logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

6. Ancaman Suryo

6. Ancaman Suryo
"Nad, lepaskan semua dendammu. Kamu tak bisa melawannya. Biar Allah yang membalasnya nanti." Bik Marni menasehatiku. Aku tahu ia khawatir aku celaka.
"Di mana Allah saat ibuku dibunuh, Bik?" tanyaku sangsi.
"Nduk ...." Kulihat Bik Marni menyusut matanya. Ia menangis.
"Jika dendammu akan jadi sebesar ini, itu semua salah bibik. Bibik menyesal, mohon maafkan bibik, Nduk .... Tak seharusnya kamu menyimpan bara dalam hatimu." Bik Marni terus saja tergugu.
Aku diam. Tak menjawab sepatah katapun darinya. Kedatanganku kemari ternyata salah. Bik Marni yang sekarang tak sama dengan Bik Marni lima tahun lalu. Aku ingat betul bagaimana ia semangat sekali jika membahas rencana balas dendam kami. Apa yang membuatnya berubah haluan seperti itu. Bikin pusing saja.
"Nadia kecewa sama Bibik. Bisa-bisanya Bibik menyuruh Nadia merelakan kematian ibu. Bukankah Bibik tahu, bagaimana penderitaan Nadia selepas ibu meninggal?"
Bik Marni hanya diam. Matanya nanar menatapku. Mungkin tak ada dalam pikirannya aku akan membentaknya sedemikian rupa. Ya, aku adalah gadis penurut yang sangat menyayanginya seperti ibuku sendiri. Aku selalu menuruti kata-katanya. Namun, aku kecewa atas sikapnya saat ini.
"Bibik hanya tak mau kehilangamu, Nduk," ucapnya lirih sambil menyusut air mata menggunakan selendang yang dipakainya.
Aku menghela napas. Aku tahu Bik Marni sangat menyayangiku seperti anaknya sendiri. Keputusannya tak menikah demi merawatku membuatku merasa spesial dalam hidupnya.
"Nadia janji akan hati-hati, Bik. Tolong Bik Marni jangan menghalangi Nadia." Kugenggam tangannya dan memohon dukungan.
***
Aku kembali ke kontrakan setelah senja menyapa. Upayaku membujuk Bik Marni agar mendukungku tak membuahkan hasil. Bik Marni menuduhku tega meninggalkannya seorang diri.
Aku merebahkan badan, tepat saat ponselku berbunyi.
"Mau apa tua bangka itu," gumamku saat melihat siapa penelpon tengah malam begini.
Kugeser gambar berwarna hijau di layar. Sedetik kemudian terdengar suara orang di seberang sana.
[Sudah tidur, Lastri?]
[Hei, kenapa diam saja. Tidak kangen dengan Mas Suryomu?]
Aku tetap menutup mulut. Membiarkan ponsel menyala dengan mengaktifkan pengeras suara sebelumnya.
[Kenapa menghindar? Sudah dapat uang dari Arfan?]
Ish, apa-apaan orang ini.
[Besok kita ketemu. Saya akan ajak Arfan juga.]
Apa aku tak salah dengar. Lelaki itu ingin mengajakku bertemu dengan mengajak Arfan. Akan ada drama apa lagi.
***
Aku memandang lurus kepada si tua bangka itu. Di sampingnya ada Arfan yang sibuk memainkan ponsel. Sejak kejadian itu, Arfan seperti acuh padaku. Bahkan kami sudah tak mengobrol via ponsel seperti sebelumnya. Ada rasa bersalah saat aku menatap wajahnya. Menyedihkan memang, aku korban namun aku juga yang dipersalahkan.
Saat ini, kami sedang berada di sebuah rumah makan yang cukup ramai di kota ini. Sengaja aku yang menentukan tempat, karena aku tak ingin kejadian kemarin terulang. Setidaknya bila lelaki itu macam-macam, aku aman berada di sini.
"Bicaralah, aku tak banyak waktu." Arfan membuyarkan lamunanku. Ia bahkan tak menatap wajahku saat mengatakannya. Ah, anak itu kenapa ia bisa sedingin itu padaku.
"Ehem, begini, Dek Nadia ...," Mas Suryo memulai pembicaraan. Saat ia mengatakan 'Dek Nadia' dapat kulihat Arfan menoleh pada ayahnya itu. Kemudian ia fokus kembali pada ponselnya.
"Mas ingin meluruskan sesuatu, sengaja Mas mengajak Arfan agar ia tak salah paham," ucap Mas Suryo. Sekali lagi kutangkap senyuman miring di wajah Arfan.
"Waktu kejadian kemarin, kamu yang mengajak Mas bertemu, kan. Mas hanya mengikuti ajakanmu. Awalnya memang kamu yang menggoda mas, beruntung waktu itu mas sadar apa yang terjadi selanjutnya," ucapnya panjang lebar.
Aku terperangah mendengarnya. Apa ini? Kenapa si tua bangka ini mengajukan pembelaan.
"Lihat Arfan. Masalah sudah clear. Wanita ini tak menyanggah sedikitpun. Jangan laporkan kejadian kemarin pada ibumu atau siapapun. Sudah selesai semuanya."
Arfan menoleh pada ayahnya. Ada sorot mata benci yang terpancar dari matanya.
"Tunggu dulu. Duduklah yang tenang, Ayah," ucap Arfan kemudian.
Mas Suryo gelisah. Terlihat sekali dari gerak gerik tubuhnya. Arfan kemudian menatapku. Mata tajamnya seperti mencari kejujuran di kedalaman mataku. Aku menggeleng pelan, samar sekali. Namun, Mas Suryo terus mengintimidasi lewat sorot matanya. Ditatap ayah dan anak dengan pandangan mata yang seperti itu, aku bagaikan pesakitan.
Beruntung ponsel di tasku berbunyi. Ada notifikasi pesan masuk. Membuka tas kemudian melihat ada pesan apa. Ya, setidaknya ini bisa membantuku untuk berpikir sejenak.
[Kalau ingin selamat. Tutup mulutmu. Apa kau ingin menyusul ibumu?]
Aku menutup mulut dengan kedua tangan demi membaca pesan itu. Ya, pesan dari Mas Suryo. Ia mengancamku.
Bersambung

Comentário do Livro (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes