logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Mencari Pembunuh Ibu

Mencari Pembunuh Ibu

E Rinrien


1. Menjerat Tua Bangka

Mencari Pembunuh Ibu
1. Menjerat Tua Bangka
Malam itu suasana panggung sangat meriah. Aku yang menjadi pusat utama pementasan ini, mampu menghipnotis semua orang dengan tarianku.
Mataku melirik seseorang yang duduk di bangku paling depan. Sengaja aku tampilkan gerakan paling gemulai agar ia terpikat.
Gendang bertalu menghentak, begitu juga liuk tubuhku mengikuti alunan merdu musik pengiring.
Selendang hijau yang aku pakai, kugerakkan selaras dengan ayunan tangan indahku.
Hatiku bersorak ketika melihatnya begitu bernafsu seperti ingin menelanku bulat-bulat. Dari sini terlihat matanya tak lepas menatapku. Aku bahkan tak melihatnya berkedip barang sedetikpun. Sengaja kukedipkan mata pada tua bangka itu untuk menggodanya.
Masih berlenggak-lenggok mengikuti alunan musik pengiring, aku tebarkan semua pesona yang kumiliki. Senang sekali rasanya melakukan ini. Melalui tarian jaipong ini, aku berusaha menarik si tua bangka itu luluh pada pesonaku.
Aku selesai menari, membungkukkan badan dan tak lupa tersenyum padanya yang duduk di jajaran tamu VVIP. Suryo Wiratama seorang pejabat di kota ini yang kali ini jadi targetku.
***
Di ruang ganti para penari aku menatap kaca rias. Ini adalah ritualku setelah pentas. Mengambil kapas kemudian menuangkan pembersih wajah di atasnya. Aku mulai mengusap lembut wajah cantik milikku. Wajah yang sangat mirip dengan almarhum ibu.
Aku sedang membersihkan make up ketika seorang pria tegap berbaju batik menghampiri. Dari perawakannya ia sepertinya sering berlatih bela diri. Wajahnya tampan ditumbuhi bulu halus di bagian dagu. Namun, bukan ia targetku.
"Bapak minta nomer ponsel," bisiknya sambil membungkuk.
Aku tersenyum, kemudian menuliskan angka-angka di secarik kertas. Tak lupa memberikan cap bibir di atasnya.
Selepas pria itu pergi aku melanjutkan ritual membersihkan wajah. Segar sekali rasanya wajah ini setelah make up tebal tadi terangkat sempurna.
Tiba-tiba saja, ponselku berbunyi. Sebuah nomor baru dengan pesan yang membuatku tersenyum. Sambil melangkah ke luar gedung ini, segera kubalas pesan yang membuatku tak sabar menunggu esok hari itu.
Sampai di tempat parkir. Sebuah motor dengan seorang pemuda di atasnya tengah tersenyum melambai padaku. Aku mendekatinya. Ia Arfan kekasihku. Arfan adalah kakak kelasku semasa SMA. Sudah dua tahun kami menjalin hubungan, dari yang tadinya teman dekat kini menjadi kekasih.
"Hai, sudah lama?" sapa ku padanya.
"Enggak, kok. Aku baru sampai," katanya sambil tersenyum.
Aku naik ke motornya, sepanjang jalan ia bercerita tentang kuliahnya. Mulai dosen killer sampai bimbingan skripsi yang bikin pusing. Kadang aku iri, akupun ingin kuliah sepertinya. Namun, aku cukup tahu diri. Maka dari itu, setelah lulus SMA aku putuskan untuk bekerja sebagai penari. Selain itu, masih ada yang harus aku selesaikan.
"Nad, hei. Tumben pendiem?" tanyanya tiba-tiba mengagetkanku.
Aku yang tertangkap sedang melamun menjadi salah tingkah. Gugup menjawab pertanyaannya aku hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Sudah sampai. Apa mau seputar lagi? Masih betah kayaknya duduk di motorku." Ia tersenyum menggoda karena aku tak juga turun dari motornya.
Aku menepuk dahi mendengarnya.
"Kurang Aqu*, Fan, jadi gak fokus, hehehe," jawabku asal sambil melompat turun dari motor besarnya.
"Makasih, ya," ucapku tulus.
"Oke, nice dream, ya," ucap Arfan kemudian melaju dengan motornya.
Kami memang jarang menghabiskan waktu bersama. Selain Arfan yang sibuk dengan kuliahnya, aku pun sibuk menerima job menari di beberapa tempat. Terkadang, ketika sampai di kontrakan badan terasa sangat pegal. Namun, mulai besok job ku bertambah satu lagi. Ah, si tua bangka itu. Tak sabar ingin bertemu dengannya esok hari.
***
Aku terbangun saat alarm berbunyi. Sudah pukul enam. Matahari bahkan sudah bersinar memasuki celah jendela kamar. Seperti mengetuk mata agar diri ini cepat sadar dari mimpi.
Membersihkan diri kemudian sarapan dan berdandan. Sholat? Sudah lama aku meninggalkannya. Semenjak almarhumah ibu meninggal secara mendadak aku marah pada Tuhan karena tega mengambil nyawa ibu saat umurku masih sangat kecil. Terlebih lagi, sehari-hari aku sibukkan menari melenggak-lenggokan tubuh.
Aku melirik jam di ponsel. Sudah pukul sebelas, satu jam sebelum waktu pertemuan. Tepat pukul dua belas nanti, aku akan bertemu dengannya. Sudah lama aku berusaha mendekati orang penting di kota ini. Kesempatan ini tak akan kusiakan begitu saja.
Menatap cermin sekali lagi, memastikan aku tampil paripurna hari ini. Puas sekali melihat tampilan diriku di cermin. Rambut hitam lurus sepinggang, kulit kuning langsat, mata yang berbinar indah, dan bibir yang menggoda. Dengan make up tipis dan dress pink tanpa lengan membuatku semakin sempurna. Siapa yang bisa menolak pesonaku ini.
***
Taksi online yang aku naiki sampai di sebuah restoran seafood terkenal di kota yang terletak di tepi laut ini. Aku melangkah masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan. Tak lama kemudian seorang pramusaji mendekatiku. Wanita dengan seragam nuansa merah hitam itu mempersilakan aku mengikutinya dengan gaya yang ramah. Kami menaiki sebuah tangga yang mengarah ke lantai dua.
Sampai di atas, ia menunjukkan sebuah tempat di tepi jendela. Sebuah meja dan dua buah kursi sudah ditata sangat cantik. Aku melangkah ke arah meja dan kursi yang masih kosong itu. Duduk di salah satu kursinya sambil memandang ke arah luar jendela.
"Sudah lama?" Sebuah suara berat khas pria berumur menyadarkanku dari lamunan.
Aku menoleh dan tersenyum kemudian menggeleng pelan. Ia tersenyum seraya menjulurkan tangannya. Tentu aku sambut.
"Dek, Nadia mau makan apa?" tanyanya. Apa? Dek? Apa aku salah dengar. Harusnya dia panggil aku nak.
"Emm ... terserah Bapak saja," ucapku.
"Lho kok bapak? Panggil mas sajalah biar enak didengar," protesnya tak terima aku panggil bapak. Padahal menurutku usianya lebih pantas jika dipanggil bapak daripada mas. Tapi ... ah biar sajalah.
"Ohh ... iya, Mas," ucapku kemudian.
"Nah, begitu lebih enak didengarnya. Hahahaha." Ia tertawa sangat keras perut buncitnya beguncang-guncang.
Kami makan sambil mengobrol. Lebih tepatnya aku lebih banyak tersenyum menanggapi gombalannya. Katanya aku cantik sekali saat menari, terlebih sekarang saat bertemu langsung.
Tak lama ia menganggukkan sebuah kotak kecil beludru berwarna merah. Aku pura-pura menolaknya, walaupun sangat penasaran isinya apa.
Ia membukanya dan terpampang sebuah cincin berlian yang sangat indah. Untuk sesaat aku terpukau.
"Ayo, Dek mana jarimu, Mas pakaikan." Ia mencoba meraih tanganku.
"Tapi, Mas. Aku tak enak. Ini pasti sangat mahal," ucapku berusaha menolak.
"Ahh, tidak apa-apa. Hitung-hitung hadiah dariku," katanya membujukku.
Aku tak mengiyakan dan juga tak menolak. Tanpa kuduga ia menarik tangan kiriku dan memakaikan cincin itu di jari manis.
Aku tercengang dengan aksi nekatnya itu. Tak berapa lama, ia berani mengunci tanganku. Mas Suryo memajukan tubuhnya dan berbisik padaku. "Nanti malam kita ketemu lagi, ya?" tanyanya. Namun, seperti sebuah perintah dan permintaan untukku.

Comentário do Livro (45)

  • avatar
    ZenitsuAiman

    mantap

    05/07

      0
  • avatar
    Fahmi Fingerstyle

    garena aku mau dm geratis

    02/07

      0
  • avatar
    Zeti Durrotul Yatimah

    laki laki tua itu sangat kejam

    08/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes