logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Komitmen

'Sarah atau Ara bukanlah masalah bagiku.
Aku mencintaimu, itu yang terpenting.
Setelah berkutat dengan puluhan berkas kantor yang begitu menyita waktu bahagiaku, aku langsung bergegas menuju café tempat Ara bekerja. Bukan, maksudku tempat kekasihku Sarah bekerja. Sampai saat ini aku masih belum bisa mengerti jalan pikirannya. Setelah identitas Sarah diketahui, ia tetap saja seperti kehidupannya semula. Bekerja part time untuk gaji yang tidak seberapa dan tinggal di rumah Ibu Miah sementara hidup sebenarnya ada di keluarga berada yang berkecukupan.
Suara pintu café yang kudorong membuat Sarah menoleh. Melihatku sekilas ia pun terus meneruskan pekerjaannya yang sedang mengelap meja konsumen. Tangannya yang kurus tampak cekatan memindahkan piring-piring kotor, langsung membungkukan badan ketika konsumen datang dan membungkukan badan lagi ketika konsumen beranjak pergi. Ia berusaha tampak ramah walau aura kelelahan tersirat jelas di wajahnya.
Dengan gaya sok tampan yang pasti memabukkan, aku menghampiri meja yang tengah ia bersihkan. Seakan pura-pura tidak mengenaliku, ia mengeluarkan note dan pulpen dari dalam saku celemek. Sambil bertopang dagu, aku terus memandanginya.
“Mau pesan apa?”
“Pesan kamu, boleh.”
Ia mendelik tajam padaku, tidak ingin bercanda tapi pada akhirnya senyuman tipis terukir juga di bibirnya. “Kupensankan kopi saja ya, tunggu sebentar. Sekitar sepuluh menit lagi aku baru boleh pulang.”
“Tunggu, duduklah.” Aku menarik tangannya perlahan agar duduk dihadapanku. Setengah hati menurut, ia pun membalas tatapanku.
“Ada apa?”
“Kalau kamu lelah, kenapa tidak berhenti bekerja saja? kamu tidak membutuhkan uang lagi sekarang, Sarah.” ucapku, selembut mungkin. Memandangnya begitu dekat membuatku harus menahan nafas atau meredakan detak jantung yang sepertinya memiliki ritme tidak normal. Masih berpakaian waitress saja seperti seorang putri di mataku. Bulu matanya begitu lentik, warna kulitnya tampak eksotis menurutku dan bibirnya…
“Aku butuh. Aku punya Ibu Miah yang harus kusejahterahkan kehidupannya.”
Ketegasannya membuatku kembali pada realita bahwa pasanganku kini adalah gadis super tomboy yang keras kepala. Tadi apa yang kutanyakan? Oh, ya.
“Tapi Ibu Miah bukanlah keluarga aslimu, Kamu sekarang bagian dari keluarga Amalia.”
“Aku juga bagian dari keluarga Ibu Miah, begitu juga Titan.”
Spontan aku tersenyum mengejek. “Kau telah dibohongi mereka selama tiga tahun, Sarah. ingat itu.”
Aku bisa melihatnya memanas dan berusaha menahan amarah yang pasti berakibat buruk. Tahu perkataanku benar ia diam saja, aku jadi langsung merasa bersalah. “Maafkan aku.”
Ia menggeleng perlahan, tidak suka membahasnya. “Nanti kita lanjutkan lagi. Jadi pesan apa? Americano seperti biasa?”
“Latte, please.”
Sarah mengerutkan kening mendengarnya. “Sejak kapan kamu suka Latte?”
“Sejak…hari ini.” aku berusaha membuatnya terpesona dengan memberikan senyuman terbaikku. Tapi kurasa pesonaku tidak berpengaruh sedikitpun padanya. kasihan…
“Hei, pelayan!” seorang konsumen dari meja sebrang memanggil Sarah. Dengan isyarat mata Sarah memintaku menunggu, ia kemudian berbalik menghampiri konsumen pria paruh baya yang tampaknya tengah marah.
“Maaf pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Ini bagaimana sih?! Saya kan pesan nasi goreng special tanpa seafood, kenapa dikasihnya pake seafood! Kalo saya kena alergi anda mampu ganti rugi!!?” teriakannya begitu lantang dan keras, membuat pembuluh darahku naik ke kepala dengan cepatnya. Aku berdiri dengan marah, sangat marah.
“Maafkan saya pak, biar saya ganti nasi goreng bapak dengan nasi goreng tanpa seafood yang bapak pinta.”
“Tidak usah! Ini sudah saya makan beberapa suap dan baru saya sadar kalo di dalamnya ada seafood. Anda mau buat saya celaka, hah?! Baru jadi pelayan rendahan saja sudah ceroboh begini.”
“Diam, atau saya terpaksa membuat anda diam untuk selamanya.” Aku meraih pisau steak dari mejanya dan mengarahkannya dengan nada mengancam.
Aku tahu semua mata tertuju pada kami, tapi aku tidak peduli. “Mereka juga manusia seperti anda yang butuh dihargai dan dihormati, jadi bersikaplah hormat padanya.”
“A…anda siapa?” Pria itu tampak takut merasakan aura jahatku.
“Ada apa ini? Ara! Ya ampun, apa yang kau lakukan kali ini?!” seorang pria berseragam beda yang kutahu manager café tergesa-gesa menghampiri kami, langsung mengomeli Sarah sebelum tahu masalahnya.
Kugenggam tangan Sarah, menunjukkan dominasiku padanya. Untunglah kali ini Sarah tidak memberontak ataupun berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri. ia memilih diam dan menurut dengan sikapku.
Aku menoleh menatap manager café dengan ekspresi sangat kesal. “Maaf Pak, mulai hari ini Sarah berhenti bekerja dari tempat anda. Cepat lepaskan celemek-mu, Sarah.” tanganku menengadah, Sarah segera melepaskan celemeknya dan memberikannya ke tangannku. Kuberikan kembali celemek Sarah ke tangan manajer café yang kehilangan kata.
Lalu perhatianku teralih ke konsumen menyebalkan ini. kurogoh saku celana, mengambil dompet lalu mengeluarkan uang yang tidak kuhitung berapa jumlahnya. Kutaruh di mejanya dengan ekspresi angkuh yang kubuat. “Ini, jika memang anda membutuhkan perawatan medis karena kesalahan kekasih saya. Permisi.”
Kutarik tangan Sarah, merangkul tubuh kurusnya dan berjalan berbalik untuk masuk ke dalam mobilku. Aku tidak ingin Sarah berada di tempat ini lagi.
Benar-benar tidak ingin.
***
Aku tahu aku sebenarnya bisa mengomeli balik bapak tidak tahu tata krama itu, atau mengacaukan café untuk membuat manager sombong itu malu. Tapi tindakan gentle charisma… ya, tindakannya membelaku seperti seorang ksatria membuatku tersanjung dan karenanyalah aku merasa berhenti bekerja dengan terhormat.
Di dalam mobil aku hanya diam, sibuk memikirkan apa yang seharusnya kukatakan pada Charisma. Berterima kasih sambil tersipu malu bukanlah gayaku, apalagi sambil memeluknya. Membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri. Untungnya Charisma terus melirikku di tengah fokusnya mengemudi, seakan mempertimbangkan sesuatu yang ingin ia ucapkan padaku.
Melirik sekali lagi, Charisma pun akhirnya berucap. “Apa kamu marah?”
“Tidak juga.”
“E…aku minta maaf atas kejadian tadi. Aku terlalu marah sampai tidak berpikir lebih lanjut terhadap pekerjaanmu. Aku minta maaf, Sar.”
Aku hampir tertawa mendengarnya bicara. Ternyata Charisma dari tadi mengkhawatirkan reaksiku terhadap kemarahannya yang berlebihan. Segaris senyuman tersungging di bibirku. “Aku tidak marah. Kalau dipecat tinggal cari kerja lagi, aku juga punya banyak pekerjaan part time yang lain. Aku malah mau berterima kasih karena Char berani membelaku, sampai ngancam pakai pisau segala. Parah!”
“Oh ya? Kukira kau marah, habis dari tadi diam aja.”
“Aku hanya sedang mengingat, berapa jumlah uang yang kamu berikan untuk konsumen cerewet itu. Sepertinya sekitar…lima ratus ribu. Wow, seharusnya uang itu kau berikan kepada orang yang lebih membutuhkan, seperti aku.”
“Ha..ha…uang itu tidak seberapa Sarah. Sebentar lagi kau akan jadi istriku dan semua hartaku akan jadi milikmu juga jadi…”
“Stop Char, jangan diteruskan lagi. Apa sekarang kita akan ke rumah Ibu Miah?” aku mencoba mengganti topik, sangat riskan bila Charisma mulai bicara tentang keseriusan hubungan kami.
“Kenapa?” tapi sepertinya Charisma mulai menyadari itu.
“Kenapa apanya?” dan aku pura-pura tidak menyadarinya.
“Kenapa aku tidak boleh bicara banyak tentang masa depan kita? Kapan kita akan…”
“Char, please. Aku....”
Kupejamkan mata sejenak. “Butuh waktu.”

Comentário do Livro (75)

  • avatar
    BotOrang

    bagus

    21/08

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus endingnya👍

    21/03

      0
  • avatar
    NoepRoslin

    Kalau dah jodoh tak kan ke mana. Walaupun terpisah pasti akan berdatu kembali..🥰🥰

    22/07/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes