logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

4. Aku masih belum mengerti

Selamat membaca!!
~~~
Menjadi ketua OSIS disekolah bukanlah hal yang mudah untuk dikerjakan bagi siapapun, dia harus menanggung semua beban sendirian. Terlebih lagi jika menyangkut aktivitas yang ada di sekolah.
Sejujurnya Anggasta juga memang tidak ingin menjadi ketua OSIS, dia hanya ingin menjadi anggota saja, namun siapa sangka saat pemilihan ketua OSIS banyak siswa yang mengajukan dirinya sebagai ketua.
Itu terjadi selama 3 tahun berturut-turut, padahal dia sudah berniat jika dirinya sudah berada ditingkat akhir, dia tidak akan menjadi ketua lagi dengan alasan untuk fokus pada pelajarannya.
Namun lagi-lagi harapannya pupus karena kepala Sekolah sendiri yang menyuruhnya kembali menjadi Ketua OSIS, mau tidak mau dia kembali menjabat sebagai ketua OSIS.
Anggasta baru saja tiba dirumah miliknya setelah selesai dengan kegiatan disekolahnya. Hari ini dia akan menghabiskan waktunya dirumah dengan belajar dan juga menonton tv.
Hari yang sungguh berat, dia sangat lelah, namun dia juga tak mau tertinggal dalam hal belajar.
"Aku pulang." Anggasta membuka pintu, kali ini dia langsung naik dan masuk kedalam kamarnya.
Ibunya mungkin masih berada dirumah sakit dan belum pulang, sementara sang Ayah sudah lebih dulu dipanggil ketika usia Anggasta baru menginjak 8 tahun.
Meskipun Anggasta tumbuh tanpa seorang Ayah, dia masih bersyukur memiliki Ibu yang saat ini masih mau merawatnya dengan baik, hingga dia tumbuh menjadi Pria yang baik.
Dia berbaring sebentar untuk menghilangkan rasa penatnya. Tiba-tiba dia kembali teringat dengan gadis yang tadi menemuinya di ruang OSIS.
Anggasta langsung duduk dengan posisi kaki menyilang, dia mengambil kembali tasnya dan mengeluarkan sebuah barang yang sempat dia ambil diruang OSIS.
Dia menatap silet milik Renata, gadis itu sungguh aneh. Dia memaksaku untuk mengembalikan barangnya, tapi tiba-tiba sikapnya menjadi aneh saat aku menyinggung tentang penggunaan silet ini untuknya.
Apa mungkin dia memang menggunakan silet ini untuk menggores lengannya? Apa dia benar-banar memiliki gangguan? Rasa penasaran itu semakin besar saat dirinya tak sengaja melihat goresan darah kering yang tertempel di silet itu.
"Sepertinya dia benar-benar menggores lengannya." Anggasta menyimpulkan dengan yakin bahwa ini darah bekas goresan dilengan gadis itu.
Dia menyimpan kembali silet itu, lalu mulai beranjak dan masuk kedalam kamar mandi.
***
"Apa kamu sering bertemu dengan Renata di sekolah?"
Itu kalimat pertama yang ibunya katakan saat mereka sedang sarapan bersama.
Anggasta menoleh pada ibunya. "Aku tidak sering bertemu dengannya hanya sesekali. Ada apa?" tanya Anggasta curiga.
Sopia langsung menggeleng. "Tidak, Ibu hanya ingin tau keseharian dia di sekolah."
Anggasta langsung menyimpan sendok yang semula dia pegang, kemudian beralih menatap Ibunya.
"Apa dia benar-benar sakit?" Entah kenapa Anggasta menjadi sangat ingin tau tentang gadis itu. Semenjak pertemuannya tadi di ruang OSIS, rasa penasarannya semakin tinggi.
"Ibu tidak ingin memberi tahu, hanya saja jika kamu bertemu dengannya cobalah bersikap baik. Jika perlu ajak dia berteman denganmu." saran Sopia.
Anggasta menghela nafas pelan, dia sudah menebak jika ibunya pasti tidak akan memberitahukan kondisi Renata.
Selama ini dia tidak pernah mau tau tentang pasien-pasien ibunya, hanya saja kali ini berbeda, dia Renata. Seorang gadis pintar dan populer disekolahnya.
"Dia gadis pintar dan populer, hanya saja dia terlalu dingin pada orang, jadi yang aku lihat dia tidak memiliki seorang teman." jawab Anggasta.
Sopia menatap putranya itu, dia paham betul dengan itu. Seseorang yang memiliki Syndrome seperti itu cenderung akan menjauh dan terlihat sangat pendiam, itu dilakukan agar dia tidak perlu mengatur ekspresi atau suasana hatinya. Berpura-pura itu melelahkan.
"Mulai hari ini ibu menyuruhmu untuk menjadi temannya."
Anggasta langsung menatap Sopia kaget. "Untuk apa? Aku tidak memiliki kesan yang baik terhadapnya, tatapannya terlalu dingin dan tidak bersahabat." Protes Anggasta.
"Lalu kenapa kamu sangat ingin tau tentang penyakitnya?" tanya Sopia.
Anggasta terlihat bingung dan gugup "Itu karena aku merasa penasaran saja,"
Sopia menatap curiga putranya itu. Anggasta tentu tau tatapan itu. "Sudahlah aku segera berangkat sekarang."
Anggasta lantas berdiri dan sedikit merapihkan baju seragamnya, setelah itu berpamitan pada Ibunya dan langsung pergi menuju sekolah.
Tak butuh waktu lama dia sudah berada diSekolahnya, dia lantas turun dari motor ninja kesayangannya itu.
Berjalan santai sambil menyapa beberapa siswa yang terseyum padanya.
Dari arah jauh dia melihat seorang gadis yang sudah tak asing baginya, tentu saja dia Renata, dia juga tengah berjalan menuju kelasnya.
Anggasta langsung mempercepat langakahnya menyusul gadis itu. "Tunggu dulu!!" ucapnya.
Renata langsung berbalik dan menatap dingin dirinya.
Anggasta langsung mengeluarkan barang kecil itu dari tasnya. "Ini aku kembalikan." dia menyodorkan silet yang kemarin dia sita.
Renata menatap benda itu acuh lalu kembali menatap Anggasta. "Aku sudah tidak membutuhkannya, kau boleh membuangnya." ucap Renata dingin.
Anggasta membuang nafas pelan, dia lantas menarik satu tangan gadis itu dan menyimpan bungkusan itu ditangannya, "Aku tidak punya hak untuk membuangnya, itu barangmu, jika ingin dibuang, buang sendiri."
Renata menatap benda yang saat ini ada ditangannya, kemudian dia maju beberapa langkah menuju tempat sampah dan dia langsung membuangnya tepat dihadapan Anggasta.
Lalu setelah itu dia pergi meninggalkan Anggasta yang masih berdiri dengan wajah kesalnya.
"Menyebalkan." Dia juga langsung pergi menuju kelasnya.
Dia gadis yang tidak mudah ditebak, pantas saja tidak punya teman. Mungkin mereka juga malas berteman dengan gadis dingin dan menyebalkan sepertinya.
~~~
"Heii!! Kenapa mukamu kusut sekali, apa ada yang menganggu harimu?" Erik menepuk pundak Anggasta pelan.
"Tidak ada." jawabnya.
"Benarkah? Aku tadi melihatmu berbicara pada Renata, apa kamu menyatakan cinta padanya? Dan ditolak seperti yang lain?"
Anggasta menoleh pada temannya itu, dia melempar buku yang sempat dibaca. "Apa kamu sudah gila? Gadis dengan sikap sepertinya pasti tidak akan ada yang menyukainya."
"Kau salah, banyak yang menyukai dia."
Anggasta kembali menoleh pada Erik. "Aku tidak peduli."
Dia kemudian berdiri dan pergi meninggalkan kelas, mengacuhkan teriakan Erik yang terus memanggil namanya.
Sungguh menyebalkan sekali punya teman sepertinya, bagaimana bisa dia selalu menyimpulkan jika dirinya menyukai Renata.
Gadis itu, tunggu sampai aku tau apa penyakitmu.
Anggasta berjalan menuju ruang OSIS.
"Gasta!!" seseorang menyerukan namanya, dia lantas menoleh dan mendapati Karin tengah berjalan menujunya.
"Ada apa?"
"Kepala sekolah menyuruhmu untuk datang kekantornya."
Anggasta mengangguk, "Baiklah, terimakasih."
Dia kemudian berjalan menuju ruang kepala sekolah.
Tok Tok tok
Anggasta mengetuk pelan pintu ruangan kepala sekolah, tak lama seseorang dari dalam menyuruhnya untuk masuk.
Dia kemudian masuk dan memberi salam. "Duduklah," perintahnya.
Anggasta mengangguk dan duduk dia kursi yang tersedia disana
"Tunggu sebentar, kita masih menunggu satu siswa lain."
Dia mengerutkan keningnya bingung, sebenarnya apa yang ingin beliau bicarakan.
Tak lama pintu kembali diketuk dan seseorang masuk kedalam dengan sopan.
Anggasta menoleh dan sedikit terkejut karena seseorang yang ikut masuk keruang kepala sekolah adalah Renata.
"Mari duduk."
Dia tak berbicara apapun dan iku duduk disamping Anggasta yang masih menatapnya bingung.
"Baik karena kalian berdua sudah ada disini, saya tidak akan bertele-tele menjelaskan. "Kepala sekolah menjeda ucapannya sebentar
"Saya mendapat surat dari dinas pendidikan, mereka akan mengadakan seminar. Mereka menyuruh untuk membawa 2 perwakilan siswa, jadi saya akan mengirim kalian berdua untuk pergi kesana." lanjutnya.
Anggasta maupun Renata sama-sama terdiam, mereka berdua bingung. Kenapa kepala sekolah menyuruh mereka untuk datang sedangkan masih banyak siswa yang dia pilih.
Kepala sekolah seakan mengerti dengan diamnya mereka. "Saya mengirim kalian berdua karena kalian adalah panutan yang bisa untuk siswa yang lain. Gasta juga bisa menyampaikan informasi yang didapat pada seluruh siswa, karena kamu ketua Osis."
"Aku tidak bisa." Ucapan itu meluncur begitu dingin dari bibir Renata.
Anggasta menatap kaget gadis yang saat ini tengah duduk disampingnya. "Apa yang kamu lakukan?!"
Renata hanya diam tak menjawab ucapan dari Anggasta.
"Tapi kalian sangat cocok untuk pergi kesana." bujuk Kepala sekolah.
Renata masih enggan menjawab ucapan Kepala sekolah. Sejujurnya dia juga tidak ingin seperti ini, dia bukan tipe orang yang melawan atau menolak apapun, apalagi ini perintah langsung dari kepala sekolah.
Dia hanya takut, takut jika nanti akan terjadi sesuatu jika dirinya pergi ketempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.
Hidup dengan berberapa kepribadian tidaklah mudah, dia harus menyesuaikan dirinya dengan kepribadiannya yang lain agar tidak menjadi kacau.
"Renata!!" panggil Anggasta.
Dia kemudian berdiri dan pergi begitu saja. Anggasta yang melihat itu sangat kaget, gadis itu benar-benar tidak sopan.
Anggasta menoleh pada kepala sekolah, "Saya akan mencoba untuk membujuknya.
***

Comentário do Livro (138)

  • avatar
    SariLinda

    bagus banget ini

    03/08

      0
  • avatar
    WijayaAngga

    Bagus ka, ada lanjutannya ga? atau cerita yang 11 12 ma ini bagus banget soalnya

    23/07

      0
  • avatar
    Abima aKeynan

    bgs

    11/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes