logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 8 Nostalgia

Landscape Galery.
Tempat Kirara dan Davin bertemu satu tahun yang lalu. Pertemuan yang disatukan karena hobi, Kirara dan Davin sama-sama menyukai fotografi, sama-sama suka dengan kamera dan sama-sama suka memotret.
Berawal dari sebuah bingkai potret favorit, mereka pun mengobrol dan saling mengunggulkan kelebihan tokoh-tokoh fotografer favorit mereka.
Kirara yang berpikir pertemuan itu hanya akan menjadi angin lalu, begitu terkejut ketika Davin dengan terang-terangan mengakui kalau pria itu mengikuti dirinya, kemudian mengajaknya untuk makan siang bersama.
“Pffft!”
Davin refleks menoleh ke arah Kirara yang sedang menutup anggun bibirnya dengan kepalan tangan. Dahinya pun mengerutkan samar, penasaran mengapa Kirara tertawa ketika dirinya sedang menjelaskan tentang sebuah potret milik Mary Ellen.
“Aku baru tahu, kalau cara menjelaskanku itu lucu?”
Tangan Kirara mengusap ringan pangkal lengan Davin. “Ah, sorry Vin. Nggak lucu kok. Aku cuma lagi teringat waktu kamu ngajakin aku makan siang dulu, tempatnya di sini, bukan?” jelasnya.
Pria bercelana levis itu mengedarkan cepat pandangannya ke sekeliling sambil menghembuskan napas dari mulut dan hidung.
“Benar, di sini dan itu adalah kenekatan terbodoh pertama seumur hidupku, tapi aku sama sekali nggak menyesalinya,” timpal Davin. Tangan yang berada di dalam saku pun terulur untuk mendorong dan menyelipkan beberapa helai surai kekasihnya ke belakang telinga.
Selang berikutnya, Kirara memegang dan menggantungkan tangannya ke lengan Davin yang terulur ke arahnya itu. Membuat kedua mata mereka jadi saling tertaut. Tatapan yang semakin melekat hangat diiringi dengan seuntai senyuman. Pikiran mereka sama-sama pergi ke masa lalu.
Wanita berompi gading itu memang sengaja memilih dan datang ke sini hanya untuk mengulang kenangan berharga mereka.
Apa benar, hanya untuk mengulang kenangan? Atau merasa bersalah karena selama ini terus berlaku setengah hati pada Davin?
Entahlah ... Kirara juga masih membutuhkan waktu untuk menelaah perasaannya ini. Apakah saat ini dia sedang ingin membayar kebaikan Davin atau benar-benar ingin mengubah sifat setengah hatinya itu dan membuka hati sepenuhnya untuk sang kekasih?
Kemarin, sekali lagi Kirara benar-benar memikirkan permintaan Kalea dan juga, apa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya. Pun dia sudah merefleksikan diri, tentang bagaimana bisa dia bersikap seperti itu pada kekasihnya? Davin juga pasti bisa merasakannya.
Kirara benar-benar merasa bersalah pada Davin. Dia lupa pada niat hati ketika menerima perasaan Davin, yaitu berusaha untuk membuka hatinya.
Namun yang dia lakukan selama ini hanya memikirkan bagaimana Davin dan Cherry bisa cocok dan nyaman satu sama lain, lalu membalas kebaikan Davin yang sudah memberikan mereka cinta. Hanya membalas, bukan membuka hati. Benar-benar jahat ... dirinya.
“Kamu tahu, seberapa kagetnya aku waktu itu? Saat kamu tiba-tiba muncul lagi di depanku? Senyum manis kamu waktu itu, justru buat aku merinding,” oceh Kirara di akhiri dengan tawa renyah. Namun, pelan.
“Aku minta maaf sudah membuatmu nggak nyaman waktu itu,” sambar Davin, pancaran matanya menunjukkan kalau dirinya menyesal.
Kirara menggeleng pelan sambil membawa turun tangan Davin dan menggenggamnya. “Hei, santai saja ... aku cuma mau mengingat kembali pertemuan pertama kita.”
Dua mata Kirara refleks terpejam saat Davin mengecup sayang keningnya.
“As you wish. Ingatlah sebanyak yang kamu mau, walau aku pribadi sangat malu untuk mengingatnya lagi.”
Kirara menarik manja tepi jaket Davin yang tidak di ritsleting. “Malu? Bukannya tadi kamu bilang nggak akan menyesal melakukan itu, hm? Kenapa sekarang bilang malu?”
Mendengar itu, Davin malah terkekeh pelan sambil memasukkan dua tangannya ke saku celana. Davin pun berjalan pelan ke sisi dinding lain yang menggantungkan bingkai potret berbeda. Kirara turut mengekori kekasihnya.
Sebuah fotografi milik Jean G, selalu tampil memukau untuk mereka. Meski sudah pernah melihatnya, sepasang kekasih di sana tetap mengagumi karya itu.
“Aku memang nggak menyesalinya, tapi aku juga mengakui kalau itu adalah tindakan yang sangat memalukan untuk pria seumurku. Maksudku, tahun lalu aku bukan pria delapan belas tahun yang melakukan pendekatan seperti anak remaja.” Davin menghadap sempurna pada Kirara. Menatap sang kekasih dengan penuh kasih sayang.
“Diam-diam mengikuti dan memotret kamu dari kejauhan, seperti penguntit. Dulu, aku cuma berpikir kalau aku nggak mau melepaskan kamu begitu saja. Bagaimanapun caranya, aku mau mengabadikan kamu sebanyak mungkin ke dalam kameraku. Semua itu supaya aku bisa terus mengingatmu meski kita sudah berpisah, tapi kemudian ... aku jadi serakah dan nekat menebalkan muka untuk mengenalmu lebih jauh,” lanjut Davin, pikirannya menerawang di mana ketika dia memotret Kirara yang begitu serius melihat foto-foto di galeri. Entah mengapa, saat itu Kirara terlihat indah di matanya.
Cinta pada pandangan pertama, itulah yang Davin rasakan satu tahun lalu.
“Ow ... manis sekali kamu, Vin,” timpal Kirara, jujur saja hatinya merasa tersentuh sekaligus malu. Ini pertama kalinya dia mendengarnya. Alasan mengapa Davin begitu berani--ralat-- begitu memaksa dirinya untuk makan bersama bahkan meminta nomor ponselnya dengan berbagai alasan.
Saat itu sebenarnya, dia sudah berniat ingin melaporkan Davin. Bagaimana tidak? Dia benar-benar panik dan takut ketika Davin mengaku secara terang-terangan, kalau pria itu telah mengikuti dan memotret dirinya selama satu jam lamanya, lebih tepatnya saat mereka sepakat untuk menyudahi perbincangan impuls tentang karya Marry Ellen.
“Benarkah? Kalau begitu, aku tarik kata-kataku yang mengatakan malu itu.”
Kirara hampir saja meledakkan tawa di sana. Melihat ekspresi percaya diri dan tidak tahu malu Davin itu sungguh menghibur. Dia jadi teringat pada perkataan Kalea, yang melabel Davin sebagai pria tegas dan dingin di kantor.
Ingin bertanya, tetapi Kirara urungkan. Dia sadar itu semua adalah hal yang wajar. Semua orang pasti memiliki sisi kepribadian yang lain, bukan? Seperti dirinya ... kekasih yang memperlakukan pacarnya setengah hati.
“Oh ya, sahabatku bilang kamu itu sangat kejam dengan bawahanmu.”
“Sahabatmu, maksudnya Bu Alea?” timpal Davin, membuat Kirara mengangguk.
Davin memang selalu memanggil Kalea dengan embel ibu. Pria itu bilang harus menghormati istri dari owner tempatnya bekerja. Karena hal inilah, Kalea menambahkan label kalau Davin juga pria yang kaku.
“Dia juga cerita tentang ketegasan kamu yang tanpa ampun itu, sampai-sampai hampir semua karyawan di Keast mengenalmu dan menjuluki kamu sebagai manager yang menyeramkan. Tidak punya belas kasih,” lanjut Kirara dengan tampang serius.
Tidak ada maksud untuk mengadu ataupun mengorek dua kepribadian Davin yang berbeda itu. Kirara hanya ingin lebih mengenal Davin dari mulut pria itu sendiri, bukan dari orang lain. Belum terlambat untuk dirinya berubah, iya ‘kan? Dia sadar, kalau selama ini hanya Davin yang terus berusaha untuk mengenal dirinya.
“Dia benar, aku memang seperti itu di kantor. Bagaimanapun aku harus tegas kalau itu menyangkut pekerjaan. Kamu mengerti maksudku, kan? Semacam tanggung jawab,” lanjut Davin seraya mengubah tangannya menjadi bersedekap dada.
“Sekarang, aku mau tahu. Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Davin sungguh tidak menyangka mereka membicarakan dirinya. Cukup senang sebenarnya, tetapi juga ada sedikit kekhawatiran. Semoga Kalea membicarakan hal baik tentangnya pada kekasihnya ini.
“Ah ... nggak ada yang serius.” Kirara menggaruk singkat dan pelan dahi yang tak gatal itu. Dia tidak mengira Davin akan melontarkan balik pertanyaannya. “Aku cuma mau mengenalmu lebih dalam lagi.”
Davin membisu menyembunyikan detak jantung yang tiba-tiba berdebar hangat. Mengaku bahwa kekasihnya ingin lebih mengenal dirinya ... bukankah ini pertanda baik? Jika bukan di galeri, mungkin dia sudah akan menggendong Kirara.
“Terima kasih, Ra.” Davin memeluk Kirara, hanya ini yang bisa dia lakukan di tempat ini. Meski rasanya tetap kurang pantas karena di sini bukanlah galeri yang memajang hal-hal berbau romansa. Biarlah, Davin sudah terlanjur senang.
“Walaupun kamu bilang nggak ada yang serius, tapi ... boleh aku menganggapnya serius?” lanjut Davin membuat Kirara membeku kaget dengan pelukan dan ucapan yang tiba-tiba ini.
Sebesar apa cinta Davin kepadanya? Sampai kalimat itu saja sudah begitu membuat pria ini bahagia seperti ini?
Kirara akhirnya mengangguk, dia menyetujui keinginan Davin yang mau menganggap kata-katanya itu serius.
Mendapat persetujuan, Davin pun semakin mendekap erat tubuh Kirara, menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher jenjang sang kekasih, kemudian menyesap dalam-dalam wangi yang baginya sangat memabukkan ini.
“Em, Vin ....”
“Jangan tinggalin aku, Ra.”
Napas Kirara tersekat. Sekarang dia harus bilang apa? Dia memang tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Davin, tetapi ... masa depan tidak akan ada yang tahu, bukan?
Dia sudah menyaksikan langsung berbagai macam keanehan cinta. Sahabatnya yang begitu mencintai Alvino, tiba-tiba mencintai pria yang dijodohkan oleh orang tuanya. Juga, Alvino yang masih mencintai Kalea, bisa dengan mudahnya mengatakan ingin membangun rumah tangga bersama dengan dirinya.
Cinta itu tidaklah aneh, tetapi menakutkan.
Davin membuang napas perih, menunggu Kirara yang tidak kunjung menjawab. Tidak apa, pertanyaan itu adalah bagian dari keegoisannya saja. Masa depan masih belum bisa diketahui. Oleh karena itulah, setiap detiknya Davin akan berusaha untuk lebih mencintai Kirara. Agar masa depan tidak berubah menakutkan. Dia harap, Kirara juga akan melakukan hal yang sama.
“Vin ....”
“It’s okay. Nggak perlu kamu jawab, sayang.” Davin melerai dekapannya. Membuang cepat pandangan ke sekeliling, ternyata banyak yang menonton aksi mesra mereka. Ini memalukan, tetapi juga menyenangkan. Meski pertanyaan dari keegoisannya tidak mendapatkan jawaban.
“Biar aku ganti pertanyaannya, boleh?” sambung Davin.
“Apa itu?”
“Tentang kamu yang mau lebih mengenalku, aku harap itu adalah pengakuan dirimu yang mau memperdalam hubungan kita ini, maksudku ... setidaknya kamu sudah mempertimbangkan hubungan kita untuk ke tahap yang lebih serius, bukan?”
Iris cokelat gelap Kirara bergerak samar, masuk melekat ke dalam mata aswad kekasihnya. “Ya, aku sedang memikirkannya,” ungkap jujur Kirara diakhiri dengan senyum tipis cantiknya.
Davin ikut tersenyum, dia mengelus sayang pipi Kirara. Perih hatinya kembali menghangat, bahkan lebih hangat dari sebelumnya, sampai dia merasa, dadanya ingin meledak.
“Terima kasih.”
Bahagia? Sangat. Mungkin inilah sebab dirinya merasa ada yang berubah dari Kirara. Sejak bertemu tadi, Kirara jadi lebih sering menyentuh dirinya.
Tertawa dan bergelayut manja padanya. Kekasih yang biasanya hanya mengobrol dan tertawa, jika harus menyentuh pun Kirara hanya akan memukul atau mencubit dirinya. Ciuman-ciuman yang terjadi di antara mereka selama setengah tahun ini pun, dia yang melakukannya.
Tidak apa, Davin akan selalu mengerti Kirara.

Comentário do Livro (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    2d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    29d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes