farzan dan Nadzifa.
“Belum, Mas. Tadi baru ngemil aja sih.”
“Mau gabung di sana nggak? Sekalian mau kenalin sama teman-teman kantor waktu dulu,” ajak Brandon menunjuk meja berukuran besar tak jauh dari tempat mereka berdiri. Di sana sudah dihuni enam orang tamu yang merupakan teman kerja Brandon sebelum mengambil alih The Harun’s Group.
“Gimana, Zi?” Farzan meminta pendapat Nadzifa.
“Terserah lo … terserah kamu aja, Sayang,” tanggapnya berusaha tersenyum.
“Oke. Duluan, Mas. Nanti aku nyusul. Mau ngomong ke Bram dulu, kasihan tadi ditinggal sendirian.” Farzan mengerling ke tempat Bramasta duduk. Ternyata pria berkacamata itu tidak lagi sendirian, ada El dan Syifa yang menemaninya sekarang.
“Mas tunggu ya,” sahut Brandon.
Pria bertubuh tegap itu menganggukkan kepala, kemudian melangkah menuju meja tempat Bram duduk.
“Mau ikut pindah ke sana nggak, Bram?” Farzan menunjuk meja yang sudah dihuni manusia silver itu.
“Lo aja deh, Zan. Gue lagi asyik ngobrol nih sama Syifa dan El. Kalau ikut ke sana, bisa baper sendiri gue.” Bram menggerakkan kepala ke meja yang diduduki Brandon dan Arini. “Tuh couple-an semua. Nyesek kalau ikut juga.”
Elfarehza cekikikan mendengar celotehan Bramasta. “Enak di sini gabung sama jojoba alias jomlo-jomlo bahagia ya, Bang.”
“Nah itu dia. Happy di sini lebih baik daripada happy di sana,” balas Bramasta setuju.
“Ya udah. Gue tinggal dulu ya,” pamit Farzan kembali menarik tangan Nadzifa yang sejak tadi lebih banyak diam.
Gadis itu larut dengan pikiran sendiri. Pandangannya kembali menyapu seluruh wajah yang duduk di meja berukuran besar itu. Jika saja semua orang itu bekerja di perusahaan yang sama dengan Tantenya dulu, berarti mereka tahu sejarah yang pernah terukir antara Indah dan Brandon.
“Nah itu Farzan dan calon istrinya,” seru Brandon begitu melihat Farzan dan Nadzifa datang.
“Wah! Udah gede aja sekarang nih,” komentar Moza, mantan terindah Brandon yang pernah menjadi rival Arini. Wanita yang masih terlihat cantik di usia pertengahan empat puluh itu mengusap kepala Farzan, seperti yang pernah dilakukannya dulu saat bertemu.
“Iya, Kak. Udah dua puluh lima loh sebentar lagi,” sahut Farzan merapikan lagi rambut yang diacak Moza.
“Mirip banget sama lo waktu muda, Bran. Ganteng,” imbuh pria berkepala plontos bernama Firto. Dia salah satu teman yang paling dekat dengan Brandon waktu bekerja di TravelAnda dulu.
“Bener tuh, Bang. Cuma beda bagian mata aja,” tambah Siti manggut-manggut setuju.
“Mereka semua teman Mas waktu kerja di TravelAnda dulu. Jadi pada ingat gimana pesona seorang Brandon Harun waktu masih muda.” Brandon mendongakkan kepala bangga kepada Farzan dan Nadzifa.
Radar Nadzifa langsung menyala ketika mendengar TravelAnda disebut. Di sanalah Brandon kenal dengan Indah, sebelum akhirnya bunuh diri. Dia berusaha terlihat normal mendengar cerita seluruh sesepuh itu.
“Iya, saking memiliki aura bintang ampe punya banyak gebetan,” ledek yang lain.
“Tapi akhirnya berhenti di Arini, sahabatnya sendiri.” Temannya yang lain juga menambahkan.
“Brandon emang nggak ada duanya. Aku sampai kalah telak.” Giliran Fahmi yang angkat bicara. Pria ini dulunya sering dijodoh-jodohkan dengan Arini oleh Brandon. Namun akhirnya menikah dengan Moza, mantan terindah Brandon.
“Sorry, Bang. Iin emang nggak ada rasa sama lo dari awal. Gue aja yang kekeh jodoh-jodohkan kalian.” Brandon menanggapi.
“Eh, malah jadi ketuker ya.” Siti tersenyum usil. “Akhirnya Bang Fahmi yang jadian sama Kak Moza, ampe nikah dan punya anak.”
Mereka semua tertawa, sementara Arini hanya tersenyum mencoba memanggil lagi kenangan masa lalu. Farzan dan Nadzifa memilih jadi pendengar yang baik.
“Eh, lo inget nggak sih Bran sama siapa itu namanya kok gue lupa.” Firto mencoba mengingat nama perempuan yang pernah menjadi korban PHP Brandon. “Astaga, saking banyak yang lo PHP-in dulu sampai lupa namanya.”
“Itu loh yang rambut panjang, cantik banget. Tapi sayang nggak pernah muncul lagi. Ngilang gitu aja dari kantor.” Firto mengernyitkan kening mencoba mengingat perempuan yang dimaksud.
“Yang mana sih, Bang?” Brandon penasaran.
“Lo bilang nama panggilannya sama kayak Arini. Iin juga kalau nggak salah, tapi gue lupa namanya. In … in ….”
“Indah,” celetuk Nadzifa tanpa sadar.
Dia nggak menghilang, tapi resign dadakan karena hamil sebelum bunuh diri. Semua gara-gara pria brengsek ini, gerutu Nadzifa dalam hati seraya mengeratkan kepalan tangan di atas paha.
Seluruh pasang mata yang duduk di meja itu melihat Nadzifa dengan kening berkerut.
Bersambung....

Comentário do Livro (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes