logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 8

'Kumohon dengarkanlah,
kenapa kau tidak bisa hidup tenang bersamaku selamanya?
Kenapa kau harus terlibat percintaan membingungkan di antara mereka?
Ketahuilah, ini tidak akan berujung baik.'

Malam itu Ara tampak terlelap di teras halaman depan rumahnya. Tertidur di kursi kayu dengan kedua kaki terangkat dan kepala yang mendongak ke atas, masih memakai kacamata rayban. Di sebelahnya duduk Titan dengan kursi yang berbeda, masih asik membaca buku-buku materi kuliah.
Titan menoleh melihat Ara yang tertidur dengan posisi na’as. Ia berinisiatif mengambil selimut dari kamar Ara dan menyelimutinya dengan perhatian. Tidak banyak yang ia lakukan, Titan harus menunggu ibunya pulang dulu sebelum mengangkat Ara ke kamarnya. Itu adalah salah satu peraturan yang mereka buat.
Setiap malam harus ada ibu di dalam rumah, kalau ibu sedang keluar mereka berdua akan bergurau di depan rumah sambil menunggu ibu pulang. Sejak kecil mereka terbiasa menjaga diri, berusaha untuk tidak menimbulkan fitnah yang bisa membuat ibu sedih.
Titan memandangi Ara, perlahan melepas kacamata yang menggantung di atas hidungnya. Memperhatikan bentuk wajahnya yang oval, bulu matanya yang lentik dengan kedua alis yang simetris. Ia tidur dengan mulut sedikit terbuka, memperlihatkan bibir bawahnya yang tebal dan merekah. Lama Titan tertegun memandangnya. Ia masih gusar dengan cerita Ara tentang pemilik kacamata itu.
“Titan, apa menurutmu jika seseorang dipertemukan secara tidak sengaja dua kali berturut-turut dinamakan takdir?”
Ia tidak suka mengingat perkataan Ara. Sejak dipertemukan dengan Ara, Titan bertekad akan menjaga gadis itu, seperti adiknya. Tapi waktu mengubah cara pandang Titan terhadap Ara, ia ingin lebih dari sekedar menjaga. Terlebih lagi ketika Ara dengan mudah terlena dengan pemuda kaya.
Jangan bertemu lagi dengannya, Ara
Jangan sampai jatuh hati… pada pria kaya manapun. Mereka semua sama saja.
***
“Papa lihat kamu semakin dekat dengan Charisma, Liona.” Sarapan pagi, seperti hari- hari mengerikan lainnya. Liona duduk agak jauh dari papa, hanya mereka berdua, mama izin ke kamar karena kurang sehat.
Selera makan Liona selalu hilang bila ayahnya memulai pembicaraan. Entah kenapa, Bapak Amalia selalu saja mencoba mendekatkan hubungannya kembali dengan keluarga Charisma yang sempat terputus beberapa tahun lalu. Beruntung, anak keduanya Liona tumbuh menjadi gadis cantik yang penurut.
Dan seorang Charisma yang pemilih dalam segala hal berkenan didekati Liona, mengizinkan anaknya bertandang sesuka hati ke rumah pemuda miliyuner itu. Membuat praduga bahwa Charisma juga mempunyai perasaan lebih pada Liona, merasa punya satu kesempatan lagi menjadikan keluarganya bagian dari keluarga bangsawan Charisma Vi Zuggers.
“Kamu menyukainya juga kan?”
“Tidak Pa, Liona menganggap Kak Charis sebagai kakak sama seperti Kak Charis menganggap Liona sebagai adiknya. Jangan memikirkan hal yang tidak mungkin terjadi, Pa.” Liona berusaha menahan emosi.
Papa hanya tersenyum mengejek lalu menyesap kopinya perlahan.
“Hanya sebatas kakak adik itu tidak mungkin anakku, kau tahu itu.”
Liona menghentikan makannya, membersihkan wajah dengan tisu menahan geram. “Sudah cukup Kak Sarah menjadi korban keserakahan papa, jangan jadikan Liona yang kedua kalinya, pa.” pinta Liona, hampir setengah memohon.
Berada dekat dengan Charisma menurutnya adalah hal yang wajar, apalagi melihat Charisma begitu kehilangan dan seperti tidak mempunyai semangat hidup akibat kabar meninggalnya Sarah atas kecelakaan pesawat tiga tahun silam. Liona seperti memiliki kewajiban untuk menemani Charisma, mengobati sedikit demi sedikit luka hatinya yang telah begitu parah. Selama ini Liona tidak pernah tahu, betapa Charisma begitu menginginkan cinta kakaknya sejak mereka kecil.
Liona berdiri, beranjak pergi.
“Jangan pernah berpikir untuk menjodohkan aku dengan Kak Charis, pa. itu tidak akan berhasil.”
Bapak Amalia menatap anaknya tajam, mengatupkan kedua tangan dan mengaitkannya, merubah ekspresi wajah menjadi sangat serius. “Saat perjamuan keluarga Zuggers dulu, papa bercanda menawarkan Sarah kepada Charisma yang saat itu masih berumur sekitar tiga belas tahun. Hanya bergurau tidak lebih, tapi jawaban Charisma membuat papa dan keluarganya sangat terkejut.”
Ia terdiam, mengingat kembali kenangan yang hampir terlupakan. Kenangan saat pertama kali ia meminjam dana untuk perusahaan barunya yang terancam failed, terpaksa bergabung dengan keluarga Zuggers yang tengah makan malam saat itu. Ia berpikir keras mencari jaminan yang sesuai untuk pinjaman karena yakin Mr. Zuggers adalah seseorang yang penuh perhitungan. Sampai ketika ia bergurau dan ditanggapi dengan sangat serius oleh anak tunggal mereka.
“Apa kata Kak Charisma, pa?” Liona masih berdiri dengan sikap hati-hati, mencari kebohongan dari mata ayahnya. Tapi kali ini ayahnya benar-benar serius.
“Charisma memintaku agar menjodohkannya dengan Sarah, saat itu juga. Ia menginginkan Sarah menjadikan tunangannya ketika usianya telah dua puluh tiga tahun sedangkan anakku Sarah masih berusia delapan belas tahun. Ia ingin menikah dengan Sarah dengan wajah penuh tekad. Setelah kejadian itu keluarga Zuggers memberikan dana, bukan pinjaman kepada perusahaan dan keluarga kita secara besar-besaran.” Pak Amalia menyesap kembali kopinya dan tersenyum hambar.
“Kau benar Liona, papa tidak akan menawarkan anak papa untuk kedua kalinya. Maaf…”
***
Charisma mengetuk-ngetuk meja kerjanya gelisah. Pekerjaannya belum selesai, namun ia sudah merasa sangat bosan. Tidak biasanya ia seperti ini, jenuh sebelum pekerjaannya tuntas. Ia menggarukkan kepala yang tidak gatal, merasa frustasi. Seperti ada yang mengganjal di hatinya, entah itu apa.
Pintu ruangannya diketuk, Bily masuk perlahan sambil menebarkan senyum ramahnya seperti biasa.
“Pagi, Pak Charis. Ini berkas yang belum anda tanda tangani.”
Charisma menerima berkas Bily yang begitu banyak dan belum berkenan membuka berkas tersebut satu pun saat ini. Ia memandang Bily, ingin mengatakan sesuatu tapi tidak ada ucapan yang keluar dari bibirnya. Bily yang memang tidak peka, tidak menyadari tingkah bos-nya yang tidak biasa, ia merasa perlu berbasa-basi sejenak sebelum pergi.
“Ehm…saya tidak melihat Liona dari tadi, apa ia ambil cuti, pak?” Bily telah terbiasa membedakan dimana ia seharusnya berbicara formal dan tidak pada Charisma, kali ini ia bersikap selayaknya bawahan terhadap atasan.
Seperti mendapat ide, sorot mata Charisma tampak berkilat. “Apa kau ingin bertemu dengannya, Bily?”
Apa kata bos-nya tadi? Ia mengerjapkan mata, merasa tidak mengerti. Charisma tidak ingin membuang waktu, sebentar lagi istirahat makan siang tapi ia sudah tidak sabar ingin segera mengendarai mobil. Ia berdiri setengah memutari kursinya, mengambil jas dan menoleh ke Bily yang masih terpaku.
“Kau ingin makan siang dengan Liona atau tidak?”
***
Ara semakin menundukkan kepala mengamati selokan kecil di area kampus sambil berjongkok. “Harusnya ada di sekitar sini.” Gerutuku sambil terus mencari, setengah membungkuk dan berjalan pelan menelusuri parit sambil mataku terus mengamati.
Tingkah memalukanku berawal dari setelah membeli air mineral di kantin, aku keluar dengan membawa banyak logam kembalian. Karena terburu-buru memasukkan botol air ke dalam tas selempang, uang logam yang kupegang berjatuhan dan menggelinding sepanjang daerah parit. Merasa logam-logam itu lebih berarti dari cowok tampan mana pun di Dunia ini, aku jadi tidak peduli dengan tatapan sekitar,
aku harus mendapatkan uang logam itu kembali!
Sudah terkumpul lima logam seribuan di genggamanku dan masih ada beberapa logam lima ratus perak yang belum kutemukan. Selagi serius mencari, seseorang berwajah seperti malaikat menghampiriku.
“Kamu Ara, kan?”

Comentário do Livro (75)

  • avatar
    BotOrang

    bagus

    21/08

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus endingnya👍

    21/03

      0
  • avatar
    NoepRoslin

    Kalau dah jodoh tak kan ke mana. Walaupun terpisah pasti akan berdatu kembali..🥰🥰

    22/07/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes