logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

2. Dia Bermata Jahat

Aku dan Remon segera menuju dapur. Di atas meja kecil itu, terhidang nasi yang terlihat hangat. Ada beberapa potong daging ayam dan sayur kangkung. Perut kami sangat lapar. Tapi kami anak yang berusaha berbakti. Kami segera mendekati Amak di dalam kamarnya yang diterangi lampu petromak kecil.
Dia terlihat tidur menyamping di atas kasur. Remon memegang lengan Amak dan memijitnya pelan. Sedang aku memegang kakinya.
"Amak, makan dulu yuk?"Ujar Remon pelan.
"Hmmm!" Amak menjawabnya dengan gumaman.
"Amak sakit?"Tanyaku. Aku mengurut kakinya lembut.
"Tidak Nak, Amak sangat lelah sekali dengan sikap ayah kalian. Sudah tiga hari dia tidak memberi uang untuk membeli keperluan sehari-hari! Sementara persediaan kita sudah menipis! Musim kemarau seperti ini tidak ada yang bisa dilakukan. Ayah kalian hanya bisanya bertani, padahal kalau dia punya keahlian lain seperti bertukang mungkin tidak akan sesulit ini mencari uang! Sungguh laki-laki tidak berguna!" Amak sesenggukan menahan tangis. Dia perlahan-lahan bangkit dari tidurnya. Dia meraih tubuh kami ke dalam pelukannya.
"Amak minta maaf tidak bisa beri kalian kebahagiaan lebih. Amak sungguh merasa menjadi seorang ibu yang telah gagal. Amak bangga memiliki anak-anak seperti kalian. Kalianlah semangat hidup Amak. Berjanjilah nak, berjanjilah untuk selalu berusaha keras mewujudkan mimpi-mimpi kalian!"
Kami menangis. Amak selalu mencetupkan api di dalam jiwa kami.
"Jangan pernah malu! Jangan pernah menyerah pada nasib ya Nak! Jangan kalian tiru ayah kalian yang tidak berguna itu!" Amak makin memeluk kami erat.
"Sekarang, makanlah kalian lagi. Amak sudah masak yang enak buat jagoan-jagoan amak!" Amak mencium kening kami. Ketika akan keluar kamar Amak memanggil namaku,
"Titan, nanti sepulang dari surau belikan amak obat ya. Kepala amak sakit sekali! Ini duitnya!" Aku segera melangkah mendekati Amak, dan mengambil uang seribu rupiah tersebut.
"Iya mak!"Jawabku pelan.
Di meja makan kami makan dalam diam. Kalau Amak dan Ayah tidak bertengkar, kami selalu makan berempat. Selalu tertawa ketika Remon mulai bercerita. Remon jauh beda dengan aku. Dia lincah, semangat dan terlihat bahagia. Beda dengan aku yang pendiam bahkan cenderung serius. Aku selalu menganggap hidup bukanlah main-main. Di usiaku yang baru menginjak usia 15 tahun dan Remon 13 tahun sudah merasakan pahitnya kemiskinan. Kemiskinan yang kadang-kadang membuat aku malu bergaul. Aku lebih banyak menyibukkan diriku dengan melakukan hal-hal yang ku rasa bisa mengalihkanku dari tatapan orang-orang yang memandang rendah keluargaku karena miskin.
"Uda! Kok ngelamun sih? Itu sapinya keluar kandang seekor!" Aku kaget ketika Remon menyikut lenganku. Aku segera membersihkan nasi yang menempel di atas bibirku. Dan tersenyum manis ke arah Remon.
"Uda, biar Re yang beliin obat buat Amak ya? Karena Re juga ada yang mau dibeli untuk sekolah besok!"
"Oh, baiklah Re!" Aku menyerahkan uang seribu tadi ke Remon. Remon dengan semangat berlari ke luar rumah.
Kembali aku terdiam. Suasana rumah kecil ini begitu suram. Disaat tetangga-tetanggaku sudah memiliki aliran listrik untuk penerangan, keluargaku masih memakai lampu teplok. Jarak kami dengan rumah lainnya sangatlah jauh. Kami seolah-olah terisolasi.
Ku pandangi lampu teplok di atas meja makan. Asap hitamnya mengepul. Sekali-kali kucoba menangkap api yang sedang menyala. Tidak pernah bisa kupegang. Namun panasnya bisa kurasakan. Kadang-kadang telapak tanganku kutaroh 5cm di atas api tersebut merasakan hangatnya di
telapak tanganku.
"Nak, sudah selesai makannya?" Kurasakan telapak tangan hangat di atas bahuku. Kubalikkan badanku, Ayah terlihat rapi siap-siap mau ke Masjid untuk shalat Isya.
"Sudah Yah. Titan bersihkan dan cuci piring dulu. Sekalian nunggu Remon pulang dari warung. Setelah itu kita bareng ke Masjid ya yah?"
"Iya Nak! Ayah tunggu!"
Kupandangi sosok ringkih ayah yang memunggungiku. Akh, sanggupkah aku hidup tanpa ayah jika suatu saat Tuhan menjemputnya? Atau sanggupkah aku hidup tanpa keluargaku? Aku selalu dihantui perasaan-perasaan takut yang senantiasa menterorku.
Aku selesai mencuci piring dan sedang menyiapkan perlengkapanku buat mengaji di surau. Remon sudah meminumkan obat buat Amak.
Tidak berapa lama kami sudah berjalan menyusuri jalan desa yang mulai ramai oleh remaja seusiaku.
Bukk!
Aku merasakan sebuah pukulan di punggungku membuatku mendengus kesakitan.
"Uda!" Remon berteriak melihatku yang hampir jatuh. Ayah juga kaget melihatku di bokong oleh orang yang tidak aku ketahui siapa orangnya. Dia langsung kabur begitu berhasil memukul punggungku.
"Kurang ajar! Hei berhenti kau!" Remon berteriak dan hendak mengejar orang tersebut, tapi langsung ditahan oleh ayah.
"Udah, Nak! Jangan dikejar!"
"Tapi Yah! Uda dijahatin gitu!"
"Sudah! sudah! Ayah tidak mau nanti malah kamu yang dikeroyok! Tetap disini bersama Ayah dan Uda!" Remon menunjukkan wajah cemberut mendengar kata-kata ayah. Aku merasa nafasku sedikit sesak. Siapa yang membokongku? Aku hanya bisa merintih menahan sakit.
"Kamu tidak apa-apa, Nak?" Ayah meraba punggungku dan mengusapnya lembut.
"Tidak apa-apa, Yah!"Jawabku sambil menggigit bibir bawahku.
Kami kembali berjalan. Kali ini langkah kaki kami lebih dipercepat. Ayah memegang tangan kami dengan erat. Terasa telapak tangannya yang kasar ketika bersinggungan dengan kulitku.
Tidak berapa lama kami sudah sampai di Masjid kampung. Salat Isya segera dilaksanakan. Ketika Iqamah mulai didengarkan, para makmum segera mengambil shaf di belakang Imam. Disaat itulah aku melihatnya. Sepasang mata jahat dari sebuah wajah yang akan merubah jalan hidupku. Wajah yang juga mengandung seringai dan senyuman yang akan membuat malamku tidak lagi tenang.

Comentário do Livro (34)

  • avatar
    Bin KamaludinKhairunnaim

    kon

    01/03

      0
  • avatar
    Arjuna Anji

    very good

    04/04/2023

      0
  • avatar
    Melsya Tresnane Widodo

    seru ceritanya

    18/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes