logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

part 16

"Mbak. Bangun mbak!"suara Sandi pagi ini membangunkan tidur lelap ku.
"Iya dek"ucap ku dari dalam.
Aku beranjak turun dari dipan dan segera keluar kamar. Hari ini hari libur. Tapi kenapa Sandi membangunkan ku subuh-subuh seperti ini. Aku ke dapur mendapati nya memasak air di atas perapian.
"Kok tumben bangun duluan dek! Udah masak lagi. Sejak kapan bisa nyalain api"goda ku padanya.
"Ach mbak ngejek aku ya! Sebenarnya Sandi bisa tau buat api apalagi buat masak nasi. Cuman ibu aja ngga pernah ngijinin aku buat masuk dapur. Tahunya aku cuman boleh makan, tidur, sekolah doang"ucap nya sambil cengengesan.
"Alhamdulillah dek kalau emang udah bisa. Biar nanti kalau punya istri ngga semena-mena. Semau nya sendiri"ucap ku menahan tawa.
"Masih jauh kali mbak! Ouw iya. Tadi aku ketemu pak Bambang di depan. Mau ngasih kabar kalau ayah pulang hari ini di antar mandornya. Mungkin siangan baru sampai rumah"ucap Sandi lagi.
"Alhamdulillah. Kalau gitu mbak harus siap-siap ini San. Belanja buat makan ayah sama ibu sekalian sama pak mandor nanti"ucap ku bersemangat.
"Iya mbak. Tapi apa mbak bisa? Kan nanti mbak ada les tambahan buat tes beasiswa bulan depan kan"ucap Sandi.
Aku terdiam sesaat karena baru ingat akan janji les dengan guru pembimbing pagi ini jam 8. Apa sebaiknya aku batalkan saja janji itu? Tapi bagaimana? Rumah guru itu sangat jauh.
"Iya ya dek. Gimana ya? Kalau mbak berangkat, yang masak buat tamu sama ayah nanti siapa? Ngga mungkin kamu kan. Tapi mau mbak batalkan les nya, ngga tau gimana cara hubungi guru pembimbing nya juga"ucap ku dengan nada bingung.
Aku dan Sandi sama-sama terdiam. Lama kami berpikir jalan keluar hingga........
"Gini aja mbak! Mbak sekarang masak, aku tak ke rumah mbak Dina. Pasti mbak Dina punya nomer guru pembimbingnya. Nama guru sampean siapa mbak?"tanya Sandi.
"Pak Hadi dek"ucap ku sumringah.
"Yawes ndang masak buat sarapan. Nanti tak bantu yang untuk jamuan. Aku pulang biar bisa makan"ucap Sandi sambil tergelak.
"Kamu ini. Yawes. Makasih ya dek"ucap ku.
Sandi mengangguk dan segera berlalu meninggalkan tungku. Aku pun duduk menggantikan nya. Ku masak sayur, lauk dan nasi untuk kami sarapan. Setelahnya aku berencana pergi ke tukang sayur yang biasa ada di ujung gang depan sana supaya tak terlalu jauh.
Saat matahari sudah mulai cahaya keemasan nya, masakan sudah tersedia di meja dapur. Ku dengar suara langkah kaki berlari menuju ke dalam rumah.
"Mbak. Semua sudah beres. Tadi mbak Dina emang ngga punya nomornya. Tapi terus sama mbak Dina di sms kan mas Akbar anaknya pak dhe Dirman. Alhamdulillah mas nya punya. Terus akhirnya sama mbak Dina di kabarin gurunya"ucap adik ku menggebu saking senangnya.
"Alhamdulillah. Makasih ya dek. Sekarang mbak juga jadi tenang"ucap ku kemudian.
"Yawes mbak. Ayo makan! Aku sudah lapar"ajak nya.
Ku jawab dengan anggukan kepala dan mengikuti nya menuju meja dapur mengambil makan. Kami makan dengan senang nya karena sebentar lagi akan berkumpul dengan ayah.
◇◇◇◇
Aku sudah belanja di tukang sayur. Segera aku dan Sandi saling bahu- membahu membuat masakan untuk tamu ayah nanti. Aku beli dari uang yang ku kumpulkan dari hasil kerja ku tiap hari libur.
Semoga masih apa yang ku masak juga sesuai dengan selera mereka. Tapi, aku tidak begitu berharap ibu mau memakanya. Ibu tidak pernah suka dengan apa yang ku lakukan untuknya.
Aku masak sayur oseng sawi dan ku gorengkan ikan pindang kesukaan ayah. Tak lupa ayam goreng kesukaan ibu serta telur bulat untuk tamu ayah nanti.
"Wach, mbak. Boleh di makan sekarang ngga ini?"ucap Sandi menggoda dan menahan liurnya.
"Sebentar dek! Belum matang ini lho"ucap ku sambil terkekeh.
Dia pun tertawa. Kami pun melanjutkan acar masak memasak. Aku berharap semua bahan ini sudah matang ketika mereka sampai di rumah.
◇◇◇◇◇
Jam sudah menunjukan pukul 9. Semua masakan hampir selesai dengan sempurna. Ini kalau ibu yang masak, tidak akan sampai selama ini hanya untuk beberapa macam masakan saja.
Ini pun kalau tidak di bantu Sandi, mungkin sekarang masih sibuk membakar kayu di tungku perapian.
Saat tinggal menunggu matangnya ayam goreng tepung, ku dengar suara deru mesin kendaraan memasuki halaman rumah kami. Aku dan Sandi saling pandang.
"Apa mungkin itu mereka mbak?"tanya nya Sandi.
"Kamu ke depan gih! Mbak selesaikan ini dulu"ucap ku.
Sandi berjalan ke depan. Ku dengar suara pelan ayah mengucap salam berbarenga dengan beberapa orang. Ku jawab salam dari dapur pelan. Aku belum bisa meninggalkan masakan ku.
Ku dengar Sandi membantu ayah untuk tidur di kursi panjang rumah kami. Ibu kemudian langsung ke dapur dan melihat ku sedang memasak.
"Ngapain kamu?"tanya ibu masih seperti biasa nya.
"Tania masak bu. Untuk kita semua makan siang. Ibu pasti lelah. Jadi biar ibu bisa langsung makan dan istirahat"jelas ku sambil menunduk.
"Bikin kan kopi satu sama teh manis. Kopinya kasih pak mandor. Teh nya buat ayah mu"perintah ibu masih dengan suara khas cueknya.
"Ibu ingin teh sekalian?"tanya ku pelan takut beliau marah.
"Buat ku bikin kan es teh. Beli es nya dulu sana!"perintah ibu lagi.
"Baik bu"ucap ku patuh.
Ibu kemudian masuk ke dalam ruang tamu. Aku mulai menaruh ayam tepung ke atas piring dan segera mengganti dengan panci berisi air. Tak lama Sandi muncul di belakang ku.
"Mbak. Ibu tadi ngomong apa?"tanya nya.
"Ibu suruh bikin minuman dek. Minta tolong jagakan apinya ya! Mbak mau beli es batu dulu di depan"ucap ku pada Sandi pelan agar tak kedengaran ibu.
"Biar Sandi saja yang beliin. Mbak lanjutkan masak sama lain nya aja. Biar Sandi lewat samping rumah"ucapnya kemudian.
Aku pun berpikir sejenak dan menganggukan kepala. Kemudian segera memberinya uang untuk membeli es batu. Sepertinya ibu sudah duduk di ruang tamu menemani ayah dan pak mandor. Karena ku dengar percakapan mereka dari dapur.
Ku siapkan gelas dan juga segala sesuatunya di gelas. Tak lama Sandi datang dan aku segera memecah est batu itu agar bisa di masukan ke dalam gelas. Ketika semua sudah siap, ku antar kan kopi itu ke depan.
"Monggo pak! Kopi nya"ucap ku santun.
"Makasih ndok"jawab pak mandor kemudian.
"Ayah. In teh manisnya"ucap ku pada ayah pelan.
Ayah hanya mengangguk pelan. Seperti nya beliau masih lemas. Kemudian ku angsurkan segelas es teh pada ibu. Ibu kemudian memberiku isyarat agar masuk kembali ke belakang.
Ku dengar ibu mempersilahkan pak mandor untuk meminum kopi nya. Tak lama kemudian, masih seperti sebelum nya. Ibu masuk ke dapur dan memerintahkan ku untuk menyiapkan masakan yang sudah ku masak tadi ke meja ruang tamu.
Ku laksanakan perintah ibu dengan patuh. Sandi ikut membantu sebelumnya. Namun ku lihat kemarahan di mata ibu. Akhirnya saat kami di dapur, ku suruh Sandi untuk mengambil makan agar dia tidak membantu ku.
Sebenarnya Sandi menolak. Namun ku isyarati agar menurutiku. Akhirnya dia pun mau menuruti ucapan ku. Aku pun melanjutkan aktifitas ku menyiap kan hidangan. Saat semua telah tersaji, ibu memberi ku isyarat untuk langsung masuk lagi ke dapur. Aku pun menurut dengan patuh. Masih sempat ku lirik ayah memejam kan mata dia atas kursi kayu panjang ruang tamu.
Sebenarnya aku ingin duduk di dekat ayah saat ini juga. Tapi sepertinya ibu tidak nyaman melihatku saat ini. Jadilah aku di dapur menemani Sandi makan.
"Mbak ngga makan? Enak lho ayam tepungnya. Apalagi sayur oseng nya"ucapnya sambil mengunyah makanannya.
"Mbak masih kenyang dek. Ouw iya. Nasi lembek yang ada di panci kecil jangan di makan ya! Itu bagian ayah. Supaya ayah mudah makan nya nanti"ucap ku memberi tahu nya.
"Okey mbak"ucap nya.
Aku pun tersenyum melihat tingkah konyolnya. Aku duduk menemani Sandi makan. Beberapa saat kemudian, ku dengar ibu memanggilku. Ternyata mereka sudah selesai makan.
Ibu meminta ku membereskan bekas mereka makan siang. Ku lihat ibu pun ikut makan masakan ku. Semoga aja sesuai sama selera ibu. Ku rapikan dengan cepat dan ku taruh sisanya di atas meja. Ku lihat Sandi pun sudah selesai makan.
Saat semua sudah rapi,tak berapa lama pak mandor pun pamit pulang karena harus segera kembali bekerja. Saat beliau berpamitan, ku lihat ayah masih tertidur.
"Yawes dek. Saya tak balik dulu. Kasno biar istirahat di rumah dulu semingguan. Seminggu lagi tak ke sini buat ngecek udah bisa kerja apa belum"kata pak mandor.
"Inggih pak. Matur nuwun sanget bantuanya. Saya ngga bagaimana nasib kami kalau ngga ada pak mandor"ucap ibuku lembut.
"Sama-sama. Toh dia kerjanya ngga pernah mengecewakan saya. Ndok cah ayu, ini uang jajan buat mu. Terima kasih ya masakanmu tadi. Pak dhe sampek nambah"ucap pak mandor sambil mengangsurkan uang padaku.
Aku bingung. Ku pandang wajah Sandi dan dia terlihat sumringah. Ku lihat ibu dan sepertinya ibu memberiku ijin untuk menerima uang itu. Akhirnya ku terima juga pemberian pak mandor.
"Matur nuwun pak dhe"ucap ku kemudian.
"Iya. Dan ini buatmu le. Jagain mbak mu ini. Dia orang hebat"ucap pak mandor sambil menyerahkan uang juga pada adik ku.
"Nggeh pak dhe. Pasti"ucap adik ku dengan gayanya yang konyol itu.
Pak mandor kemudian menyerahkan amplop putih pada ibu. Setelahnya dia masuk kembali ke dalam mobilnya dan segera melajukan nya menuju jalanan. Kami baru masuk rumah saat mobil pak mandor sudah benar-benar keluar dari gang.
Aku masuk deng segera mendekati ayah. Tak sabar sekali rasanya ingin bertanya bagaimana keadaan nya. Namun ibu menarik tangan ku.
"Ayah mu tidur kena obat. Biar dia istirahat. Jangan di ganggu!"ucap ibu ketus padaku.
Aku pun kemudian diam mematung. Ku pandang wajah ayah memang terlihat sangat pulas. Bahkan ayah pun tak bangun saat pak mandor pamit pulang tadi. Akhirnya ku putus kan hanya duduk diam tanpa suara agar ayah dapat istirahat.
◇◇◇◇◇
Jam menunjukan pukul 1 siang. Aku duduk di dipan teras rumah. Ku dengar suara ayah memanggil ibu. Aku langsung beranjak mendekati ayah.
"Ada apa mas?"tanya ibu yang sudah sampai di dekat ayah.
"Aku lapar. Ada masak apa hari ini?"tanya ayah.
"Aku ngga masak mas. Anak mu itu sudah masak waktu kita pulang tadi. Tak ambilkan dulu"ucap ibu.
Ibu beranjak ke dapur. Aku duduk mendekat pada ayah.
"Ada yang masih sakit yah?"tanya ku pada ayah cemas.
"Ayah ngga papa ndok. Insya Allah juga beberapa hari lagi sudah sehat"ucap ayah menenangkan ku.
"Tania pijitin ya yah?"ucap ku sambil memijit kaki ayah.
Ayah hanya mengangguk pelan. Ibu datang membawa nasi lembek dan sayur oseng juga pindang kesukaan ayah. Ibu menyuapi dengan sabar sementara aku memijit kaki ayah. Ayah makan dengan lahap.
Bahkan beliau memuji bahwa masakan ku enak. Sampai ayah meminta tambah pada ibu yang di tanggapi ibu dengan kekagetan nya.
"Masakan rumah sakit ngga enak dek. Enak masakan rumah"itulah ucap ayah saat melihat ekspresi ibu.
Ibu pun beranjak dan mengambilkan permintaan ayah lagi. Aku tersenyum senang. Bahkan bahagia sekali saat ini. Ternyata ayah sangat suka masakan ku.
◇◇◇◇
Hari berganti. Tak terasa 5 hari sudah semenjak ayah pulang dari rumah sakit. Siang ini, ibu kembali membantu di rumah bu RT memasak. Akulah yang menemani ayah du rumah.
Ayah mengajak duduk di dipan teras. Padahal aku sudah bilang bahwa hawa sedang panas. Tapi ayah memaksa. Akhirnya aku pun hanya menurut.
"Ayah tunggu di sini ya! Tania ambil minum sama camilan buat ayah"ucap ku yang di jawab anggukan kepala ayah.
Aku masuk ke dalam dan mengambil air putih serta pisang rebus. Setelahnya ku suguhkan untuk teman ayah duduk di teras. Aku dan ayah berbincang ke sana kemari. Ku ceritakan sekolah ku dan lingkungan nya. Ku ceritakan tentang Sandi yang sudah pandai masak dan membantu tugas perempuan. Hingga ku ceritakan tentang anak pak dhe Dirman yang satu sekolah dengan ku. Mas Akbar.
Ayah menanggapi cerita ku dengan antusias. Aku senang sekali beliau pun terlihat sudah lebih pulih dari sebelumnya. Hingga akhirnya kami kehabisan bahasan untuk bicara, ku tanyakan sesuatu pada ayah dengan pelan.
"Yah. Maaf Tania mau tanya" ucap ku pelan penuh keraguan apakah ini waktu yang tepat untuk ku tanyakan masalah ini.
"Tanya apa ndok? Tanyakan saja!"ucap ayah sambil mengelus pucuk kepala ku.
"Apakah ayah sakit benar karena Tania?"tanya ku pelan.
"Siapa yang bilang begitu ndok?"tanya ayah ku dengan ekspresi kaget.
Aku yang di tanya hanya mampu menunduk dan tak berani menjawab. Bagaimana mungkin aku katakan bahwa itu adalah informasi dari ibu. Ayah terlihat menghela nafas pelan.
"Maaf harusnya ayah tidak perlu tanya tentang itu. Sudah tentu ibu mu yang mengatakan nya. Jangan khawatir ndok! Ini hanya karena ayah sedang ingin memiliki tabungan untuk kamu saja. Ayah tidak bisa mwmberikan harta selain pendidikan mu. Ayah hanya ingin kedua anak ayah sama-sama bisa menjadi orang sukses. Bukan hanya Sandi yang laki-laki saja. Ayah inginkan kalian berdua sukses dan ngga hidup susah karena ngga berpendidikan. Jadi jangan mikir yang aneh-aneh ya ndok! Anggap saja ibu sedang kesal karena harus menunggu ayah di rumah sakit. Kamu kan tau ibumu tidak suka bau rumah sakit"jelas ayah.
Aku hanya mampu diam. Tapi aku melihat kesungguhan di kedua mata ayah. Jadilah ku sunggingkan senyum ini sedikit supaya terlihat sudah tak memikirkan kata- kata ibu.
Ayah pun tersenyum dan mengacak rambut ku seperti biasanya. Ibu terlihat berjalan tergesa dari kejauhan. Membawa kantong kresek hitam yang lumayan besar. Entah apa isinya. Mungkin makanan. Begitu sampai di teras, dengan pandangan sinis beliau memandang ku.
"Kok di luar mas? Hari sedang panas harusnya kamu di dalam saja. Badan mu juga belum benar-benar sehat"ucap ibu pada ayah lembut, berbeda jika padaku.
"Di dalam gerah. Makanya aku duduk di teras"jelas ayah pada ibu.
"Ouw yawes. Aku cuma nganter makan siang. Mau langsung balik lagi karena belum selesai"ucap ibu seraya berlalu dari hadapan kami.
Aku dan ayah tak lagi menyahuti ibu. Dan benar saja, tak berapa lama ibu pamit pergi. Hari ini bu RT sedang ada tamu spesial. Itulah sebabnya beliau meminta ibu memasak banyak hidangan. Sebenarnya aku ingin ikut membantu ibu. Tapi sepertinya ayah masih harus di temani di rumah.
Aku dan ayah kembali berbincang. Aku bertanya tentang penyebab ibu tidak menyukai ku. Namun seperti biasa, ayah hanya berkata bahwa tidak ada seorang ibu pun di dunia ini yang tidak menyukai anak kandungnya.
Aku hanya mampu menghela nafas mendengar penjelasan ayah yang sebenarnya sangat ku pertanyakan itu.
◇◇◇◇◇
Ini adalah bulan baru bagi kami para pelajar. Tak terasa ujian sudah mulai terlihat mendekat di depan mata. Ayah baru saja kembali bekerja kemarin.
Sebenarnya, berat membiarkan ayah pergi bekerja setelah sakitnya kemarin. Tapi bila ayah tidak bekerja, apa yang akan kami makan. Bagaimana dengan sekolah ku juga. Semoga saja ayah selalu sehat. Do'a ku tak kan pernah putus untuk mu ayah.
Pagi ini kurang menyenangkan untuk ku. Ibu sudah marah-marah pagi sekali. Hanya karena aku terburu-buru berangkat ke sekolah sehingga tidak sempat membantunya memasak dan menyiapkan air di kamar mandi. Bahkan aku sampai tak sempat sarapan.
Padahal adik ku Sandi masih ada di rumah tadi. Sebenarnya ingin sekali langsung mengerjakan apa yang ibu permasalahkan. Tapi apa daya, aku sudah sangat terlambat. Jadilah aku hanya mengucap salam setelahnya pergi. Di tengah gerutuan ibu yang terdengar seperti teriakan di telinga ku.
Sahabat ku Dina lah yang membuat ku semangat untuk tetap berangkat ke sekolah. Dia mengingat kan ku agar tetap semangat demi ayah ku yang bekerja keras untuk sekolah ku. Syukur sekali aku punya sahabat sepertinya.
Kami masuk kelas bertepatan dengan guru bimbingan keluar dari ruang guru. Aku dan Dina segera berlari dan segera duduk di bangku kami. Nafas kami memburu saking buru-buru nya.
♤♤♤♤

Comentário do Livro (70)

  • avatar
    RiahMariah

    mantap ❤️

    15d

      0
  • avatar
    ComunitiAfif

    tapi

    27/07

      0
  • avatar
    VitalokaBunga

    aku malas baca

    01/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes