logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 THREE -- LOVE IS NEVER WRONG

Lepas dari segala kegiatannya di sekolah, Raina menghembuskan napas, antara lelah dan lega.
Rencananya hari ini ia akan langsung pulang, tiduran sebentar lalu mulai kembali memikirkan apa yang akan dia lakukan malam ini.
Setidaknya, itu rencananya.
Kenyataannya, saat Raina membuka pintu rumah yang ia tempati sendiri, dirinya justru mendapati Salsa tengah membereskan ruang tamunya.
Rumah yang ia tinggali sendiri memang jarang ia bereskan. Sesekali ibunya akan datang berkunjung bila tidak sibuk dengan pekerjaannya sebagai pesohor ibukota.
Iya, dia sendiri juga heran kenapa dia sebagai anak orang terkenal malah harus hidup mandiri seperti ini?
Terkadang, ia iri dengan Rafathar anak si Sultan itu.
Tapi, mengingat kembali statusnya dalam keluarga dia hanya akan tersenyum, antara sedih dan juga memaklumi segalanya. Menerima kenyataan bahwa dirinya adalah anak yang tidak diinginkan ibunya. Anak yang tidak sengaja ada di dunia. Bahkan, hingga usianya menginjak delapan belas tahun, ibunya masih seolah menjadi wanita lajang tanpa tanggung jawab.
Ia selalu saja ingin mengoyak segala tindak tanduk ibunya yang terlalu haus akan ketenaran sehingga tidak akan membiarkan apapun menjatuhkannya. Termasuk anaknya saat ini.
"Lo ngapain di sini? Kok bisa masuk?" Sedetik ia bertanya, ia menganggukkan kepala, baru mengingat bahwa ia memberikan kunci cadangan kepada kekasihnya itu.
Salsa menyengir, ia mendekat setelah membersihkan tangannya. Menarik Raina duduk di sofa. "Aku ke sini, pengen minta maaf." Raina mendengus saat melihat wajah Salsa yang tampak tak begitu merasa bersalah.
Ia mengangguk saja, memilih berbaring di sofa setelah ia menendang punggung Salsa dengan pelan. Tapi, dasarnya saja gadis muda yang memakai kemeja khas anak SMP itu begitu lebay.
"Ih, kok akunya ditendang, sih. Jahat!" Raina tak peduli, memilih memejamkan mata dengan posisi tengkurap. Tanpa sadar, dirinya terlelap masuk ke alam mimpi.
Salsa bangkit, melihat kekasih yang menjalin hubungan dengannya tak lama ini dengan senyum merekah. "Setidaknya kamu nggak marah-marah lagi kayak kemarin." Gadis yang berbeda dua tahun dari Raina itu bergidik ngeri sesaat saat melihat wajah keras dari seorang Raina Sahira.
Beberapa hari yang lalu, ketika mereka berdua seperti biasa menghabiskan waktu berdua, Salsa dengan tidak tahu malah menunjukkan sikap cemburunya terhadap Anya, sahabat Raina. Walau sebenarnya bukan tanpa alasan Salsa merasa cemburu.
Kekasihnya itu bahkan mengacuhkannya saat mendapat telepon dari Anya yang katanya merasa takut dengan sesuatu hal--Salsa tidak terlalu mendengarkan pembicaraan mereka.
Dan saat ia mengeluarkan isi hatinya, Raina justru membentak, dan memaki dengan kalimat kasar disertai dengan kalimat penuh pembelaan terhadap Anya. Dan puncaknya, Raina meninggalkan dirinya sendirian di sana.
Sampai sekarang, jujur Salsa tidak merasa memiliki kesalahan sama sekali, tapi terganggu oleh rasa rindu yang membeludak, akhirnya Salsa dengan setulus hati meminta maaf hari ini.
Walau dia sangat bersyukur Raina tidak lagi marah kepadanya, tetap saja dirinya kesal tidak diacuhkan sama sekali oleh cewek ini.
"Ah, bodo ah." Salsa berdiri, memperbaiki tatanan rambut sebelum melangkah ke arah dapur. Dia lapar dan mungkin Raina juga akan terbangun sebentar lagi karena kelaparan.
Makanya, Salsa dengan sigap menggoreng nuget dan sosis yang dia bawa dari dalam kulkas dan memakannya dengan nasi panas, Salsa sedikit heran, kapan kekasihnya ini sempat memasak menggunakan rice cooker?
Pagi sebelum berangkat sekolah, kah?
Menghabiskan seperempat makanannya, Salsa mendongak saat merasakan elusan tangan di kepalanya. Sedikit terkejut karena dia sama sekali tidak mendengar langkah kaki Raina.
"Kamu ngagetin," ujarnya dengan mata membulat lucu serta pipi menggembung karena belum selesai mengunyah.
"Masih ada, nggak?" Salsa baru saja berniat menjawab akan menggorengkan untuk Raina lagi, malah dirinya dibuat melotot saat Raina dengan santai menarik piring di hadapannya hingga berada tepat di depan Raina.
Raina menyengir, persis dengan ekspresi wajah yang Salsa tampilkan saat ia kepergok berada di rumah kekasihnya.
"Goreng buat diri lo aja, gue cukup ini," ucap Raina santai lalu mulai melahap makanannya. Salsa menggeleng, tidak percaya dengan ucapan perempuan yang tua beberapa tahun darinya.
Mana mungkin seseorang bisa merasa cukup dengan makanan yang hanya tersisa seperempat piring?
"Sekolah lo gimana? Persiapan masuk SMA udah keurus belum?"
"Cie, care banget." Raina menghempas tangan Salsa pelan sebelum berhasil menyentuh wajahnya. Dirinya kesal, bahkan perempuan itu belum mencuci tangan setelah memegang nugget.
"Serah lo, lah." Salsa tertawa. Ia kembali menghadap ke kompor, memperhatikan gorengannya.
"Aku masuk ke sekolah kamu, nggak pa-pa, kan?"
"Ya, nggak pa-pa, lah. Malah bagus lagi, gue udah pasti dapat satu orang buat masuk organisasi gue. Bagus, kan? Nggak ribet nyari orang banyak-banyak lagi." Setelah itu, terdengar suara mengaduh dari mulut Raina saat dirinya dicubit di bahu.
"Jahat banget." Salsa mendengus. Memilih duduk di hadapan sang kekasih, menyodorkan nugget yang ia goreng. Tepat seperti dugaannya, Raina langsung mengambil nugget-nya. "Kamu tuh nggak pernah ada romantisnya, yah."
"Eh?" Raina berkedip sekali. Menatap wajah polos kekasih masih dengan kunyahan di mulut. Ia tersenyum miring sesaat, mendekatkan tangannya ke pipi Salsa. "Makan tuh yang bener, berminyak banget itu mulut."
Salsa mematung, sedikit kaget sebenarnya. Dia mengerjap saat merasakan kembali elusan di pipinya. Kali ini sebuah tissue telah membantu pekerjaan Raina. Sejak kapan Raina mengambil tissue?
"Jangan lupa cuci muka. Lo tuh mukanya gampang minyakan, apalagi habis makan berminyak." Salsa mengangguk kaku. Raina tertawa geli, mengusap puncak kepala gadis itu gemas. Salsa masih dalan keterkejutannya. Semakin gemas, Raina mendekat ke arah telinga Salsa. "Gue bisa 'kan romantis-romantisan?" tanyanya dengan nada seduktif. Melihat Salsa merinding, dia tertawa lebih keras. Kekasihnya ini terlalu menggemaskan, melebihi Myuza, kucing di sekolahnya.
"Apa, sih?! Najis!" Salsa mengalihkan pandangan. Wajahnya memerah, bahkan tanpa ia sadari kemerahan itu sampai di telinganya.
"Lo yang najis," ucap Raina kembali meletakkan tangan di kepala cewek itu. "Masih kecil udah tahu romantis-romantisan."
Salsa mencebik, tetap tidak memandang kekasihnya. Ia berjalan mencuci piring bekas makannya dan memilih berada di ruang tamu.
***
"Lo, tuh kok bisa ini, sih?" Raina memiringkan kepala tidak mengerti. Saat ini dia dan Anya sedang duduk di pintu salah satu basecamp organisasi di sekolahnya. Basecamp tersepi dibanding basecamp kedua organisasi cewek ini. Maklum, ini hari Minggu, hanya ada segelintir orang dengan urusan organisasi mereka. Di sekolahnya, kehiatan organisasi hanya diadakan
"Bisa apaan? Gue nggak ngerti." Raina terkekeh saat Anya malah berdecak.
Sesaat Anya mengedarkan pandangan, memastikan tak ada yang akan mendengar percakapan mereka. "Lesbi, lo tahu." Dia mengendik, berusaha tidak terlalu kaku menanyakannya. Agar tidak memunculkan rasa tidak enak di hati sahabatnya.
Raina membulatkan bibir, memandang ke atas plafon sekolahnya. "Gue ... juga nggak tahu, sih. Mungkin lo atau sebagian orang yang tahu mikir gue ketularan sama Salsa. Nyatanya, Salsa bukan yang pertama," ucapnya menjeda sebentar, memandang reaksi Anya yang sangat terkejut. Raina tidak pernah memberitahukannya.
"Gue coba inget-inget dulu." Menghembuskan napas, Raina meluruskan kaki. "Ah, sepertinya karena gue begitu dekat banget sama seorang cewek yang gue anggap kakak dari kecil. Dia anak angkatnya ibu, jauh sebelum gue lahir, gue inget dari cerita dia sih, katanya dia diangkat cuma buat agar ibu tuh dipandang dermawan sama fans-fans-nya." Raina mengendik, nampak sangat tidak ingin membicarakan soal ibunya.
"Dia tahu gue tuh anak yang terlahir karena kesalahan ibu gue. Dia yang akhirnya urus gue tepat setelah gue lahir, itu katanya dia sih, gue nggak ingat soalnya." Tertawa, jelas itu adalah tawa kepedihan. Anya tidak merespon. Ia tahu soal fakta bahwa ibunya Raina adalah seorang pesohor terkenal.
"Terus, karena umur kita beda sekitar sepuluh tahunan, di usia gue tujuh tahun, dia udah ngelakuin hal-hal aneh ke gue. Gue saat itu nggak paham. Cuman ... karena gue ngehormatin dia, gue ikutin aja semua yang dia lakuin."
Anya tidak perlu bertanya perlakuan macam apa yang Raian terima.
Cukup lama jeda cerita dari Raina, sesaat sebelum Anya berpikir akan merespon, Raina kembali bersuara.
"Di usia gue lima belas tahun, awal masuk SMA lah. Dia pergi, jauh banget. Di Merauke. Katanya di sana ia ketemu sama keluarga kandungnya. Dia ninggalin gue yang akhirnya udah merasa nyaman sama perlakuan dia. Dia ninggalin gue dengan luka yang tidak dia bawa sama sekali." Menghela napas, ia melanjutkan, "ya udah, habis itu gue nggak berusaha buat berhenti mengikuti perasaan gue. Gue malah negbiarin dan malah terus nurutin hati gue. Sampai sekarang kayak gini."
Mereka berdua sama-sama menghela napas. Tak ada yang bicara hanya sesekali mereka akan memandang langit atau justru tanah di hadapan mereka.
Dulu, mungkin Anya akan tidak percaya dengan ungkapan cinta tidak pernah salah, sebab ia selalu mempersalahkan cinta ... karena beberapa kasus pelecehan terjadi berawal atas nama cinta.
Tapi, sejak dirinya mengenal Raina dan segala kisahnya, ia menelan kembali ludahnya. Rasa cinta antara Raina dan Salsa bukanlah satu kesalahan, walau sebagian orang mengatakan itu salah.
Sebenarnya, dua gadis tanggung ini bukan orang yang mendukung sepenuhnya terkait hubungan sesama jenis. Raina bahkan tidak berkoar-koar apapun itu terkait pembelaan perasaannya. Ia hanya menjalaninya, membiarkannya mengalir tanpa tahu akan ke mana hubungan mereka.

Comentário do Livro (64)

  • avatar
    Ananda putri hafidah04

    bagus

    02/02/2023

      0
  • avatar
    rryJe

    good books

    11/01/2023

      0
  • avatar
    Kinantialzahra

    sangat bgs:>

    20/09/2022

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes