logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

7. Dia Terlihat Galau

Titan View:
Hari ini pelajaran kesenian. Aku sangat menyukainya walau tidak pernah sekali pun tampil di depan kelas. Aku begitu grogi jika berpuluh-puluh mata terus mempelototiku. Makanya, nilai kesenianku selalu tidak lebih dari enam. Hanya ujian teori yang selalu membantuku. Mendengar teman-teman maju ke depan sambil menyanyikan lagu kesukaan mereka, atau memainkan alat musik yang jadi keahlian mereka kadang membuatku iri. Kenapa aku tidak punya keberanian sebesar mereka? Dan yang paling ditunggu-tunggu itu, aksinya Robin. Anak itu benar-benar membuatku kagum, walau kadang ada juga rasa benci kepadanya.
Namun lebih banyak membuatku salut akan potensi yang ada padanya. Aku tidak tahu di mana dia belajar memainkan gitar​ dan biola. Ketika dia menggesek biolanya, bulu kudukku berdiri. Akh, terlalu berlebihan kata-kataku tapi setiap kali dia memainkan biola itu, seisi kelas seolah terhipnotis. Walau lagu yang dimainkannya kebanyakan lagu-lagu pahlawan. Seperti Gugur Bunga, Ibu Pertiwi atau Indonesia Pusaka. Uhhh, jadi iri sama dia.
"Anak-anak, kali ini kita akan belajar di luar. Masing-masing kalian sudah ada recorder* kan?" Ibu Fitri, guru kesenian kami melemparkan pertanyaan kepada seisi kelas yang terlihat tidak semangat. Suasana hari ini memang beda. Hambar.
"Bawa, Buk!" jawab beberapa suara yang tidak ingin melihat bu Fitri hanya melongo memandang kami.
"Baiklah, siapkan diri kalian. Langsung menuju taman belakang sekolah, ya?" Tanpa mendengar jawaban kami, Ibu Fitri segera melangkah menuju pintu. Aku menunggu semuanya keluar, baru menyusul. Tapi kulihat Robin tidak ikut berdiri. Dia terpekur di mejanya. Sepertinya dia benar-benar sakit. Wajahnya tambah pucat. Kulihat dia menghela napas panjang. Kemudian perlahan-lahan berdiri. Namun dia sempoyongan. Aku sontak berdiri, namun dia menatap tajam ke arahku ketika aku hendak bergerak membantunya.
Dia berdiri dengan perlahan. Wajahnya terlihat meringis seperti menahan sakit. Lalu tanpa mempedulikanku lagi dia berjalan keluar dengan pelan sambil membawa biolanya. Aku pun mengambil bansi* (sejenis alat tiup khas Minangkabau seperti Seruling). Aku ga' sanggup beli peralatan musik seperti anak-anak lainnya.
Aku lihat sebagian anak sudah mengambil posisi di taman sekolah. Taman itu memiliki batu-batu indah dan nyaman untuk diduduki. Hangatnya mentari pagi terasa hangat di jiwaku.
Semua batu sudah terduduki. Seperti biasa, tidak ada seorang pun yang mau berbagi denganku. Jadilah aku berdiri seperti patung menyaksikan mereka asyik memainkan alat musiknya.
"Anak-anak, kali ini kita akan memainkan lagu Minang Kabau," ujar Ibu Fitri sambil menyerahkan ke kami selembar kertas.
"Titan, itu batu yang diduduki Robin masih muat!" kata Ibu Fitri sambil menatap wajahku. Aku gemetar.
"Engg ... Ga' usah, Bu. Titan di sini saja," jawabku mulai gugup. Aku gak berani memandang Robin.
"Ayo cepat gabung sana! Jangan membantah!" Ibu Fitri mendelikkan bola matanya. Aku jadi takut, lalu dengan perlahan-lahan aku duduk di samping Robin.
"Maaf," bisikku lirih. Entah kenapa aku harus meminta maaf. Yang jelas, perasaanku diliputi rasa khawatir yang teramat sangat. Robin tidak menanggapi kata-kataku. Sepertinya pikirannya sedang tidak di badan.
"Baiklah anak-anak, untuk intro-nya, Titan akan memainkan bansi. Titan, kamu sudah hafalkan not-not-nya?" Aku yang sedang melamun tergagap dengan pertanyaannya.
"I ... iya, Buk!" jawabku gugup.
"Ya udah, silahkan kamu mulai!"
Semua mata sekarang tertuju kepadaku. Peluhku sudah bercucuran. Kulihat Ibu Fitri mulai mengambil ancang-ancang untuk memimpin. Aku mendekatkan Bansi tersebut ke bibirku. Kupejamkan mata, meresapi alunan semilir angin yang perlahan-lahan menerpa wajahku. Lagu sendu itu pun mengalun.
"Minang kabau,
Tanah nan den cinto.
Pusako bundo, dari dulunyo,
Rumah gadang, nan sambilan ruang,
rangkiang balirik di halamannyo!"
Suara merdu Tiwi mengiringi alunan Bansi pagi itu. Aku mabuk dengan nada-nada yang tercipta dengan perpaduan harmonisasi alat musikku dengan suara emasnya Tiwi. Lalu perlahan-lahan aku dengar gesekan biola. Mendayu-dayu, terasa perih dan pedih ketika reff lagu Minang Kabau dinyanyikan.
"Bilo den kana,
hati den taibo,
tabayang-bayang,
di ruang mato!"
Kulihat Robin memejamkan matanya, sementara biolanya tersandang di bahunya. Aku tidak tahu kesedihan apa yang dirasakannya. Yang jelas aku melihat air mata mengalir deras di pipinya.
Lagu itu diakhiri dengan sentakan biola yang dimainkan Robin. Suasana sesaat senyap. Kami semua terpaku, lalu terdengar tepukan tangan Ibu Fitri dan sorak sorai anak-anak lainnya.
"Bravooo ... good job, Guys!" teriak Bu Fitri. Sambil bertepuk tangan. Aku hanya menundukkan kepalaku. Walau dalam hati aku juga senang melihat ekspresi bahagia orang seperti itu.
"Anak-anak. Minggu depan kita kedatangan tamu penting dari Jakarta. Ibu harap pas performance nanti, ga' kalah bagus seperti latihan tadi!" tutur Ibu Fitri setelah kami kembali ke kelas.
"Khusus buat Robin, penjiwaan kamu bagus banget, Nak. Sampai meneteskan air mata begitu."
Semua mata tertuju ke Robin. Tapi dia hanya menaikkan sedikit ke atas sudut bibirnya. Wajahnya masih pucat. Akhh, ingin aku menyelinap ke dalam hatinya. Ada apakah gerangan? Kenapa dia terlihat begitu risau?
Begitulah, hari berjalan dengan baik. Aku merasakan seperti ada yang hilang kalau Robin mengacuhkanku seperti ini. Tapi aku tipe orang yang ga' suka ikut campur urusan orang. Lagian siapalah aku ini? Jangankan berbicara dan mendekat kepadanya, menyebut namanya saja sudah haram hukumnya bagiku.
@@@
Pak Somad adalah seorang suami yang ditinggal mati istrinya. Tidak beranak, dan usianya sudah empat puluh tahun. Masih terlihat muda, bersih dan bersahaja. Wajahnya sungguh teduh. Dia merupakan salah seorang guru di sekolahku. Rumahnya sekitar satu kilo dari sekolahku.
Aku dan Remon sedang asyik menguras bak mandi di kamar mandinya yang berukuran luas. Sayang sekali Pak Somad belum beristri lagi, padahal rumahnya lumayan besar. Halamannya luas dan asri dengan tumbuhan pepohonan dan bunga-bunga yang menghiasinya.
Sekali seminggu kami bekerja dengan Pak Somad. Untuk menambah uang saku. Bekerja di rumah beliau juga bukan karena disengaja tapi pernah suatu hari ketika Pak Somad sedang sarapan di kantin sekolah dia melihatku yang pucat, jujur, aku kelaparan. Amak dan Ayah sedang tidak punya uang. Ga' ada yang bisa dimakan. Aku sempat limbung ketika berjalan menuju kantin, karena aku berencana mau ngutang sama Tek Mar, pengelola kantin.
Nah, dari situlah, Pak Somad mulai perhatian sama aku. Aku juga sering diajak makan siang ke rumahnya. Dia memang guru yang baik, penyayang dan lembut kepada anak didiknya. Semua siswa siswi menyukainya. Tapi kedekatanku dengan Pak Somad juga tidak terang-terangan. Aku dan Remon bekerja di rumahnya pun tidak ada yang tahu selain beliau sendiri.
"Titan, Remon, dicicipi dulu kuenya, ya?" Teriak Pak Somad ketika melihat kami hampir selesai membersihkan kamar mandi. Aku hanya memakai celana pendek, bertelanjang dada, begitu juga dengan Remon. Pak Somad berdiri di pintu masuk kamar mandi sambil memperhatikan kami.
"Hehe, badan Remon jauh bagus dibanding badan kamu, Tan!" ujarnya sambil nyengir. Aku menunduk malu. Wajahku memerah. Berusaha tersenyum kecut.
"Remon rajin olah raga, ya?" tanya Pak Somad.
"Lumayanlah, Pak!" jawab Remon sambil menggosok lantai kamar mandi dengan gundar besar.
"Kalau Titan?" Matanya menatapku. Aku jengah.
"Hehe! Kurang suka, Pak. Malas!" jawabku singkat. Aduh, ini bapak, ngapain juga banding-bandingin badan orang. Emang sih bentuk tubuh Remon lebih padat dan berisi. Tapi aku juga ga' kurus-kurus amat. Ideal-lah menurutku.
"Oh ya, ini kan udah hampir selesai, ya? Siapa yang bisa bersihin kamar Bapak?" tanyanya.
"Uda Titan aja. Di sini butuh tenaga kuat buat membuang lumutnya," jawab Remon tanpa memandang wajahku.
"Ya udah, kalo gitu, Titan, jangan lupa bersihin kamar Bapak, ya?" ujarnya sambil berlalu dari hadapanku.
"Re, tumben sekarang kita disuruh bersihin kamarnya dia?"
"Yaelah Uda, biasa aja kali tu. Mungkin kotor banget. Namanya juga duda. Ga' ada yang bantu bersihin. Buruan, siapa tahu nanti kita dapat bonus." Remon nyengir sambil menowel hidungku.
"Hehe, ya udah, Uda ke sana dulu, ya? Sekarang sudah setengah empat. Semoga jam setengah lima kita bisa pulang,"  ujarku sambil melap kakiku yang basah dan berlalu dari hadapan Remon.
Janggal, sih, sebenarnya. Dulu Bapak Somad tidak membolehkan kami membersihkan kamarnya. Katanya terlalu privasi. Sekarang dia membolehkan. Mungkin dia sudah begitu percaya sama kami. Aku bergegas menuju kamar yang dimaksud.
Kamarnya tidak begitu luas, juga tidak begitu ramai oleh barang-barang. Terlihat rapi dan sederhana. Cuma kasur dan selimutnya yang masih berantakan. Di dalam kamarnya juga sudah ada kamar mandi. Aku mendengar air kran berbunyi. Pertanda ada orang di dalam. Mungkin Pak Somad sedang mandi. Ketika aku menutup pintu kamar dan berada dalam kamarnya, aku penasaran untuk mengintip ke kamar mandi yang pintunya seperti terbuka sedikit. Ternyata benar, Pak Somad sedang mandi. Telanjang bulat. Dadaku sesak dan berdebar kencang. Aku sungguh menyukai Bapak Somad ini. Wajahnya yang kebapakan, bibirnya yang tipis dan tatapan matanya yang lembut, membuatku selalu nyaman jika bersamanya. Tapi ketika mengintipnya dalam keadaan telanjang bulat begini ada perasaan lain yang tidak ku mengerti. Dia sedang membelakangi pintu kamar mandi sehingga aku bisa dengan jelas melihat bongkahan pantatnya yang terlihat padat. Ingin aku dia berbalik dan memperlihatkan punyanya yang sering menghantui malam-malamku.
"Titan...!" Aku mendengar suaranya memanggilku. Kejutku bukan alang kepalang. Aku segera menjauh dari pintu. Aku takut, aku cemas, apakah dia tahu kalau aku baru saja mengintipnya. Keringat dingin mulai keluar dari jidatku.
"Titan ... kamu udah di dalam?" Terdengar lagi suaranya.
Aku ragu untuk menjawab. Maksud pertanyaannya apa? Mungkinkah dia tadi tidak melihatku?
"Sud ... sudah, Pak. Ini lagi melipat selimut," jawabku terbata-bata. Aku segera mengambil selimut tebal yang berantakan di kasur. Dengan tangan gemetar aku melipat selimut tersebut.
"Ke sini sebentar, Titan!" teriaknya pelan. Aku bingung. Kenapa aku dipanggil ke dalam kamar mandi. Aku cemas, aku takut, tapi aku juga penasaran. Sosok telanjangnya menari-nari di mataku.
"Titan?" Panggilnya lagi.
"Iya Pak ... Titan ke sana!" ujarku sambil melangkah cepat. Di depan pintu, aku sempat ragu. Namun dengan menguatkan hati, aku mendorong pintu tersebut pelan. Dan melangkahkan kakiku pelan ke dalamnya. Ternyata sesampainya aku di dalam, Pak Somad sudah mengalungkan handuk di tubuhnya. Aku sedikit kecewa.
"Ini kamar mandinya, lantainya terasa licin, tolong dibantu dipel, ya?"
Wajahku memerah ketika tiba-tiba tangan Pak Somad menggaruk gundukannya. Dengan cepat aku mengambil gundar dan kain pel yang terletak di sudut kamar mandi.
"Titan!"
"Ya, Pak?"
"Hmmm ... makasih ya?" Pak Somad mengusap kepalaku dan tersenyum. Aku membalas senyumnya sedikit. Lalu melanjutkan membersihkan kamar mandi tersebut. Tidak kurang hampir setengah jam aku membersihkan kamar mandi itu. Aku segera keluar dari kamar mandi setelah kupastikan semuanya bersih dan wangi. Sesampainya di luar mataku sesaat melotot ketika melihat apa yang sedang berlangsung di atas kasur Pak Somad. Dadaku terasa sesak. Aku marah, aku benci dan aku tidak rela!

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    Bin KamaludinKhairunnaim

    kon

    01/03

      0
  • avatar
    Arjuna Anji

    very good

    04/04/2023

      0
  • avatar
    Melsya Tresnane Widodo

    seru ceritanya

    18/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes