logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

2. Rencana Dijalankan

2. Rencana Dijalankan
Aku terdiam, bingung antara mengiyakan atau menolak. Namun, bukankah ini kesempatan yang selalu aku tunggu. Kesempatan untuk membalaskan dendam kematian ibuku.
"Mau, ya?" desaknya. Aku mengangguk mengiyakan. Mas Suryo tersenyum, puas sekali.
"Baiklah, nanti malam biar sopirku yang jemput. Gadis secantik kamu bahaya kalau jalan sendiri, hehehehe," ucapnya sambil menjawil daguku.
Kami melanjutkan makan siang yang tiba-tiba saja terasa hambar di lidahku. Otak ini berputar-putar menyusun strategi untuk malam nanti. Malam ini, aku harus berhasil. Kalau tidak, kapan lagi ada kesempatan seperti ini.
***
Merebahkan diri di kasur kontrakan menyusun rencana untuk nanti malam. Memandang langit-langit kamar yang tak besar ini.
"Huft ... hahh." Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ingatanku melayang pada kejadian sepuluh tahun silam.
Malam itu, ibu terlihat sangat cantik. Gerakannya luwes membawakan tari topeng kelana khas Cirebon. Kostum berwarna merah dengan celana tiga perempat, ditambah hiasan di kepala.
Gerakan demi gerakan ibu bawakan dengan sangat gagah, sesuai dengan karakter dalam tari topeng tersebut.
Tiba saat ibu memakai topeng. Ia menunduk mengambil topeng yang dibalut dengan kain. Topeng yang kutahu tidak menggunakan tali untuk memasangnya itu kemudian menempel sempurna di wajah ibu.
Gerakan demi gerakan ibu lanjutkan mengikuti alunan musik. Gemuruh penonton bertepuk tangan menyaksikan penampilan ibuku. Aku bangga sekali menjadi anaknya. Walaupun, ibu selalu mewanti-wanti agar aku tidak memberitahu siapapun bahwa aku anaknya.
"Agar ibu bisa terus menari, Sayang," jawabnya saat kutanya alasannya menyembunyikan ku.
Tapi itu tak masalah, ibu selalu mengajakku setiap pentas. Ibu selalu mengenalkan aku sebagai anak dari saudaranya yang ingin belajar menari.
Pertunjukan yang semula berlangsung meriah itu, tiba-tiba saja menjadi mencekam. Ibu mendadak jatuh ketika menari. Ia dinyatakan meninggal saat itu juga.
***
Aku memejamkan mata membiarkan bulir bening lolos jatuh ke pipi. Selalu sakit ketika mengingatnya. Sebuah tragedi yang tak pernah aku bayangkan.
"Ibu ... huhuhu." Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku, tergugu sendiri di dalam kamar. Tanpa sadar aku tertidur dan saat aku bangun kamarku gelap gulita. Sempat terkejut. Namun, aku berhasil menguasai diri. Hari telah gelap, saat kulihat jam diponsel telah menunjukkan pukul 20.00.
"Oh tidak! Aku harus bergegas." Aku berbicara sendiri mengingat janji dengan Mas Suryo jam 21.00 nanti.
Setengah jam kemudian, aku selesai bersiap. Saat itu juga sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan kontrakan. Tak lama kemudian ponselku berdering. Kusentuh tombol berwarna hijau untuk menjawabnya.
"Oke, Mas. Aku ke luar sekarang, ya." Mematikan sambungan kemudian melangkah ke luar dengan anggun. Suasana di kontrakan sangat sepi, penghuni kontrakan ini cenderung acuh dengan yang terjadi di sekitarnya. Aku bersyukur untuk hal itu, karena tak akan ada yang ingin tahu dengan kehidupan pribadiku.
Saat sampai di depan mobil, seorang pria yang kutaksir berumur empat puluhan ke luar dari mobil. Berlari mengitari mobil dan membukakan pintu belakang untukku.
Di dalam sana , sudah menunggu Mas Suryo. Ia tersenyum lebar ambil melambaikan tangan saat melihatku.
"Hahaha, cantik sekali," ujarnya menyambutku.
"Terima kasih, Mas. Kamu terlalu memuji," ucapku sambil tersenyum.
Selanjutnya kami terlibat obrolan ringan. Seperti siang tadi, ia banyak menggobal. Tangannya sejak tadi menggenggam tanganku. Terkadang jarinya dengan nakal mencolek daguku.
Hhh ... kalau saja bukan karena ingin membalaskan dendam. Aku tidak akan mau melakukan ini.
Mobil terus melaju, sudah sekitar lima belas menit kami berada di dalam mobil. Dari arah yang ditempuh, aku menerka-nerka ke mana mobil ini akan membawa kami.
"Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku.
"Tenang saja, kita bakal asik-asik semalaman, hahahaha." Ia tertawa dengan keras setelah menjawab pertanyaanku. Entah apa yang dibayangkan lelaki tua itu.
Mataku terbelalak ketika mobil berbelok masuk ke halaman sebuah hotel. Aku tahu tempat ini, sebuah hotel mewah yang berada di pinggiran kota tempatku tinggal.
Hotel yang berada di kaki bukit itu, menyajikan pemandangan yang sangat indah. Kerlap kerlip lampu di bawah sana bagai bintang yang bertaburan di atas langit. Malam yang sangat indah. Namun sayang, malam indah ini akan menjadi malam tragis bagi lelaki itu.
***
Kami sudah di kamar. Jengah rasanya pundak ini selalu didekap sejak tiba di hotel ini. Sejak tadi, ingin sekali aku mendorongnya hingga terjatuh. Aku harus sabar, kalau tidak gagal semua rencanaku.
"Sayang ...," ucapnya sambil mengusap rambutku yang terurai.
"Iya, Mas. Mau minum? Aku buatkan teh, ya." Aku berdiri kemudian bergegas membuatkan teh. Tak lupa memasukkan obat tidur ke dalam tehnya.
"Wah, sepertinya enak, tuh." Tiba-tiba saja, ia sudah di belakang memeluk pinggangku dari belakang.
Aku terkejut dan refleks tanganku menyembunyikan bungkus obat tidur di dalam bra. Lalu berbalik menghadapnya.
"Apa, tuh?" tanyanya sambil melongok ke belakangku. Tangannya tak lepas menggerayangi tubuhku. Sebisa mungkin aku harus mengalihkan perhatiannya.
Ah, syukurlah bungkus obat tadi tadi sudah aku sembunyikan. Aku ambil cangkir yang ada di belakangku. Kemudian mengangkatnya perlahan.
Ia melepaskan pelukannya, kemudian menerima cangkir berisi teh panas itu.
"Diminum dulu, Mas. Aku mau ke kamar mandi dulu," ucapku sambil bergeser menjauhinya dengan perlahan setelah cangkir ia terima.
"Hhmm ... oke. Jangan lama, ya." Ia mengambil teh buatanku sambil mengedipkan mata. Dapat aku lihat ia membawa cangkir teh ke arah tempat tidur, kemudian duduk di sana sambil meminumnya.
'Yes. Teh sudah diminum.' Aku berteriak dalam hati menyoraki keberhasilan yang sedikit lagi aku raih.
Aku masuk ke toilet dan membuang bungkus obat tidur ke dalam kloset. Kunyalakan kran air sambil bersenandung pelan.
Sengaja aku berlama-lama di dalam toilet sambil menunggu obat tidur itu berkerja. Berharap, saat aku ke luar nanti si tua bangka itu sudah tertidur pulas.
Lima belas menit aku di dalam sini. Saatnya aku ke luar dan memastikan ia sudah tertidur. Aku pastikan ia akan tertidur pulas jika meneguk semua isinya.
Aku membuka handel pintu kemudian berjalan perlahan mendekati ranjang.
Yes! Aku berhasil. Ia sudah tertidur. Tapi, pemandangan apa ini. Ia sudah melucuti pakaiannya, hanya tersisa celana dalam saja yang belum di lepas. Jijik sekali melihatnya begitu.
Kutepis perasaan jijik. Aku harus bergegas. Kusambar tas yang berada di meja. Mengeluarkan tali tambang yang telah kusiapkan.
Dengan tali tambang di tangan. Aku mendekat ke arah lelaki buncit yang sedang tertidur pulas itu. Pertama-tama kuraih tangannya. Aku akan mengikat tangan ini terlebih dahulu.
"Heh! Kamu mau apa, Cantik!" Hardiknya mengagetkanku. Sejurus kemudian tanganku dipelintir ke belakang. Ia tersenyum menyeringai.

Comentário do Livro (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes