logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

14. TERBAYANG MASA LALU

Seorang anak perempuan berumur delapan tahun sedang menangis terisak di pinggir jalan tepat di depan sebuah rumah kontrakan sederhana di seberang jalan rumahnya di kawasan Cicadas, Bandung.
Dia terus memegangi lehernya yang terasa begitu sakit dan perih akibat sundutan puntung rokok yang di tekan begitu kuat di kulitnya hingga kulit itu mengalami luka bakar yang cukup serius.
Dia terus menerus menatap ke arah rumah kontrakan di depannya. Berharap penghuni rumah itu keluar dan memberinya pertolongan seperti biasa. Sebab hanya mereka yang bersedia menolongnya dibanding dengan tetangga-tetangganya yang lain. Mungkin mereka bukannya tidak perduli, tapi mereka hanya tak ingin terlibat masalah dengan ke dua orang tua bocah perempuan itu, terlebih dengan ayahnya.
"Mimi?" panggil suara seorang bocah laki-laki berseragam SD yang baru turun dari angkutan umum bersama Ibunya. Dia terlihat begitu menikmati es krim coklat di tangannya.
"Ya ampun, Mimi? Kamu kenapa lagi?" ucap suara lembut wanita yang biasa Mimi panggil dengan sebutan Tante Luwi. Wajah Luwi terlihat khawatir.
Wanita cantik itu melepas tangan Mimi yang sedari tadi menutupi lehernya.
"Ya ampun?" pekiknya kaget saat dilihatnya dileher itu terdapat luka bakar yang cukup besar hingga sekitar kulit itu melepuh dan memerah.
"Ayo ikut Tante. Tante obati di rumah." Luwi pun menuntun Mimi dan Gibran anaknya ke dalam rumah kontrakannya yang dia tinggali bersama Kakak laki-lakinya, Reyhan.
"Gibran, langsung copot seragam sekolahmu dan ganti dengan baju biasa. Es krimnya di simpan dulu, nanti kotor kena seragam, Mama mau mengobati luka Mimi dulu," perintah Luwi pada Gibran, putranya yang saat itu berumur sepuluh tahun.
"Oke Mama..." sahut Gibran dari dalam kamar.
Luwi mendudukan Mimi di sofa dan mengambil kotak P3K di dalam laci meja. Tak lupa dia juga mengambil air dingin di kulkas untuk mengompres luka Mimi sebelum dia mengolesinya dengan salep.
"Ayahmu lagi yang melakukannya?" tanya Luwi sambil menatap prihatin ke arah wajah Mimi yang juga di penuhi dengan luka. Bahkan sebagian wajah Mimi cacat akibat disiram air panas oleh sang Ayah yang tidak berprikemanusiaan itu.
Mimi mengangguk pelan masih dengan deraian air matanya yang terus mengalir tak mau berhenti, sebab dia merasa luka dilehernya semakin sakit dan ngilu saat Luwi menekannya menggunakan kompres air dingin. Mimi terus meringis kesakitan.
"Tahan sedikit ya, lukanya harus di kompres dulu pakai air dingin biar tidak bengkak,"
Mimi mengangguk lagi. Dia pun mencoba menggigit bibirnya untuk menahan sakit.
Saat itu Gibran yang sudah selesai berganti pakaian terus memperhatikan luka Mimi dari belakang. Bocah laki-laki itu jadi ikutan meringis saat mendengar Mimi mengaduh kesakitan.
"Mah-Mah..." panggil Gibran seraya menarik kaus Luwi.
"Apa?"
"Papah Gibran nggak kayak Papahnya Mimikan, Mah?" tanya bocah laki-laki itu dengan wajah lugunya. Sebab sampai detik ini, dia tidak pernah diberitahu siapa sebenarnya Ayah kandungnya, oleh sang Mamah.
Luwi terdiam sejenak lalu dia tersenyum pada Gibran. "Tidak sayang, Papah Gibran itu baik," jawab Luwi mencoba meyakinkan Gibran.
"Tapi kok, Mama nggak pernah kasih tau Gibran Papah ada dimana sekarang?"
"Papahmu, sekarang tinggal di Jakarta,"
*
Seorang wanita tersentak dari lamunannya di balkon apartemen, saat dirinya mendapati Video Call di ponselnya.
Dia berlari menuju tempat tidur dimana dia menaruh ponselnya tadi.
Wanita bergaun tidur itu mengangkat panggilan tersebut.
Sebuah wajah laki-laki paruh baya dengan rambutnya yang sudah memutih sempurna terlihat di layar ponselnya.
"Hallo, honey? What are you doing?" sapa si laki-laki. Dia tersenyum lebar di layar ponsel itu.
"Aku lagi di apartemen, seperti biasa," jawab wanita itu tak bersemangat.
"I miss you..." si laki-laki itu tersenyum nakal.
"I miss you to," jawab wanita itu dengan senyuman yang dia paksakan.
"Next week aku mungkin akan mengunjungimu Hon, kamu mau aku bawakan apa?"
"Apa sajalah, semua yang kamu beli pasti aku suka," jawab wanita itu masih dengan raut wajah datar.
"Wait, what's wrong with you, Hon? Are you sick?"
"Oh, tidak, I'm fine. Aku cuma ngantuk, sudah lewat tengah malam soalnya," wanita itu melirik jam dinding di dalam apartemennya lalu kembali menatap si laki-laki.
"Oh, I'am Sorry, Hon. Baiklah, silahkan tidur Mirellaku yang cantik, mimpikan aku ya?"
Wanita bernama Mirella itu mendesah berat. "Oke," jawabnya dengan sebuah senyuman yang masih dipaksakan.
Sambungan video call itu pun terputus.
Mirella menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang tempat tidur dan ditatapnya lama langit-langit kamar apartemennya.
Hingga pada saatnya, ke dua mata bonekanya terpejam, namun yang hadir dalam mimpinya malam itu bukanlah si lelaki tua yang tadi meneleponnya.
Melainkan wajah seorang lelaki tampan yang akhir-akhir ini selalu mengganggunya.
Seorang bocah laki-laki teman masa kecilnya dulu.
Seorang bocah laki-laki yang kini sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang sangat tampan.
Sesungguhnya Mirella sangat merindukan lelaki itu.
Gibran...
Bisik Mirella lirih.
Dia mengigau dalam tidurnya, disertai dengan satu tetes air matanya yang mengalir.

Comentário do Livro (151)

  • avatar
    Nouna Noviie

    lanjutt dooongg...... jadi penasaran apa bayi yg akan d adopsi itu setelah dwasa nanati akan membalaskan dendam sang ibu kandung... apa bila mngetahuin cerita semasa hidup ibu y dan mengetahuin bahwa ayah angkat'y lah Gibran yg sudh membunuh ibu y...!!??? ini Novel baguss menurutku berhasil membawa pembaca masuk ke dalam suasana isi novel ini😍

    22/12/2021

      2
  • avatar
    Mela Agustina

    seruu bgt demi apapun😭🤍🤍

    20d

      0
  • avatar
    WaniSyaz

    Seru banget

    14/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes