logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

4. Harta yang Hilang

4. Harta yang Hilang
Sekujur tubuh terasa nyeri ketika aku terbangun. Mencoba mengedarkan pandangan dengan mengingat-ingat kejadian yang telah menimpaku. Namun, di mana ini? Langit-langit putih, kasur putih, dan infusan. Apakah aku di rumah sakit?
"Hei, sudah bangun?" Suara yang kukenal menyapaku. Ia berada di sisi tempat aku berbaring.
"Tidur saja, gak apa-apa," cegahnya saat aku mencoba duduk.
"Ini di mana, Fan?" tanyaku pada lelaki itu.
"Semalem kamu pingsan. Aku bawa ke rumah sakit."
Aku mengangguk tanda paham. Tiba-tiba saja aku ingat kejadian semalam.
"Hmmm, Fan ... boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku.
Kulihat wajahnya tersenyum lalu mengangguk. Namun, aku tahu diwajahnya tergambar rasa letih. Lingkar matanya berwarna kehitaman. Aku yakin semalaman ia tak tidur.
"Kamu kenal dengan orang yang bersamaku semalam?" tanyaku.
Dapat kulihat rona mukanya berubah. Wajah itu mengeras seperti menahan amarah. Namun, sedetik kemudian ia berhasil menguasai diri.
"Sebelum aku jawab, boleh aku bertanya padamu?" tanyanya.
Aku mengangguk, gugup. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ada rasa sesal juga membahasnya bersama Arfan. Bangkai yang kututupi perlahan akan terkuak.
"Apa yang kamu lakukan di hotel semalam?" Arfan bertanya dengan wajah datar. Kentara sekali ia sedang berusaha menahan gejolak di dadanya.
Sudah kuduga. Pasti pertanyaan itu. Sengaja aku diam. Aku bingung harus menjawab bagaimana.
"Apakah karena uang, Nad?" Arfan mendesakku.
Ah, uang. Bisa dijadikan alasan. Pertanyaan Arfan justru memberiku ide. Aku mengangguk sambil menunduk tak berani menatap wajahnya.
"Kenapa tak bilang padaku? Aku bisa bantu kamu."
"Aku gak mau ngerepotin kamu, Fan. Ada masanya aku harus berdiri di kakiku sendiri," ucapku lirih.
"Tapi gak harus gini caranya," protesnya.
"Bagaimana lagi? Penghasilan dari menari tak seberapa. Akupun ingin kuliah sepertimu."
"Aku bisa membantu," ucap Arfan.
"Kamu gak akan ngerti, Fan. Kamu gak pernah hidup susah sepertiku."
"Maka dari itu, aku akan bantu kamu," ucapnya lagi.
"Bagaimana? Kamu sendiri belum berpenghasilan. Biaya kuliahmu pun dari orang tua. Lagaknya mau bantu aku." Aku tersenyum mengejek saat mengatakannya.
Arfan mengusap wajahnya. Ada perasaan bersalah ketika mengatakannya. Maaf, Fan ... terpaksa aku harus berbohong.
"Sekarang giliranku. Kamu kenal dengan lelaki yang semalam bersamaku?" tanyaku.
Arfan memandangku. Tatapan matanya yang tak bisa kuartikan.
"Dia ... ayahku," ucap Arfan lirih. Badannya layu, terlihat sekali ia tak bergairah. Aku kasihan padanya.
"Maafkan aku, Fan. Aku tak bermaksud_."
"Sudah, justru aku merasa beruntung malam itu datang menyelamatkanmu. Dengan begitu aku jadi tahu kelakuan bejat ayah di belakang ibuku," ucap Arfan. Dapat kulihat sorot kemarahan di matanya.
"Bagaimana, hmm ... maksudku apa ayahmu baik-baik saja sekarang?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut Arfan salah paham.
"Yah, begitulah. Dengan kuasa dan uang yang dia miliki. Seluruh orang dapat dibungkam," kata Arfan sambil menghela napas.
Ada rasa sesal tentang kejadian semalam. Aku salah perhitungan, sehingga menempatkan ku dalam bahaya.
"Kamu gak nanya aku?" tanya Arfan tiba-tiba membuyarkan lamunan.
"Eh ... iya apa kamu terluka? Apa semalam Mas Suryo memukulmu?" tanyaku gugup.
"Mas Suryo?" tanya Arfan sambil tersenyum miring.
"Fan ...." Aku tak enak hati ketika melihat raut wajahnya. Seperti ada cemburu di matanya.
Arfan terdiam. Aku serba salah ingin melanjutkan percakapan.
Tok ... Tok ... Tok ....
Aku bersyukur ketika ada orang masuk ke kamar ini. Seorang suster dan seorang petugas rumah sakit membawa baki berisi makanan.
"Bagaimana keadaannya, Mbak Nadia?" tanya suster itu ramah.
"Sudah baikan, Sus." Aku menjawab sambil tersenyum.
"Ini obatnya, nanti diminum setelah makan, ya. Setelah visit dokter dan tidak ada keluhan sepertinya Mbak Nadia sudah boleh pulang," kata suster menjelaskan.
Sekeluarnya suster dan petugas itu dari kamarku, aku mencoba untuk makan. Namun, tanganku masih terasa nyeri.
"Biar aku suapi," kata Arfan.
Aku mengangguk tak berani memandangnya. Ia menyuapiku dalam diam. Ia begitu telaten sampai gak terasa makanan di baki sudah habis. Setelahnya ia membantuku untuk meminum obat.
***
Dokter menyatakan bahwa aku sudah boleh pulang. Arfan membantuku untuk berjalan. Karena, pergelangan kaki masih terasa sakit. Ini pasti karena tali yang mengikat ku semalam begitu kuat.
"Ini tasmu. Semalam berserakan di kamar hotel." Arfan memberikan tas kecil yang kupakai semalam.
"Terima kasih," ucapku tulus.
Arfan diam. Aku merasa bersalah melihatnya begitu.
"Maafkan aku, Fan."
"Sudah jangan dipikirkan. Yang terpenting sekarang sembuhkan kakimu agar bisa cepat menari lagi."
***
Aku sampai di kontrakan. Beberapa penghuni kontrakan memandang ke arahku dan Arfan. Beberapa bertanya. Namun, kemudian mereka masuk ke dalam kamarnya masing-masing.
Sepeninggal Arfan. Aku banyak merenung. Langkah apa yang akan kuambil selanjutnya.
Aku mengambil tas yang berada gak jauh dariku. Semuanya lengkap. Dompet, ponsel, tak ada yang hilang.
Aku meraih dompet. Ingin melihat foto orang yang kucintai. Namun, saat aku membukanya, foto itu sudah tak ada di sana.
Mendadak hatiku menjadi was-was. Siapa yang mengambil foto ibuku? Ah, kenapa aku ceroboh sekali. Bagaimana jika itu adalah Mas Suryo?
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku melihat siapa yang memanggil. Nama itu .... Dengan gemetar aku memencet tombol hijau. Terdengar suara lelaki di seberang sana.
[Kita bertemu lagi, tenang aku gak akan melukaimu, Lastri. Hahahahaha]
Mas Suryo. Ia menyebut nama ibuku. Apakah ia yang mengambil foto ibuku?
Aku sadar, mulai saat ini aku berada dalam bahaya. Apa yang harus kulakukan?

Comentário do Livro (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes