logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 32 Berjumpa dengan Brandon Harun

Pesta resepsi telah dimulai ketika Farzan dan Nadzifa memasuki ballroom. Alyssa dan suaminya sudah duduk di pelaminan. Begitu juga dengan Arini dan Brandon. Rupanya tamu mulai berdatangan, sehingga ruangan berukuran besar itu tampak ramai.
“Kamu belum makan, ‘kan?” tanya Farzan kepada Nadzifa yang masih gugup.
Gadis itu melirik ke pelaminan mencari keberadaan Brandon. Tilikan netra hitam lebarnya berhenti ketika melihat pria bercambang duduk di samping perempuan berkerudung. Genggaman tangannya semakin mengerat seiringan dengan darah yang mulai naik ke ubun-ubun.
Nikmat banget hidup lo, setelah apa yang lo lakukan sama tante gue, rutuk Nadzifa di dalam hati.
“Zi?” panggil Farzan menyentakkan Nadzifa.
“Eh? Apa?” Gadis itu mengalihkan pandangan kepada Farzan.
“Mau makan sekarang? Lapar nggak?”
Nadzifa menggelengkan kepala. “Gue belum lapar.”
Rasa haus dan lapar sirna begitu saja, ketika perasaannya didominasi kemarahan.
“Ya udah, kita ke sana dulu. Tadi El katanya mau ketemu sama kamu,” ajak Farzan kembali menyematkan jarinya di sela jemari Nadzifa.
Gadis itu melihat kepada Farzan dengan tatapan bingung. Ada yang tak biasa dari cara pria itu memperlakukannya. Terasa begitu manis dan hangat. Senyum terukir di paras Nadzifa seketika.
“El,” panggil Farzan membuat pemuda berkulit sawo itu menoleh.
Elfarehza tampak berjalan penuh semangat menghampiri Nadzifa dan Farzan. Sejak tadi dia berdiri menyambut tamu sebagai perwakilan dari pihak keluarga Harun. Di sampingnya berjalan seorang gadis bertubuh mungil mengenakan kerudung berwarna pastel, senada dengan kebaya yang dikenakan.
“Oya, Bang. Kenalkan ini Syifa, temanku.” El memperkenalkan gadis pujaan hati dengan bangga.
Farzan menatap penuh selidik, sebelum tersenyum usil. “Farzan. Om El dan Al yang nggak mau dipanggil Om,” sahutnya mengulurkan tangan.
Syifa, gadis yang bersama dengan El, menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai sambutan uluran tangan dari Farzan.
“Syar’i, Bang. Nggak mau salaman berjabat tangan,” jelas El tak ingin pamannya salah paham.
Farzan kembali menarik tangan, kemudian ikut menangkupkan kedua tangan di depan dada.
“As-syifa, Om. Panggil aja Syifa,” balas Syifa kemudian.
Farzan berdecak pelan. “Panggil abang aja, jangan Om. Nanti ketuaan.”
Syifa nyengir kuda memperlihatkan deret gigi kecil yang tersusun rapi. Mata cokelatnya bergerak ke arah perempuan yang berdiri hening di samping Farzan.
“Ini pasti Kak Nadzifa ya?” tebak Syifa.
Nadzifa mengangguk cepat. “Ternyata kamu yang sering diceritakan El selama ini.”
Syifa tersenyum malu-malu kucing. “Emang Kak El ceritakan apa aja sama Kakak?”
“Banyak. Katanya Syifa itu—”
“Gimana pesenanku, Kak?” sela Elfarehza memberi kode agar Nadzifa tidak meneruskan perkataannya.
Farzan dan Syifa menatap bingung kedua orang itu dengan alasan berbeda. Farzan sudah jelas bingung karena tidak paham dengan apa yang dibicarakan oleh El. Sedangkan Syifa heran kenapa El menyela sebelum Nadzifa menyelesaikan kalimatnya.
“Oh iya. Sebentar.” Nadzifa mengeluarkan ponsel dari dalam tas, kemudian mencari sesuatu dari galeri. Dia menyerahkan gadget pipih itu kepada Syifa.
Farzan yang penasaran ikut melihat tampilan layar, tapi tidak bisa karena sudah berpindah ke tangan Syifa. Dia harus sabar menunggu sampai mereka melanjutkan diskusi.
“Gimana? Kamu suka?” Nadzifa memiringkan kepala sehingga bisa melihat binar di mata cokelat Nadzifa.
“Masya Allah. Bagus banget. Aku suka, Kak. Jadiin aja langsung ya.” Syifa menyerahkan ponsel itu lagi kepada Nadzifa.
“Jadiin apanya?” Farzan mulai kepo.
“Itu, Bang. Kebaya buat wisuda nanti. Syifa mau pesen sama Kak Nadzifa,” jelas Elfarehza.
“Tau nih kepo banget deh jadi orang,” kata Nadzifa menyikut perut Farzan pelan.
Bibir pria itu membulat. Pandangannya kembali menyapu ballroom yang hanya terdengar suara tamu diselingi dengan gesekan sendok dan piring. Tidak ada penampilan musik di pernikahan Alyssa, sesuai dengan permintaan dari keluarga pengantin pria.
“Eh, itu Bram datang,” seru Farzan menepuk bahu Nadzifa.
“Bram,” panggil Farzan melambaikan tangan.
Pria berkacamata itu melangkah cepat menghampiri mereka. Senyum penuh makna terukir di wajah Bram melihat Farzan dan Nadzifa bergantian.
“Aku ke sana dulu ya, Kak, Bang. Mau samperin Om Fahmi dan Tante Moza dulu,” pamit El sebelum Bramasta tiba.
“Yah kok udah pergi aja, El? Baru datang nih.” Bram menyipitkan mata kepada El.
“Sorry, Bang. Kebetulan mau ke sana dulu. Nanti ngobrol lagi ya,” sahut Elfarehza sebelum pergi bersama Syifa, “enjoy pestanya.”
Bram mengacungkan ibu jari dengan kedua alis terangkat ke atas. Pria itu mengalihkan perhatian kepada sepasang sejoli yang berdiri tepat di sampingnya. Dia berdecak seraya menggelengkan kepala.
“Tuh apa gue bilang. Kalian itu cocok banget. Dari dulu kek, jadinya Mbak Nadzifa bisa cepat kasih mantu buat mendiang ibunya,” celoteh Bram dengan raut usil.
Farzan dan Nadzifa sama-sama menundukkan kepala, malu-malu meong. Keduanya kemudian saling berbagi pandangan dan senyuman.
“Udah ah, jangan bikin jomlo kayak gue baper.” Bramasta mengibaskan tangan. “Temenin gue makan yuk! Laper.”
Farzan memiringkan kepala menanti respons Nadzifa.
“Ya udah yuk! Tapi gue mau makan camilan aja dulu ya. Belum lapar soalnya,” kata gadis itu setuju.
“As your wish,” tanggap Farzan.
“Cowok kaku kayak Farzan bisa manis juga ternyata,” ejek Bramasta melangkah terlebih dahulu ke stan makanan.
“Sialan lo! Emangnya gue robot apa harus kaku selamanya,” sungut Farzan.
Nadzifa tertawa mendengar percakapan kedua sahabat itu. “Gue juga suka kaget loh, Bram. Kalau dia lagi manis jadi mikir, ini beneran Farzan atau bukan sih?” tambahnya ikut-ikutan.
“Ya, silakan kalian berdua tertawa sepuasnya. Mumpung hari ini pesta Alyssa,” komentar Farzan seraya memilih kue yang akan dimakan.
Nadzifa dan Bramasta juga mengambil makanan yang ingin mereka bawa ke meja yang telah tersedia.
“Jadi persiapan pernikahan kalian udah sampai mana?” tanya Bramasta ketika mereka duduk.
“Belum ada persiapan. Kata Tante Lisa habis nikahan Alyssa baru diskusi lagi,” jawab Nadzifa sembari memotong brownies yang diambil. Dia menyuap potongan kecil brownies itu ke mulut.
“Eh, ini enak deh. Lo mau nggak?” Nadzifa menyodorkan potongan brownies yang berada di ujung garpu kepada Farzan.
Pria itu membuka mulut agar bisa melahap brownies tersebut. Dia berusaha merasakan keberadaan kue cokelat itu di rongga mulut.
“Lebih enak brownies buatan Kak Arini sih. Nggak ada tandingannya,” celetuk Farzan tanpa sadar.
Bramasta langsung menendang kaki Farzan di bawah meja dengan mata melotot. Sementara Nadzifa menatap malas pria itu.
“Iya, iya. Apa-apa emang enak masakan Kak Arini.” Gadis itu memutar bola mata. Jika dulu tidak masalah mendengar pujian Farzan terhadap Arini, tapi sekarang rasanya sangat mengganggu.
“Masakan kamu juga enak kok, Zi,” tutur Farzan merasa bersalah. Dia tidak ingin menyinggung perasaan calon istrinya.
Nadzifa tidak merespons dan memilih fokus dengan brownies yang sisa setengah.
Bramasta kembali menendang kaki Farzan, lalu memberi kode agar pria itu segera meminta maaf kepada Nadzifa. Tangannya bergerak ke leher dengan gerakan menggorok tenggorokan sendiri.
Farzan meraih tangan Nadzifa dari atas meja, kemudian menggenggamnya. “Aku minta maaf ya,” ucapnya.
“Hmmm ….” balas Nadzifa singkat.
Pria itu menarik napas panjang, karena belum berhasil mengembalikan mood Nadzifa yang sempat rusak. Dia bersandar ke kursi, kemudian melempar pandangan ke arah pelaminan. Farzan melihat Brandon dan Arini turun dari panggung.
“Mas Brandon dan Kak Arini turun tuh. Kita ke sana yuk, Zi. Kamu ‘kan belum kenalan sama Mas Brandon,” seru Farzan segera berdiri.
Mata Nadzifa melebar mendengar perkataan Farzan. Inilah saat yang ditunggu-tunggu olehnya. Bertemu muka dengan pria yang telah menghancurkan hidup wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
“Gue tinggal bentar ya, Bram.” Farzan menepuk pelan pundak Bram.
Pria berkacamata itu mengangguk cepat dengan gerakan mengusir. “Ya udah sana. Biar Mas lo bisa tenang.”
“Ayo, Zi.” Farzan mengulurkan tangan menyambut wanita itu berdiri. Mereka harus terlihat seperti pasangan sungguhan di depan Brandon. Tidak boleh melakukan kesalahan sedikitpun, jika tidak ingin membuat pria berusia pertengahan empat puluhan itu curiga.
Genggaman tangan Nadzifa semakin mengerat ketika jarak di antara mereka terpangkas. Dia bisa melihat pria yang masih memesona meski usia tidak lagi muda dari dekat. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya sekarang.
“As my promise, Mas. Kenalkan ini calon istriku. Kami berencana menikah dua bulan lagi.” Farzan memperkenalkan Nadzifa setelah mereka bertemu.
Bersambung....

Comentário do Livro (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes