logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 15

Kring!
Jam pelajaran pertama dimulai. Semua murid masuk ke dalam kelas masing-masing.
Kedua sudut bibir Ayana mengembang saat melihat gambar bebeknya tidak memudar sedikitpun di tangan Argatha.
“Kenapa lo senyum-senyum?” tanya Argatha.
“Senang aja gambar bebeknya masih ada,” jawab Ayana senang.
Argatha langsung menutupi tangannya.
“Selamat pagi everyone,” sapa Bu Vanya.
“Pagi Bu,” sahut murid dengan kompak.
Bu Vanya memasuki ruang kelas diikuti dengan seorang murid laki-laki di belakangnya.
“Kelas kita kedatangan penghuni baru lagi, murid laki-laki yang bisa kalian lihat wujudnya sekarang ini,” ucap Bu Vanya seraya melihat murid baru itu.
“Kamu duduk di sebelah Farah ya,” suruh Bu Vanya sembari menunjuk Farah yang sedang melambaikan tangannya.
“Baik Bu, terima kasih,” ucap Murid itu.
“Mantap, ini jatah gue,” ucap Farah.
Langkah murid baru itu perlahan mendekat ke arah Ayana. Karena posisi kursi Farah tepat berada di depan Ayana.
Sorot mata Ayana sama sekali tidak lepas dari murid baru itu, begitupun sebaliknya.
“Halo, nama gue Farah,” ucap Farah pada murid baru yang sekarang duduk di sampingnya.
“Arken,” sahutnya tersenyum.
Arken memutar posisi duduknya, lalu menyodorkan tangan kanannya pada Ayana. “Hai, gue Arken,” ucapnya.
Ayana mematung sejenak. Bibirnya tak bisa berucap apa-apa, matanya hanya mampu melihat pria itu dengan lekat.
“Argatha,” ucap Argatha sembari membalas sodoran tangan Arken.
Arken mengerutkan keningnya, lalu kembali menyodorkan tangannya pada Ayana. “Gue Arken, nama lo?”
“Ayana,” jawab Ayana menunjukkan senyum manisnya.
Arken membalas senyuman Ayana, lalu kembali menghadap Bu Vanya.
Argatha melirik Ayana, nampaknya gadis itu salah tingkah di depan Arken.
“Biasa aja, nggak usah salting gitu,” ucap Argatha.
Ayana menatap Argatha dengan penuh keheranan. “Argatha kenapa?”
°°°°°
Jam kosong nampak terjadi lagi. Beberapa murid membentuk sebuah kelompok, ada yang berkumpul di bagian belakang, dan ada yang berkumpul di bagian depan.
Argatha memakai earphonenya, ia tak mempedulikan suasana sekitar. Ia tetap seperti biasa, menjadi pribadi yang enggan untuk berbaur.
“Argatha,” panggil Ayana.
“Hm.”
“Lagi dengerin lagu ya?”
“Iya.”
“Dengerin lagu apa? Kopi dangdut?”
“Seperti mati lampu.”
“Ayana boleh ikut dengerin nggak?”
“Nggak.”
Senyum di bibir Ayana sedikit memudar. Gadis itu menarik napasnya panjang. Mungkin memang benar, hati Argatha tidak menginginkannya untuk masuk.
Arken dan Farah memutar posisi duduknya. “Jam kosong mulu dah,” gerutu Farah.
“Emang sering banget ya jam kosong gini?” tanya Arken.
“Banget. Tapi bagus sih, lumayan buat refreshing,” jawab Ayana.
“Lo ngomong enak buat refreshing, karena lo pintar. Lah gue? Makin bego,” sahut Farah.
Argatha tidak benar-benar asyik dengan earphone dan ponselnya. Sesekali Argatha melihat Arken yang mencuri pandangan pada Ayana.
Argatha melepas satu earphonenya, lalu memasangkannya di telinganya Ayana.
Ayana sedikit terkejut, mengingat tadi Argatha tidak mau untuk mendengarkan lagu bersamanya.
“Kalian pacaran?” tanya Arken.
“Nggak,” jawab Ayana.
Reflek! Argatha langsung menoleh. Gadis itu dengan mudah menjawab pertanyaan Arken. Ya walaupun jawabannya tidak salah, tapi entah kenapa Argatha merasa tidak suka dengan jawaban Ayana.
°°°°°
Suasana kantin tetap sama seperti biasa. Begitu ramai dengan kumpulan murid-murid yang melepas lelah setelah belajar.
Argatha, Ayana, Arken, dan Farah sedang menunggu pesanan mereka datang.
“Halo Argatha,” sapa Arin yang tiba-tiba datang tak dijemput.
Ayana, dan Farah menatap Arin dengan sinis.
“Argatha apa kabar?” tanya Arin membuka obrolan.
“Baik,” jawab Argatha dingin.
“Gimana harinya? Lancar?” tanya Arin lagi.
Timbul kerutan-kerutan kecil di kening Ayana. Ia pikir hanya ia yang sangat agresif dengan Argatha, ternyata tidak, masih ada Arin.
“Lo sehat nggak sih? Lo satu sekolah sama Argatha, basi banget nanyain kabar,” decak Farah yang tidak bisa menahan emosinya.
“Emang salah? Gue kan Cuma pengen tau harinya Argatha baik atau nggak? Soalnya ada pengganggu yang bikin Argatha nggak nyaman,” ucap Arin sembari melirik Ayana.
“Yelah, tinggal nongolin kepala ke kelas aja, pakai basa-basi. Norak!” sahut Ayana tak mau kalah.
Arken yang tidak mengerti dengan apa yang terjadi hanya diam. Melihat ke kanan saat Ayana dan Farah berbicara, dan melihat ke kiri ketika Arin berbicara.
“Kalian bertiga nggak bisa akur ya?” tanya Argatha.
“Akur sama dua cewek gatel gini? Nggak level banget,” ucap Arin.
“Perlu dikasih kaca nih orang!” geram Farah.
“Jelas lah kita nggak level. Saya high, sedangkan anda low, jadi nggak setara,” ucap Ayana penuh penekanan.
Arin mengepal tangannya kuat, kalau saat ini tidak ada Argatha, mungkin Arin sudah menjambak rambut Ayana.
“Tolong dong matanya nggak usah melotot gitu, minta banget buat dicolok?” ucap Ayana yang sepertinya sudah tidak sanggup menahan kekesalannya.
“Sabar Ay, sabar. Bidadari nggak boleh emosi sama nenek gayung,” ucap Farah penuh penekanan.
Tak lama setelah perdebatan yang tidak bermanfaat, pesanan mereka berempat pun datang.
“Yuk makan yuk, laper abis debat sama nenek gayung,” sarkas Farah.
Arin mendesis pelan, lalu pergi.
“Dia siapa?” tanya Arken.
“Pacarnya Argatha,” jawab Farah enteng.
Argatha menatap Farah dengan tajam. Seolah ingin melemparkan mangkok yang ada dihadapannya ke arah gadis itu. “Gue nggak punya pacar,” ucapnya.
“Kalau lo, punya pacar nggak?” tanya Arken pada Ayana.
Argatha menatap Arken dengan sorot mata yang tak biasa.
“Ayana nggak punya pacar,” jawab Ayana.
“Kalau Arken punya pacar nggak?” tanya Ayana balik.
Arken tersenyum, “Gue nggak punya pacar, masih jomlo,” jawabnya.
“Wah berarti kalian cocok tuh. Kalian sama-sama jomlo,” ucap Farah sembari melirik Argatha yang tak bergeming.
Argatha menghela napasnya berat. Nafsu makannya seolah hilang begitu saja.
“Lo tinggal dimana?” tanya Arken.
“Alamanda Residence.”
“Searah tuh sama gue. Gimana kalau pulang sekolah bareng aja?”
Ayana menoleh ke arah Argatha. Pria itu nampak tenang, tidak bersuara sama sekali dari tadi.
“Iya tuh Ay, lebih baik lo nanti pulangnya bareng Arken aja,” ucap Farah.
Argatha tiba-tiba bangkit. “Gue balik ke kelas duluan ya,” ucapnya dingin.
“Makanannya kok nggak dihabisin?” tanya Ayana yang melihat mangkok bakso milik Argatha masih penuh.
“Kenyang.” Argatha beranjak meninggalkan Ayana, Arken, dan Farah yang masih menatap punggung Argatha yang perlahan menjauh.
“Argatha kenapa?” tanya Arken.
“Mulai kepanasan kayaknya,” jawab Farah.
“Hah? Maksudnya?”

Comentário do Livro (252)

  • avatar
    Cunda Damayanti

    keren bgt sumpa

    10d

      0
  • avatar
    EN CHo Ng

    hi thank u

    16d

      0
  • avatar
    NgegameAlfat

    ini saya yang mau bicara ya tolong cerita ini sangat menyentuh hati dan prasaan hampir sama seperti yang kisah ku

    22/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes