logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

15. DUA ORANG ASING YANG TINGGAL SATU ATAP

Gibran pulang ke rumah dengan wajah kusut.
Setelah memarkirkan lamborghininya di garasi, Gibran masuk ke dalam rumahnya.
Kedatangannya disambut oleh Mbok Sumi, pembantu yang selama ini dipercaya keluarganya untuk mengurus rumah peninggalan Kakek dan Nenek Gibran di Raffles.
Rumah ini dulu pernah ditempati oleh sang Papah, Hardin dengan istri pertamanya, tapi tidak lama, sebab setelah mereka bercerai dan sang Papah menikahi almarhumah Ibunya, ke dua orang tua Gibran memilih tinggal di Bandung.
Dan sejak itulah rumah ini kosong.
"Den Gibran, mau makan? Biar Mbok siapkan," ucap Mbok Sumi saat itu.
"Nggak usah Mbok, saya nggak laper. Saya mau langsung istirahat aja. Besok pagi-pagi saya ada urusan," jelas Gibran.
Mbok Sumi cuma manggut-manggut sementara Gibran langsung berlalu menuju kamarnya di lantai dua.
Saat Gibran memasuki kamar, dia tidak menemukan Gaby di sana. Bahkan ketika Gibran mencarinya ke taman belakang, ke area kolam renang dan dapur, Gaby juga tidak ada. Gibran pun menghampiri Mbok Sumi dan menanyakan keberadaan Gaby.
"Nah itu dia yang saya mau bicarakan sama Den Gibran tadi. Cuma saya takut, Den. Takut Non Gaby marah," jawab Mbok Sumi serba salah.
"Mbok jangan takut sama dia, yang gaji Mbok di sini itu saya, bukan dia. Memangnya ada apa?" tanya Gibran penasaran.
"Tadi, pas saya bantuin bawa barang-barang Non Gaby ke kamarnya Den Gibran, Non Gaby malah nyuruh saya untuk membawa barang-barangnya ke kamar sebelah," beritahu Mbok Sumi saat itu.
Gibran berdecak jengkel.
Belum apa-apa Gaby udah bikin masalah!
Keluhnya dalam hati.
"Non Gaby bilang dia nggak mau tidur satu kamar sama Den Gibran," tambah Mbok Sumi hati-hati. Dia takut salah bicara. Meski dalam hati dia jadi bingung sendiri.
Bukankah majikannya itu baru saja menikah?
Dimana-mana yang namanya pengantin baru itu pasti sedang mesra-mesranya. Tapi ini kok malah tidur di kamar yang terpisah?
Kan aneh?
Pikir Mbok Sumi saat itu.
"Ya sudah, terima kasih ya Mbok. Saya minta tolong sama Mbok, jangan bilang apa-apa tentang masalah ini ke Papah ya? Saya sama Gaby cuma bertengkar biasa aja, nanti kalau kami udah baikan, Gaby pasti pindah ke kamar saya," jelas Gibran panjang lebar.
Dia terpaksa bicara begitu karena dia tahu betul bagaimana hubungan antara Mbok Sumi dengan keluarganya selama ini.
Gibran pamit pada Mbok Sumi untuk mendatangi Gaby ke kamar yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya.
Kebetulan pintu kamar itu tidak di kunci, tanpa mengetuk dulu Gibran pun langsung masuk ke dalam kamar itu.
Dilihatnya Gaby sedang tertidur pulas di ranjang.
"Bangun!" Gibran mengguncang bahu Gaby.
Gaby tidak bereaksi. Mungkin karena kelelahan setelah perjalanan jauh, Gaby jadi tertidur dengan sangat nyenyak.
"Heh! Bangun!" Gibran mengguncang kasar bahu Gaby supaya perempuan itu bangun.
Dan usahanya kali ini berhasil.
Ke dua kelopak mata Gaby perlahan terbuka. Memicing sesaat begitu sorot lampu kamar yang sebelumnya dia matikan mendadak terang benderang.
"Apaan sih?" ucap Gaby dengan nada jutek seperti biasa. Dia mengucek ke dua matanya seraya bangkit dari tidur dan duduk menyandar di tempat tidur. Gaby menguap lebar tapi tetap terlihat cantik karena dia menutup mulutnya dengan satu tangan.
Keadaan Gaby yang terlihat sederhana dengan balutan piyama tidur dan wajah yang no make up selalu sukses membuat Gibran salah tingkah.
Sebab di mata Gibran, Gaby terlihat seribu kali lebih cantik saat penampilannya seperti ini.
Natural dan sederhana.
"Kenapa lo tidur di sini?" tanya Gibran to the point.
"Emang kenapa kalau gue tidur di sini? Masalah buat lo?" balas Gaby sok cuek. Dia merapikan rambutnya yang berantakan dan menggelungnya asal-asalan.
"Gue nggak mau Mbok Sumi sampai curiga gara-gara masalah sepele kayak gini. Kalau dia nanti ngadu macem-macem ke bokap gue gimana?" ucap Gibran menyampaikan keberatannya atas keputusan Gaby untuk tidur di kamar yang terpisah.
"Ya udah sih, tinggal pecat pembokat kayak gitu, ribet banget!" maki Gaby tanpa belas kasihan.
"Mbok Sumi itu udah bekerja sama keluarga gue sejak Omah dan Opah gue masih hidup, bokap gue nggak mungkin memecat dia gitu aja tanpa alasan yang jelas, ngerti lo? Dan gue sendiri pun nggak mungkin tega memecat Mbok Sumi cuma karena tingkah kekanak-kanakkan lo ini!" tutur Gibran setengah emosi. Dia berdiri berkacak pinggang di sisi ranjang yang Gaby tempati.
"Cih, apa lo bilang? Gue kekanak-kanakan? Hellowww, Tuan Gibran yang terhormat, gue ini cuma nggak mau terjangkit virus kalau harus tinggal satu kamar sama lo! Oke?" Gaby menatap Gibran dengan senyuman miring.
Sebuah senyuman yang sangat menyebalkan di mata Gibran.
"Alasan lo itu nggak masuk akal tau nggak!" balas Gibran dengan nada sinis.
"Terserah lo mau bilang apa! Gue nggak perduli. Intinya gue nggak mau tidur satu kamar sama cowok penyakitan kayak lo! Anggap aja kita ini cuma dua orang asing yang tinggal satu atap berdua! Selebihnya, hidup lo ya hidup lo dan hidup gue ya hidup gue! Ngertikan, tampan?" Gaby bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah kamar mandi usai mengatakan kalimat menyakitkan itu.
Gibran menelan salivanya yang terasa pahit.
Lagi dan lagi, Gibran kembali dihadapkan pada sebuah situasi dimana dirinya merasa begitu lemah.
Bodoh.
Dan tak berdaya.
Gibran sadar diri akan kekurangan yang dia miliki sebagai seorang lelaki.
Tapi, bukan berarti hal itu selalu membuatnya harus direndahkan dan dihina.
Ini bukan kali pertama Gibran dianggap remeh oleh Gaby hanya karena kekurangan yang dia miliki.
Bahkan bukan hanya Gaby yang memperlakukannya seperti ini.
Jauh sebelum hari ini, Gibran bahkan sudah sering mendapat hinaan akibat kelemahan fisiknya.
Satu-satunya alasan yang membuat hidupnya harus terus bergantung pada obat-obatan itu.
Sesungguhnya Gibran lelah.
Gibran bosan mendengar cacian orang yang menganggap dirinya lemah.
Sayangnya, sampai kapanpun Gibran tak akan pernah terbebas dari kehidupannya yang seperti sekarang.
Akankah Tuhan berkenan memberinya seseorang yang bisa menjadi sandaran kegundahan hatinya kelak?
Seseorang yang tak memandangnya sebelah mata.
Seseorang yang bisa membuatnya merasa berguna.
Seperti dulu Mimi yang selalu berkata, bahwa dia membutuhkan Gibran.
*
"Makasih ya Ib, lagi-lagi cuma kamu satu-satunya orang yang mau menolong aku. Padahal, aku inikan jelek. Aku ini cacat, kenapa kamu mau temenan sama aku?" tanya Mimi pada Gibran.
Gibran tersenyum lebar. "Mama bilang nggak ada orang yang sempurna di dunia ini. Kita semua punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Begitu juga dengan aku. Kalau kamu tau kekurangan yang aku miliki, aku juga nggak yakin kamu masih mau temenan sama aku," jelas Gibran panjang lebar.
"Emangnya kamu punya kekurangan apa?" tanya Mimi dengan wajah polos.
"Aku sakit, Mi..." jawab Gibran lirih.
"Sakit?"
Gibran mengangguk.
"Sakit apa?"
"Jantung,"
Dan Mimi tersenyum.
Dia menggenggam jemari Gibran.
"Itu tandanya Tuhan memang sengaja mempertemukan kita supaya kita saling melengkapi satu sama lain. Aku butuhin kamu dan kamu butuh aku, iyakan?"
*
Gibran terhenyak saat buliran air matanya mengalir di pipi.
Entah kenapa, setiap kali dirinya teringat Mimi, perasaan Gibran selalu saja sedih.
Bahkan tak jarang, Mimi membuatnya rindu akan sosok Luwi, almarhumah Ibunya yang telah lama meninggal.
Gibran ingat, terakhir kali dia menjenguk ibunya ke peristirahatan terakhir sang Ibunda, itu empat bulan yang lalu.
Ada baiknya jika Gibran mengunjungi makam Luwi dalam waktu dekat.
Jika tidak berhalangan, mungkin bisa weekend minggu depan, sekalian dia bersilaturahmi ke kediaman sang Papah di Bandung.
Saat itu, Gibran hendak keluar dari kamar Gaby.
Dia tak berniat lagi untuk mengajak Gaby tidur satu kamar dengannya.
"Anggap aja kita ini cuma dua orang asing yang tinggal satu atap berdua! Selebihnya, hidup lo ya hidup lo dan hidup gue ya hidup gue!"
Kalimat Gaby kembali terngiang dalam pikirannya.
Oke, kalau itu mau lo, Gab...
Gue akan mengabulkannya...
Bisik Gibran sambil menatap ke arah kamar mandi, tempat dimana Gaby berada saat itu.
Satu hal yang perlu Gibran lakukan setelah ini adalah menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada Mbok Sumi mengenai hubungan yang kini dia jalani bersama Gaby.
Semoga Mbok Sumi mengerti posisinya.
Gibran hanya tak ingin, masalah ini merembet hingga ke telinga keluarganya di Bandung.

Comentário do Livro (151)

  • avatar
    Nouna Noviie

    lanjutt dooongg...... jadi penasaran apa bayi yg akan d adopsi itu setelah dwasa nanati akan membalaskan dendam sang ibu kandung... apa bila mngetahuin cerita semasa hidup ibu y dan mengetahuin bahwa ayah angkat'y lah Gibran yg sudh membunuh ibu y...!!??? ini Novel baguss menurutku berhasil membawa pembaca masuk ke dalam suasana isi novel ini😍

    22/12/2021

      2
  • avatar
    Mela Agustina

    seruu bgt demi apapun😭🤍🤍

    20d

      0
  • avatar
    WaniSyaz

    Seru banget

    14/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes