logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

5. Menemui Bik Marni

5. Bik Marni
Panggilan telepon dari Mas Suryo aku abaikan. Aku tidak mau gegabah dengan menemuinya kembali. Harus ada perencanaan matang untuk menemui lelaki sepertinya.
Aku sadar, mulai saat ini akan ada bahaya yang mengintai. Hidup yang semula tenang, sekarang tidak lagi. Seperti malam ini.
Entah kenapa malam ini terasa begitu mencekam. Hatiku gelisah.
Andai sebelumnya aku bisa lebih perhitungan.
***
Setelah semalaman aku tak bisa terpejam. Pagi ini aku putuskan untuk menemui seseorang yang begitu berarti untuk hidupku. Bik Marni.
Tempat tinggal Bik Marni sekitar satu jam perjalanan dari kontrakan. Di sepanjang jalan di dalam angkutan umum, tak henti-hentinya orang memperhatikan diriku. Wajah lebam, bibir pecah. Ah, entah apa yang mereka pikirkan. Iba mungkin, melihatku seperti korban KDRT. Atau pelakor yang ketahjan istri sah, hahaha.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, sesekali berhenti untuk menunggu penumpang. Perjalanan ke kediaman Bik Marni seperti membawaku pada ingatan masa kecil.
Tiap mengingatnya aku merasa sakit. Luka masa kecil sepertinya memang belum sembuh betul. Bahkan mungkin semakin menganga ketika bertemu langsung dengan Mas Suryo. Tua bangka pembunuh ibuku.
"Depan kiri, Bang!" teriakku pada sopir.
"Yoo," jawabnya.
Aku turun dan memberikan selembar uang sepuluh ribuan pada sopir.
"Makasih, Bang," ucapku.
"Yoo, Neng. Sama-sama," jawab sopir sambil berlalu seraya membunyikan klakson.
Rumah Bik Marni masuk ke dalam gang sempit yang hanya bisa dilewati motor. Sebuah permukiman yang padat penduduk. Padahal dahulu begitu turun dari angkutan umum rumah Bik Marni bisa langsung terlihat dari jalan. Sekarang, tanah-tanah kosong di depan sudah dibangun rumah dan kos-kosan. Entah milik siapa tanah tersebut.
Aku berdiri di depan gerbang sebuah rumah dengan gaya yang khas. Pekarangan yang luas di depannya, dengan bunga warna-warni menyambutku. Membuka pagar yang tidak dikunci kemudian berjalan masuk. Seperti kebiasaanku dahulu ketika aku pulang sekolah. Betapa aku sangat rindu rumah ini.
Aku langsung berjalan memutar ke halaman belakang. Karena aku tahu sang empunya pasti ada di sana.
"Ya, gerakan selanjutnya!" Terdengar teriakan khas yang aku rindukan. Suara Bin Marni ketika mengajar menari.
Di pendopo dapat kulihat anak-anak perempuan usia remaja mengikuti instruksinya. Aku duduk di salah satu sisinya, Bik Marni belum menyadari kehadiranku. Ia selalu serius jika sedang begini, seperti biasanya.
"Ya, lagi!" Bik Marni memberi aba-aba sambil berjalan memutari satu persatu anak membenarkan gerakannya. Sampai ketika ia melihatku, mata tuanya memicing. Sejurus kemudian ia terkejut menutup mulutnya yang menganga.
"Ya, ampun. Nadia!" Ia berteriak dengan keras sehingga membuat anak-anak yang sedang belajar menari terkejut mendengarnya. Aku hanya tertawa melihatnya.
"Anak-anak ulang gerakan tadi, ya. Ibu ada tamu dahulu. Siska, tolong kamu awasi mereka." Terdengar Bik Marni memberi perintah pada murid dan asistennya. Kemudian ia menghampiriku.
"Lha, bocah gembung. Ke sini gak ngasih kabar. Bibik, kan bisa masakin empal kesukaanmu," cecarnya.
"Bibik sehat?" tanyaku sambil menyalaminya.
"Aku sengaja mau kasih kejutan untuk Bibik, hehehe," ucapku lagi.
"Tunggu ... wajahmu kenapa toh, Nduk?" tanyanya sambil memperhatikan wajahku yang lebam. Mata tuanya ternyata masih awas. Padahal sudah aku samarkan dengan menggunakan make-up.
Aku menghela napas. Kuceritakan kejadian kemarin. Bik Marni tentu sangat terkejut. Dapat kulihat ia sangat khawatir. Berulang kali ia memegangi dadanya dan menghela napas. Namun, belum kuberitahu bahwa foto ibu hilang diambil tua bangka itu.
"Nduk, Nadia. Apa kamu masih dendam padanya?" tanya Bik Marni. Mendengarnya tentu saja aku heran. Bukankah ia yang dulu selalu menyemangatiku untuk membalas kematian ibu.
"Tentu saja, Bik. Bukankah Bibik juga begitu? Bibik sangat marah dan ingin menghabisinya. Kita tinggal selangkah, Bik. Bik Marni mau, kan menolongku?"
"Bukan Bibik tak mau menolongmu. Tapi, Bibik takut. Lelaki itu bukan orang sembarangan. Kamu tahu sendiri ketika berhadapan dengannya kemarin. Ia sangat licik, tak akan mudah mengelabuinya," kelas Bik Marni. Wajah tuanya seakan lelah dengan rencana balas dendam ini.
"Kalau Bibik tak mau. Biar aku jalan sendiri saja."
"Nadia ... sudah, Nduk. Ikhlaskan ibumu. Saatnya dirimu menata hidup baru. Buang semua dendammu, Nduk," ucap Bik Marni.
Ia memberikan nasihat panjang padaku. Aneh, bukan. Sepanjang hidupku bersamanya ia yang telah mengobarkan api di dalam dadaku. Ia yang telah memberitahu bagaimana dan siapa yang membunuh ibu. Kenapa sekarang jadi berubah haluan begini, saat langkah yang harus diambil tinggal sejengkal.
"Jangan salah paham. Bibik cuma tak ingin kamu dalam bahaya. Beruntung ia belum tahu bahwa kamu anaknya Lestari. Bibik takut ia akan nekat jika lelaki itu mengetahui kamu adalah anaknya," jelas Bik Marni. Ia seakan bisa membaca pikiranku tentangnya.
Aku tersenyum sinis. Lalu pemilik wajah keriput namun masih terlihat cantik itu.
"Tapi, Bik. Sepertinya kita sudah terlambat untuk diam saja. Mau tak mau aku harus berurusan dengannya. Ia sudah tahu bahwa aku anaknya Lestari," ucapku lirih. Namun, aku yakin Bik Marni dapat mendengar kata-kata yang aku ucapkan.
Terlihat raut wajahnya menjadi tegang. Manik matanya bergerak-gerak seperti sedang memikirkan cara. Aku tahu ia gelisah dan khawatir.
"Bagaimana bisa?" tanyanya terkejut.
"Ia menemukan foto ibu kemarin di dalam tasku," jawabku.
Bik Marni sangat terkejut. Tangannya bergetar mencoba menutup mulutnya yang menganga karena terkejut.
"Kamu harus pergi, Nduk. Dirimu dalam bahaya. Oh tidak! Aku harus bagaimana? Ya Tuhan, Nadia. Kenapa kamu seceroboh itu," cecarnya.
"Nadia, kamu sudah anggap Bibik anak sendiri. Bibik mohon, jangan libatkan kamu dalam bahaya. Bibik tak mau jika kamu harus bernasib seperti ibumu. Bibik mohon, Nak. Pergilah selamatkan dirimu," ucap Bik Marni. Dapat kulihat bulir matanya berjatuhan. Ia sangat khawatir padaku.
Apakah lelaki itu memang seberbahaya itu. Melihat Bik Marni seperti itu, aku menjadi ikut gelisah. Aku bimbang bagaimana harus mengambil keputusan.
Bersambung

Comentário do Livro (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes