logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 12 Wawancara dan Papah!

“Tolak permintaan itu," tegas Davin.
Tolak? Tentu saja Santi sudah mencobanya. Namun sayangnya dia kalah. Melihat padamnya wajah Davin, Santi pun segera membungkuk dalam, seolah ingin meminta pengampunan sebelum diceramahi oleh atasannya itu.
“Maaf Pak. Saya sudah berusaha menolaknya, tapi mbak Alenna bilang ada hal penting yang ingin dibicarakan.”
Davin mendengus. “Hal penting apa yang dia maksud?"
“Saya kurang tahu, Pak. Tapi ... apa Bapak benar tidak ada hubungan apa pun dengan mbak Alenna?” polos Santi bertanya.
Ingatannya kembali saat Alenna sendiri yang menghubungi Keast dan berbicara dengan kalimat yang siapa pun mungkin akan salah paham, tetapi biarlah ... dia tidak akan melaporkan hal itu pada Davin. Masih sayang pekerjaan.
“Sepertinya kamu sudah lelah sampai berani menanyakan itu padaku,” tegur Davin, tatapan sinisnya membuat Santi tersentak dan menunduk.
Wanita itu pun kembali membungkuk dalam. “Maafkan saya, Pak.”
“Haah, lupakan. Kapan pertemuannya?”
“Jam lima sore ini, Pak.”
“What?”
“Hanya di jam itu saja mbak Alenna ada waktu, Pak. Ke depannya beliau akan ada jadwal ke luar kota,” sambung Santi cepat. Sebelum Davin menyuruhnya untuk mengatur ulang janji itu, lebih baik dia katakan langsung alasan kuat ini.
Davin mendebas, dengan cepat melirik arloji tangan dan menimbang waktu. Dia ada janji dengan Kirara jam lima sore ini. Mereka akan makan malam bersama Cherry.
“Baiklah, aku akan menemuinya. Tempat wawancara di agensinya, ‘kan?” putus Davin, dengan sangat menyesal dia memilih untuk mengundur waktu makan malam mereka. “Setelah ini aku harus segera menghubungi Rara,” lanjut Davin bermonolog dalam hati.
Santi menggigit sedikit bibirnya. Tugasnya ini benar-benar berat. Rasanya ingin segera keluar dari sini!
“Maaf, Pak. Bukan di Staryone, tapi di restoran La pasta, ruang VIP. Sekali lagi, saya mohon maaf, mbak Alenna sudah membooking itu, Pak. Jadi, saya tidak bisa menolaknya.”
Inilah yang membuat Santi mengira kalau Davin dan Alenna itu saling mengenal. Alenna bilang, sudah lama tidak mengajak Davin makan malam. Jadi, dia sudah memesan tempat di La Pasta, restoran italia yang terkenal di Jakarta.
***
Suasana jalan yang padat merayap. Ini sudah hampir jam setengah enam, janji temu dengan Alenna jadi sedikit terlambat--ralat--sangat terlambat. Namun, Davin sudah mengantisipasinya dengan menyuruh Santi untuk menghubungi Alenna dan mengatakan kalau dirinya terjebak macet.
Wajah Davin kian membeku, dirinya sangat gugup sekarang. Dua manik aswadnya memandang gelisah kendaraan roda empat dan roda dua di depan mobilnya.
Keluar dari jalan tol malah menemukan kemacetan seperti ini. Padahal berniat mempersingkat waktu, tetapi justru malah sebaliknya.
“Emh ....” Suara leguhan bening dan rendah terdengar. Davin melirik ke belakang melalui kaca panjang yang bertengger di atas.
“Cherry bangun, ya?” tanya lembut Davin. Atensinya terpecah dua.
“Em, mungkin? Tapi sepertinya dia masih ngantuk, merem lagi,” sahut Kirara seraya membenarkan kepala Cherry yang ada di pangkuan.
Putrinya ini sudah terlelap sejak mereka menjemputnya di DayCare. Dibangunkan pun tidak kunjung sadar, mungkin Cherry lelah bermain, begitu kata ibu pengasuh DayCare.
“Apa nggak sebaiknya kalian aku antar pulang saja? Kasihan Cherry, tidurnya jadi kurang nyaman,” timpal Davin cemas. Ini sudah yang ketiga kalinya dia menawarkan hal ini.
Lagi-lagi bilang begitu, pikir Kirara. “Menyuruh kami pulang agar kamu bisa makan malam bersama dengan artis cantik itu, begitu? Maaf ya, Vin. Walau kami merepotkan, tapi aku tetap nggak mau memberikan sekecil kesempatan buat kamu berselingkuh.”
Davin menghela napas, dia senang. Sungguh. Mendapati kekasihnya cemburu seperti ini ... ini adalah yang pertama kalinya. Namun di sisi lain, hatinya juga terasa berat. Davin tidak suka dengan kata selingkuh yang diucapkan Kirara. Rasanya, seolah dia memang bertemu dengan Alenna itu untuk berselingkuh.
Salahnya yang terlalu jujur menceritakan kalau wanita muda tersebut mau berbicara pribadi dengannya. Kirara yang awalnya memilih menunggu di rumah jadi mengubah niat dan memaksa ikut.
Hal inilah yang membuat Davin tegang, cemas dan gelisah. Dia tidak tahu apa alasan Alenna memilih wawancara dengan cara seperti ini. Semakin diingat dan dipikirkan, Davin yakin tidak pernah bertemu ataupun bertatap muka dengan wanita itu, kecuali melihat Alenna di televisi.
“Ra, aku bertemu untuk pekerjaan, bukan untuk berselingkuh. Lagi pula, nggak berniat jadi pria berengsek.”
“Vin, ada Cherry,” tegur Kirara, mengatakan kata kasar itu tidak baik jika terdengar oleh putrinya.
“Ah, sorry, Ra.”
"It's Okay."
Diam-diam Kirara mengulum senyum. Dia tahu itu, kalau Davin bertemu hanya untuk pekerjaan bukan selingkuh.
Justru dirinya yang harus dipertanyakan, karena sampai saat ini, dia belum menceritakan perihal kedatangan Alvino ke kantornya kemarin dan tentang Alvino yang sudah mendapatkan nomor ponselnya. Kirara belum menemukan waktu yang tepat. Rencana akan membicarakan itu malam ini, tetapi karena Alenna ... dia jadi harus menyembunyikannya lagi.
“Em ... mah?” panggil Cherry dengan suara sedikit serak. Tangan kecilnya mengusap mata. Perlahan Cherry membuka mata, rasanya segar. Dia sudah sangat cukup tidur bahkan mungkin lebih.
Mendengar suara Cherry, Davin kembali mengintip dari pantulan kaca, kemudian tersenyum. Baru ingin menyapa, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi, dengan segera Davin mengaktifkan Handsfree bluetoothnya.
“Morning, honey,” sapa Kirara, memang seperti ini sapaan di antara mereka. Apa pun warna langit, jika baru bangun dari tidur maka akan di sapa seperti itu.
“Molning ... em, kita mau ke mana, mah?” kembali anak itu bertanya setelah memastikan bahwa dirinya memang tidak salah merasakan, kalau dia sedang berada di dalam mobil.
Cherry pun dipangku dan disandarkan ke tubuh Kirara.
“Kita akan makan malam di luar, sayang,” jawab Kirara, tangannya mengusap poni Cherry ke belakang.
“Ah!” Dua kelopak mata Cherry membulat, kemudian mengalungkan dua tangannya ke leher sang ibu. Menarik Kirara sampai dirinya bisa berbisik. “Apa Celly boleh katakan itu, sekarang?” bisiknya.
“Tentu, tapi kalau paman Davin nggak setuju. Kamu nggak boleh memaksanya, oke?”
Cherry mengangguk mantap. “Eum! Celly janji! Telima kasih Mah!” soraknya senang.
Kemarin, Cherry kembali menceritakan tentang apa yang terjadi di sekolah dan juga di DayCare. Topik ayah kembali muncul seolah itu adalah cerita yang harus Cherry konsumsi setiap hari dan karena sudah terlanjur berbohong di DayCare, teman Cherry yang waktu itu melihat Davin jadi menyebarkannya pada anak-anak lain. Terpaksa, Cherry pun membenarkan.
Oleh karena itulah, Cherry meminta izin pada ibunya.
“Tidak, mungkin lima menit lagi kami akan sampai,” ujar Davin berbicara formal pada orang yang menghubunginya.
“Bukan sudah bertemu, tapi aku membawa keluargaku. Sudahlah, cepat sampaikan itu padanya.” Davin pun menekan tombol kecil dan melepas handsfree bluetoothnya.
“Papah!” seru Cherry, anak itu sontak berdiri di belakang kursi dengan kedua tangan yang menggapai dan mengalung di leher Davin.
Suara nyaring yang bersemangat itu membuat Davin tersedak. Dia cukup kaget mendengar Cherry memanggilnya papah dengan begitu lantang.
Kirara malah tertawa geli mendapati reaksi Davin yang seperti itu. Awalnya, Kirara nampak keberatan dengan Cherry yang meminta memanggil Davin dengan sebutan papah.
Bagaimanapun, masa depan itu sebuah misteri yang tidak bisa ditebak. Akan tetapi, Kirara juga tidak tega jika tidak mengizinkan. Seperti kata Davin, jika saja Cherry memiliki ayah, tentu anak itu tidak akan berbohong.
Empat puluh lima menit berlalu ... kini mereka sudah sampai di tempat tujuan. Kirara dan Davin masuk ke dalam restoran bersama dengan Cherry yang sedang mereka tuntun.
La Pasta. Gedung berlantai dua yang megah nan elegan dengan dominasi warna putih bercampur dengan sedikit sentuhan warna merah. Dekorasi yang terlihat kental dengan negara Italia.
Gadis kecil itu nampak kagum. Ini adalah pertama kalinya dia makan di luar dan di tempat mewah seperti ini. Langit-langit yang menjulang jauh ke atas dan lampu indah yang menggantung. Jujur saja, Cherry agak sedikit cemas melihat lampu besar di sana. Takut jatuh dan menimpa orang.
"Vin, berhenti tersenyum," tegur Kirara. Melirik pada pelayan yang menghampiri dan memandu mereka ke meja kosong.
Sejak Cherry memanggil Davin 'papah' di mobil tadi, kekasihnya itu jadi enggan menurunkan lengkungan bibirnya. Kirara sampai tersipu dibuatnya.
Bukan malu karena tingkah Davin yang seperti itu, tetapi dia malu karena hanya sebuah panggilan seperti itu saja sudah membuat pria-nya begitu senang. Begitu sederhana sosoknya itu.
Karena ini pula, Kirara jadi bisa melihat, sedalam apa rasa sayang Davin pada mereka berdua. Haruskah dirinya mengatakan telah siap untuk bersanding dengan Davin?
Awal mereka jadian ... sebenarnya Davin langsung mengajak Kirara untuk menikah, tetapi Kirara menolak dan ingin mereka berpacaran dulu. Alasannya ingin mengenal lebih jauh, meski saat itu mereka sudah berteman selama satu tahun lebih.
Davin pun tidak bisa memaksa, gelar kekasih itu lebih baik ketimbang ditolak dan tetap menyandang gelar teman.
"Kenapa harus berhenti? Aku mau semua orang di sini tahu, kalau aku sedang senang, Ra," balas Davin. Memandang dan tersenyum hangat pada Kirara.
Kirara menggeleng. Dia menyerah. "Terserah kamu, deh. Oh ya, di mana tempat pertemuan kamu?"
"Ruang VIP 3. Nanti habis memastikan kamu dan anak kita aman di meja makan, aku akan ke sana."
Wajah Kirara mengerut geli. Anak kita? Lagi-lagi Davin mengatakan itu. Ingin mendebat pun rasanya tidak tega. Davin benar-benar terlihat bahagia.
"Celly mau duduk di sini! Pah!" seru Cherry.
Mereka berada di meja dekat tangga kayu yang terhias bunga kecil di beberapa anak tangga.
"Siap! Sini duduk, anak manis, Papah." Davin mengangkat Cherry untuk membantunya duduk di kursi.
Tidak bisa dipungkiri, hati Kirara menghangat melihat itu. Davin dan Cherry terlihat sangat dekat. Tidak akan ada yang mengira kalau mereka bukanlah ayah dan anak.
Kirara memanggil pelayan yang berdiri tidak jauh dari sana, dengan isyarat tangan. Memesankan makanan untuknya dan Cherry.
"Vin, kamu mau pesan apa?" tanya Kirara.
Davin yang sedang berbicara dengan Cherry langsung mengalihkan atensinya pada Kirara. "Aku nanti saja, Ra. Setelah urusan pekerjaan selesai."
"Papah mau ke mana? Nggak makan baleng Celly?" tanya Cherry, bibirnya sudah menurun. Kaget dan sedikit kecewa mendengar mereka tidak bisa makan bersama.
Kirara yang sudah memesan, langsung melipat buku menu dan mengembalikan pada pelayan tanpa melihat ke arah pria berseragam merah itu. Matanya sibuk melekat dengan tatapan Davin.

Comentário do Livro (328)

  • avatar
    GustiRaden

    terbaik

    1d

      0
  • avatar
    312Nurisah

    seruuu

    28d

      0
  • avatar
    KurniadiAbsallom

    terbaik

    18/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes