logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

part 18

Aku terbangun oleh suara adzan dari ponsel seorang perawat yang bertugas jaga malam di rumah sakit tempat ayah di rawat. Mungkin perawat itu lupa mematikan dering telpon nya. Kulihat ayah masih tidur.
Aku berjalan menuju mushola rumah sakit setelah melihat Sandi tertidur di kursi tunggu depan kamar ayah. Ku putuskan sholat subuh saat ini.
Ketika aku kembali dari kewajiban ku pada sang pencipta, tak kudapati Sandi yang tadi tidur di kursi tunggu saat ku tinggalkan tadi. Aku berjalan mengendap agar tak menimbulkan keributan ketika tak jauh dari pintu ku dengar ayah sedang berbicara dengan ibu, sementara tak kulihat Sandi di sana.
"Sebenarnya, apa yang terjadi yah? Ayah buat ibu khawatir"tanya ibu pada ayah yang terbaring lemah di atas kasur.
"Semalam ayah kerampokan buk"ucap ayah pelan yang berhasil membuat aku sontak menutup mulut karena kaget.
"Apa yah? Kok bisa? "kata ibu tak kalah terkejut.
"Entahlah. Ayah juga heran. Sepeda motor ayah yang terlihat usang saja, malah mengundang rampok di jalan."ucap ayah pasrah.
"Ya sudah yah. Yang penting ayah sehat. Ngga luka. Biarlah nanti kita beli motor lagi saja. Keselamatan lebih penting yah"ucap ibuku berusaha menghibur.
"Sebenarnya, bukan motor yang ayah pikirkan bu. Tapi uang yang ayah bawa. Ayah pulang bawa seluruh tabungan ayah. Uang yang seharusnya ayah gunakan untuk pendaftaran sekolah Tania. Sekarang uang itu hilang tak berbekas. Hanya tinggal beberapa ratus ribu di dalam tabungan ayah. Ayah takut itu ngga cukup" ucap ayah penuh penyesalan.
Ibu tak menjawab curahan hati ayah. Beliau hanya diam. Tapi dari sudut pandang ku yang berdiri mengintip di pintu, terlihat jelas kemarahan di wajah ibu saat itu.
"Jangan- jangan luka yang ada di punggung ayah itu akibat ayah mempertahankan uang itu ya!"ucap ibu penuh selidik.
"Bagaimana ayah bisa diam ngga ngelawan bu! Itu uang sisa nafkah untuk mu yang ayah kumpulkan sedikit demi sedikit demi ayah lihat Tania melanjutkan pendidikan nya. Mana mungkin ayah diam saja melihat hasil jerih payah ayah di ambil begitu saja!"suara ayah sedikit lebih keras pada ibu.
"Alah.... ayah itu selalu seperti ini kalo sama Tania. Dia itu pembawa sial dalam keluarga kita yah" ucap ibu berapi-api.
Aku tak sanggup lagi mendengar pertengkaran mereka. Aku berlari kembali ke arah mushola rumah sakit. Masuk ke dalam nya dan duduk di sudut. Menangis sambil menutup wajah ini tanpa suara. Hati ini begitu hancur.
'Sebegitu benci nya kah ibu padaku. Apa salah ku sampai ibu tega menempelkan cap pembawa sial pada Tania bu!'ratap ku dalam hati.
Aku tak sanggup lagi menahan untuk tidak menangis hari ini. Hati ini begitu sakit hingga mungkin tak mungkin untuk sembuh.
Aku kembali mengambil wudhu. Menunggu hingga pukul 7 untuk melaksanakan sunnah dhuha. Juga untuk mengurai rasa sakit atas ucapan ibu yang sengaja ku curi dengar.
Saat selesai sunnah ku, kupanjatkan doa tulus untuk kesembuhan ayah dan juga meminta tambahan kesabaran dari Nya. Setelahnya, ku langkah kan kaki kembali ke ruangan ayah. Aku tidak ingin ayah bersedih. Ku sembunyikan apa yang tadi ku curi dengar dan berpura-pura tak mengetahui tentang bangun nya ayah pagi ini.
"Ayah"ucap ku dari ambang pintu dan segera berlari memeluk beliau di atas ranjang untuk menutupi pencurian tadi.
Ayah memeluk ku dan mengusap pelan punggung ku dengan tangan kekar nya.
"Alhamdulillah ayah sudah bangun"ucap ku antusias setelah melepas pelukan nya.
"Iya ndok" ucap ayah pelan.
Aku langsung duduk di kursi sebelah ranjang begitu ku sapu sekitar sekilas pandang tak menemukan sosok ibu dan Sandi.
"Ayah. Apa nya yang sakit yah?"tanya ku lagi sambil ku genggam lengan beliau.
"Ayah ngga pa pa ndok. Kamu jangan khawatir!"ucap ayah menenang kan ku.
"Bagaimana Tania ngga khawatir yah. Ayah pulang telat semalem. Terus tiba-tiba pingsan depan pintu. Kami panik yah."
"Sudah. Yang penting sekarang ayah sudah ada di depan mu to!"ucap ayah sambil menepuk tangan ku yang berada di lengan nya.
"Lalu di mana motor ayah? Kenapa semalem aku ngga denger suara motor ayah?"tanya ku berusaha membuat ayah jujur akan apa yang tejadi semalam.
"Sebenarnya, ayah semalan kerampokan ndok. Motor ayah di ambil orang dengan paksa waktu ayah perjalanan pulang"cerita ayah sambil menerawang memandang langit-langit kamar.
"Apa yah? Kenapa bisa yah? Bukankah motor ayah itu tak seberapa nilainya jika di jual kembali?"ucap ku, ku buat-buat.
"Yach,,,mungkin mereka sedang butuh ndok. Ayah sudah ikhlas. Yang penting ayah sudah ada di rumah bersama kalian."ucap ayah menenagkan ku.
Aku hanya diam tanpa suara.
'Kenapa ayah tak jujur soal uang tabungan itu juga yah. Aku akan cukup paham jika nanti akhirnya harus ku kandaskan mimpiku untuk masuk SMA' batin ku.
"Sudah. Jangan banyak melamun! Ouw ya. Ibu tadi pamit pulang dulu. Mengambil baju ayah dan juga keperluan mereka. Ayah belum boleh pulang hari ini. Sandi mengantar ibu mu sampai gerbang rumah sakit"ucap ayah mengalihkan topik pembicaraan.
"Assalamu'alaikum"ucap Sandi.
"Wa'alaikum salam" jawab ku dan ayah.
"Maaf yah. Tadi pergi beli sarapan dulu jadi lama. Nih mbak! Makan dulu gih. Abis itu mandi gih!"ucap Sandi sambil menyerahkan bungkusan nasi untuk ku.
Aku menerima nya. Namun ku suruh adik ku itu untuk sarapan terlebih dahulu. Aku beralasan ingin menyuapi ayah makan karena sebentar lagi perawat akan datang membawakan ayah obat dan memeriksanya.
◇◇◇◇◇
Ibu sudah datang dengan membawa perlengakpan ayah dan juga perlengakapan untuk menginap lagi semalam di rumah sakit. Dokter menyaran kan untuk menginap semalam lagi di sini karena tekanan darah ayah yang tidak stabil.
Kemungkinan besar rasa terkejutnya masih belum hilang. Sandi sudah mandi dan berganti pakaian. Sedangkan aku hanya mandi tanpa berganti pakaian.
Sebenarnya tadi Sandi memaksa ku untuk memakai pakaian yang di bawa ibu untuk nya. Namun ku tolak karena tak ingin mebuat ibu semakin membenci ku. Kulihat tadi ayah pun sempat protes pada ibu karena tak memikirkan pakaian ku juga. Tapi ku usap halus lengan nya sambil ku gelengkan kepala ke arah ayah untuk mengatakan bahwa aku baik- baik saja.
Perut ku sedikit lapar. Aku pamit pada ayah dan juga ibu untuk ke kantin rumah sakit, memakan sarapan yang di belikan Sandi tadi pagi yang tak sempat ku makan. Sebenarnya bukan tak sempat, namun mulut ini menolak untuk makan di kala pikiran pun tak tenang.
Aku duduk di sudut kantin setelah memesan segelas coklat panas. Ku nikmati sebungkus nasi kuning dengan sedikit tidak bersemangat.
"Ngga enak ya mbak makanan nya?"tanya Sandi yang tiba-tiba sudah ada di samping ku.
"Lhoh, kamu nyusul mbak dek?"tanya ku kaget melihatnya.
"Mbak. Mbak ini cantik. Polos lagi. Apa kabar kalo ku biarkan sendirian. Bisa-bisa sampean di gondol om- om yang suka makan dau muda"ucap Sandi menggoda ku.
"Kamu ini"ucap ku sambil ku menunduk menahan tawa.
"Gitu dong senyum. Dari tadi kok cemberut aja sich"ucap Sandi.
"Ora lah dek. Eh, pesen makan atau minum gih! Temenin mbak makan. Ni duitnya"ucap ku sambil ku angsurkan lembaran biru dari tangan ku dan langsung di terimanya.
Sandi pergi memesan pada penjual yanga da di kantin. Saat kembali, dia hanya membawa secangkir kopi susu panas favoritnya dan mengasurkan kembalian nya padaku.
"Lhoh kok cuman ngopi?"tanya ku heran.
"Kenyang aku mbak. Lha wong tadi habis sebungkus nasi kuning gitu"ucapnya padaku.
Aku hanya diam menanggapi jawabnya dan menerima kembalian itu. Itulah adik ku. Selalu tak enak hati menjajakan uang hasil keringat ku. Kadang aku harus sampai memaksa nya terlebih dahulu.
Aku diam menikmati makanan ku kembali. Sambil pikiran ini terus saja memikirkan tentang musibah yang terjadi pada ayah kami malam ini.
"Mbak. Jangan ngelamun! Ini rumah sakit" ucap Sandi yang membuat ku terkejut.
"Dek. Kira- kira kalo setelah ini mbak kerja,apa ada yang mau menerima ya dek?"tanyaku pada Sandi.
"Mbak mau kerja? Bukanya mbak pengen masuk SMA terus kuliah dulu baru kerja?"tanya Sandi heran.
"Dek. Mbak ini cukup tau diri punya keinginan seperti itu. Apalagi kamu juga masuk SMP. Kasian ayah kalo sama-sama membiayai kita untuk sekolah."ucap ku meyakinkan adik ku.
"Kalau gitu biar Sandi aja yang putus sekolah mbak"ucap Sandi tiba-tiba.
"Husstt.... ngawur kamu dek!"ucap ku tak senang.
"Ngga pa pa mbak. Sandi ini ngga begitu pinter. Kan sayang kalau ayah membiayai anak ngga pinter. Sandi rela nguli asal mbak ngga putus sekolah."ucap nya meyakinkan ku.
Aku menghela nafas berat.
'Kamu ini dek! Bukanya ngasih solusi malah bikin mbak tambah parno aja kalo sampek kamu beneran nguli gara-gara mbak. Bisa di gantung sama ibu di tiang bendera sekolah mbak mu ini' batin ku berucap.
"Mbak. Selama ini kan mbak hanya butuh uang pendaftaran aja dari ayah. Untuk uang bulanan maupun perlengkapan sekolah, mbak selalu bisa usaha dapetin itu. Terus apa yang buat mbak mikir untuk berenti sekolah?"ucap Sandi.
"Ibuk dek. Ibuk ngga mau mbak nglanjut sekolah. Ibuk ngga suka mbak masuk SMA dan kuliah."ucap ku pelan.
"Halah. Ibuk lagi to! Mbak. Ibuk itu mbak sekilah atau ngga, ibuk akan tetep ngga suka sama mbak. Kalo mbak masih pengen ngejar pengakuan ibuk, harusnya mbak bangkit buat sukses. Cuman kesuksesan yang buat ibu bangga dan ngakuin mbak itu ada,"ucap Sandi sedikit keras.
"Tapi paling ngga kan ibuk sedikit bahagia kalo mbak bisa sesuai sama apa yang ibuk arepin dek"ucap ku pelan.
"Apa mbak bahagia dengan keputusan itu?"
Tanya Sandi tiba-tiba. Aku tak mampu menjawab. Hanya mampu menundukan kepala menatap nasi yang tak selera ku makan.
"Huhh....kalo mbak pengen saran Sandi, ok. Saran ku. Buat mbak bahagia dulu, baru mikir kebahagiaan orang. Gimana mbak bisa bahagiain ibuk kalo mbak aja ngga bahagia. Apa nanti kalo ibuk udah ngakuin mbak sama kayak ibuk ngakuin aku anaknya, apa mbak pikir ibuk ngga akan nyesel mbak berenti sekolah karna pengen ibuk bahagia?" tanya Sandi.
Ucapan nya barusan berhasil membuat ku menatap nya lekat.
'Ini adik ku. Yang 3 tahun setengah lebih muda dariku. Tapi pemikiran nya malah jauh melampaui ku.' Batin ku kala itu.
"Pikirkan baik-baik mbak! Masih ada waktu untuk berpikir. Sebelum pendaftaran murid baru di mulai. Saran Sandi, tetep lanjutkan cita-cita mbak untuk jadi orang sukses. Melalui bakat apapun itu."ucap adiku.
Aku hanya diam. Meresapi tiap kalimat yang di keluarkan oleh Sandi, adik ku. Pemikiran nya yang sangat dewasa mampu membuat aku seolah bukan kakaknya.
◇◇◇◇
Aku dan Sandi kembali ke ruangan ayah di rawat. Saat kami hendak masuk, kulihat serombongan orang yang ku kenal di koridor rumah sakit. Terlihat mereka sedang mencari sebuah ruangan.
"Assalamu'alaikum"sapa ku dan Sandi setelah saling pandang sebelumnya.
"Wa'alaikum salam" ucap mereka serentak.
"Kebetulan ketemu kowe ndok. Ini kami para tetangga mau njenguk ayah mu. Tapi bingung cari ruangan nya"ucap pak Agus menjelaskan.
"Ruangan ayah sebelah sana pak. Monggo kami juga mau ke sana!"ucap ku mempersilahkan mereka.
Kami berjalan menuju ruangan ayah. Karena jumlah yang memang tak sedikit, kami tak ubah nya seperti orang yang hendak mengiring penganten yang akan di nikah kan saja. Sehingga membuat para perawat yang berlalu lalang terlihat heran.
Kami sampai di ruangan ayah. Setelah mengucap salam, kami masuk bersamaa. Sebagai anak yang bisa di bilang masih kecil, aku dan Sandi menunggu di kursi tunggu depan kamar.
Untung saja ruangan ayah kelas 2 dan hanya seorang diri. Banyak nya orang di dalam ruangan mungki saja akan mengganggu pasien lain jika saja bed sebelah ayah itu berpenghuni.
Pak Agus menanyakan kabar ayah dan penyebab ayah jadi seperti ini. Ayah menceritakan kronologi kejadian semalam. Kecuali tentang uang tabungan sekolah ku yang juga ikut raib di bawa perampok.
Satu hal yang mungkin tak sempat ku dengar waktu itu. Ternyata kaki ayah yang sebelah kiri pun sedikit cedera. Memang tidak serius, namun cukup membuat nya tidak boleh membawa beban terlalu berat agar kerja kaki ayah tetap maksimal. Betapa terkejutnya aku mendengar hal itu. Hal ini ku dengar ketika ibu yang menceritakan tentang kondisi ayah saat ini.
Aku semakin gusar dengan keputusan ku. Kondisi kaki ayah yang seperti itu, tak mungki ayah gunakan untuk tetap menjadi tukang bangunan. Bukankah itu pekerjaan berat yang harus memikul beban berat pula.
Akan aku bicarakan pada ayah nanti. Di perbincangan selanjutnya, pak Agus bercerita bahwa di sebenarnya iseng saja menyusuri jalan menuju ke kota temoat biasa ayah melintas saat akan pulang menuju rumah kami. Dan saat akan keluar dari desa sebelum hutan, mereka menemukan sepeda motor yang terparkir di pinggir jalan.
Entah kekuatan dari mana hingga mereka berani turun dan melihat motor itu untuk memastikan penglihatan mereka. Hingga akhirnya pak Agus dan kawan-kawan nya meyakini bahwa itu adalah motor milik ayah ku.
"Motor itu di biarkan begitu saja di pinggir jalan sebelum hutan arah ke kampung kita pak. Saya menduga, motor itu sengaja di tinggal oleh perampok itu karena kehabisan bensin,"terang pak Agus.
"Saya rasa ngga mungkin pak. Kalau menurut saya, kemungkinan besar memang bensin itu di ambik dan di tampung di tempat lain agar terlihat bahwa motor itu di tinggal kan karena kehabisan bensin. Sebab saya ingat sekali mengisi tangki full di desa sebelum saya kerampokan itu. Dan jika memang benar daerah yang sampean sebutkan barusan, harusnya saya yang menemukan kendaraan saya terlebih dahulu. Bukan malah berjalan kaki hingga sampai rumah dan membuat kaki saya seperti ini."ucap ayah.
Kami semua yang ada di ruangan itu manggut-manggut mendengarkan penjelasan ayah. Namun pikiran ku menerawang jauh. Kulihat Sandi juga sedang diam entah berpikir atau hanya sedang tak ingin membuka suara saja.
♤♤♤♤♤

Comentário do Livro (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    15d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes