logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab Delapan

“Katakan sesuatu yang benar-benar setimpal dengan waktuku yang kau buang.” Rhys memandangku, terlihat menikmati caraku mencegahnya pergi.
“Bisakah kita mendiskusikan ini dalam perjalanan?” Aku mengais jari-jari kaki kanan di lantai marmer honed yang anti licin. Sampai kapan aku tidak diizinkan mengenakan alas kaki seperti ini?
“Apa yang ingin kau diskusikan?”
“Tentang ...” Aku menoleh sekilas ke lorong menuju ruang makan, “tentang ucapan konyolku tadi.”
“Kau berubah pikiran?”
“Ya.”
“Bagus.” Dia memutar tubuhnya. “Ikut aku.” Baru dua langkah berjalan, dia berhenti, melihatku melewati bahunya. “Jangan berjalan dibelakangku.”
Menghela napas diam-diam, aku menurut. Berjalan di sisinya dengan kedua kaki telanjang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana perihnya kedua kakiku jika digunakan saat menginjak aspal atau lantai yang terkena sinar matahari.
Jelas sekali Rhys ingin membuatku menderita.
Kami tiba di garasi. Sama seperti sebelumnya, aku menaiki Bentley Continental white yang dikemudikan sendiri oleh Rhys.
Sekedar informasi, ini garasi mobil khusus milik Rhys. Sedangkan mobil anggota keluargaku yang lain, ada di sebelah luar kanan bangunan rumah.
Rhys menginginkan segala sesuatu miliknya terpisah dari yang lain, dan tidak tersentuh oleh siapapun selain dirinya. Padahal di garasi ini, hanya ada tiga mobil miliknya. Itu mengejutkan, karena Hugo saja memiliki lima unit mobil pribadi.
Setahuku, Bentley Continental inilah yang termahal milik Rhys. Sisa dua unit lainnya juga termasuk sangat mahal bagiku, Mercedes Benz SL-Class black dan Porsche 911 jet black metallic. Kemungkinan Rhys pecinta mobil convertible.
Sangat jauh berbeda denganku, yang hanya memiliki satu Chevrolet Colorado pull me over red yang mencolok. Harganya bahkan setengah dari mobil termurah milik Rhys.
Ibu dan Ayah selalu membatasi kepemilikan untukku, dengan alasan karena aku wanita yang tidak butuh kekayaan, tapi kasih sayang seorang pria. Padahal ini kekayaanku, kenapa harus mereka yang mengatur?
Sejak itu, aku selalu merasa di Anak tirikan oleh mereka berdua. Semakin mereka mencampuri segala urusanku, semakin sering aku berontak.
“Kau bisa memberitahuku sekarang,” kata Rhys, kami sudah menempuh tujuh menit perjalanan.
Kulirik dia sekilas. “Aku benar-benar tidak serius saat mengatakan seolah aku tak membutuhkanmu untuk melindungiku dari hukuman Ayah dan Ibu.” Aku jelas berpanjang lebar yang tidak nyaman didengar.
Rhys tersenyum sinis. “Tidak perlu memperumit, katakan saja kau butuh perlindunganku.”
“Yah, tepat. Kau benar sekali.” Aku mengangguk lemah.
“Terlalu sering menerima hukuman dari Ayah dan Ibu, akan berdampak buruk untukmu.”
Hei, dia baru saja memberiku perhatian? Oh, ayolah, apa dia mau bertingkah menjadi seorang Kakak yang baik? Aku meragukannya.
“Ya. Kurasa memang dampak buruknya berjalan dengan baik.”
Rhys tidak menanggapi. Dia serius menyetir dan aku sibuk dengan kedua kaki yang tidak beralas.
“Apa aku harus bertelanjang kaki saat turun dari mobil?” tanyaku pelan. Kurasa aku mulai kembali berani mengajukan pertanyaan padanya karena kondisi yang memungkinkan.
Sikap manis untuk yang kedua kalinya, itu alasannya. Meski nanti, bisa saja dia berubah dengan mengancam seperti di perpustakaan tadi.
“Apa aku harus menggendongmu?” Rhys melirik sekilas, menaikkan sebelah alis, mengejek terang-terangan.
“Aku akan berjalan sendiri.” Ucapan canggungku terasa berdengung nyaring di telingaku.
“Lihat saja nanti, kau tidak akan perlu alas kaki.”
Benar, sejauh mata memandang, hanya ada rumput golf terawat di halaman rumah yang luas. Kami tiba di sini, sebuah rumah bergaya arsitektur the colonial, setelah menghabiskan tiga puluh lima menit yang lebih banyak diam di dalam mobil.
Rhys tidak mengatakan apapun. Dia berjalan sendirian tanpa menungguku yang juga tidak berniat berjalan lagi di sisinya.
Terlalu menikmati ketelanjangan kedua kakiku di atas rumput golf, aku sama sekali tidak sadar bahwa seorang pria—mungkin seusiaku—sedang berdiri berjarak lima meter dariku.
Dia tersenyum sampai kedua matanya ikut menghilang. Mengulurkan tangannya padaku dengan sangat amat ramah. “Hai, ZeeZee ... Rhys memintaku membawamu ke dalam,” kata nya lembut. Wajah kuning langsatnya tertimpa cahaya matahari pagi dengan kilau yang menarik.
Tunggu, dia memanggil Kakakku dengan namanya? Tanpa ada sebutan ‘Tuan’?
“Kau siapa?” Aku berhenti memainkan jari-jari kakiku di rumput golf.
“Oh, maaf, maaf Nona ZeeZee, aku lupa memperkenalkan namaku.” Dia terserang panik ringan. “Namaku Lucas Ivander, penjaga rumah ini.” Tanpa kecanggungan yang biasa diperlihatkan oleh orang asing, dia buru-buru mengulurkan tangan kanannya dihadapanku.
Aku hanya menerima uluran tangannya, tanpa menyebutkan namaku. Tentu saja aku tidak lagi perlu basa-basi. Dia mengenalku, bahkan memanggil namaku.
Aku hanya menerima uluran tangannya, tanpa menyebutkan namaku. Tentu saja aku tidak lagi perlu basa-basi. Dia mengenalku, bahkan memanggil namaku. Jadi tak ada lagi perkenalan.
Selesai berjabat tangan, aku mengikutinya tanpa bertanya. Sekarang aku tahu bahwa rumah ini milik Rhys. Lucas hanya menjaga rumah ini untuknya. Tapi aku tidak tahu hubungan mereka sedekat apa sampai dia berani memanggil Rhys tanpa sebutan lainnya.
“Rhys menunggumu di halaman belakang.” Lucas memberitahu sambil menunjukkan letak jalan setapak menuju ke sana, tapi dia tidak ikut denganku.
Kedua kakiku tidak lagi menginjak rumput, tapi tanah keras yang padat. Kulihat Rhys sedang mempersiapkan alat memanah.
“Kemarilah, kau harus coba ini,” kata Rhys, dia sadar akan kedatanganku.
Aku berjalan lagi dan tiba setelah lebih dari lima langkah. Untuk memanah, aku cukup percaya diri karena aku menguasai olahraga yang satu ini.
“Ambil ini.” Rhys menyodorkan apel matang padaku. “Lalu Pergilah ke sana,” tunjuk Rhys ke salah satu pohon besar yang rindang dan aku tidak tahu apa namanya, karena aku lebih peduli pada tujuan Rhys memintaku untuk menjadi sasaran anak panahnya.
Aku membeku di tempat. Tidak berniat memenuhi perintahnya sebelum berpikir. Aku hanya memperhatikan Rhys dengan kedua mata yang fokus, saat dia sudah selesai menyiapkan anak panahnya.
“Apa yang kau tunggu?” Rhys bertanya tanpa melihatku, dia sedang melepas sepatu derby cokelat tua-nya dalam posisi berjongkok.
“Kau ingin aku menjadi sasaran anak panahmu?” tanyaku datar. Meski aku tidak terkejut dia ingin melakukannya, tapi instingku bekerja dengan baik, aku percaya bahwa pria ini tidak mahir memegang busur apalagi melepaskan anak panah sehingga dia ingin melukaiku dengan cara tidak disengaja.
“Tepat sekali.” Dia berdiri, sudah bertelanjang kaki sama sepertiku. “Cepat, pergilah.” Rhys menatapku sekarang, tatapannya mencerminkan kesenangan yang luar biasa di mataku.
Harga diriku terluka seketika jika aku menolak, jadi aku menurut. Lagipula, apa Rhys pernah menerima penolakan? Tidak, tentu saja.
Jadi, mari berharap agar Rhys takut akan dosa melukai saudari kandungnya sendiri dengan anak panah beracun. Sial! Karena membacakan cerita fantasy tentang penyihir untuknya sebanyak delapan puluh dua halaman, membuat imajinasiku bergerak ke arah yang konyol.
“Berdirilah yang tegak ZeeZee,” bisik Rhys, mengejutkan saat dia sudah di depanku, memegangi tanganku yang menggenggam apel dan menuntunnya ke atas kepalaku. Dasar gila!
“Bagus,” katanya lagi, mengacungkan ibu jari, dan tersenyum sinis dengan seribu kali kebanggaan tentunya.
“Aku akan mati dalam hitungan detik,” gumamku sendiri, sesaat setelah Rhys berbalik.
Bersambung.

Comentário do Livro (172)

  • avatar
    Maria Ratu Rosari

    emejing

    14/05/2023

      0
  • avatar
    KhaerunnisaChindar

    Nicee iloveeee yuuuu❤️❤️❤️

    02/02/2023

      0
  • avatar
    PradyaDiva

    bagus banget ceritanya

    28/12/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes