logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Kedatangan Gadis, Si Biang Kerok

Arini dan Brandon
Mobil sedan keluaran BMW terbaru berwarna biru memasuki pekarangan keluarga Harun di kawasan Menteng Dalam. Sebuah rumah mewah yang berukuran besar, namun sayang hanya dihuni oleh kedua orang tua Brandon.
Kening Iin berkerut mematut sebuah mobil yang tak pernah terlihat di rumah itu sebelumnya.
“Mobil siapa ya?” desisnya.
Bran mengangkat bahu. “Nggak tahu. Baru nongol juga tuh.”
Begitu mobil berhenti dengan sempurna, Brandon keluar terlebih dahulu. Dia bergegas menuju pintu tempat Arini duduk. El dan Farzan terlebih dahulu memasuki rumah.
Bran mengambil Al yang sedang terlelap di pangkuan Iin. Setelahnya mereka menyusul ke dalam rumah.
“Ngeeeeng. Arini!!” teriak suara yang sangat akrab di telinga Arini dan Brandon. Begitu nyaring dan lengking.
Seorang wanita berambut pendek mengenakan gaun lengan pendek dengan panjang selutut sedang membentangkan tangan.
“Gadis!”
“Kak Gadis!” seru Bran dan Iin bersamaan sambil menatap tak percaya sosok yang berdiri di hadapannya.
Gadis melangkah cepat ke arah Arini, lantas memeluknya. Mereka saling berpelukan selama beberapa saat.
“Gue kangen banget sama kalian. Udah lama banget kita nggak ketemu,” cetus Gadis—sepupu Brandon—dengan raut wajah sedih.
“Hampir sepuluh tahun ya kita nggak ketemu, Kak,” sahut Arini.
Gadis manggut-manggut melihat Arini dengan tatapan berbinar dan kedua tangan bersedekap di depan tubuh.
“Lo sih. Betah banget di negeri orang bertahun-tahun nggak pernah pulang,” seloroh Bran.
“Habis mau gimana lagi? Laki gue ‘kan orang sana, jadi jarang banget pulang ke Indonesia.”
Lisa dan Sandy tampak melangkah menyusul anak, menantu dan cucu di ruang tamu. Setelah mengalami stroke beberapa tahun yang lalu, Sandy akhirnya kembali pulih seperti semula berkat terapi yang dilakukan.
“El, Farzan,” sambut Lisa memeluk kedua anak laki-laki tersebut.
“Lho, Alyssa tidur?” Sandy melihat cucu perempuannya.
“Iya, Pa. Tadi tidur di mobil pas lagi jalan ke sini,” jawab Arini.
Iin menyerahkan kantong berisi kotak brownies yang dibuatnya tadi malam kepada Ibu mertuanya. “Ini Shiny Crust Brownies yang Mama pesan.”
“Terima kasih, Sayang.” Lisa tersenyum lembut kepada menantunya, lantas memalingkan paras kepada Brandon.
“Alyssa taruh di kamar Mama saja, Bran. Kasihan nanti malah terganggu tidurnya,” saran Lisa setelah berada di ruang tamu.
Brandon mengangguk, lantas mengalihkan pandangan ke arah Gadis. “Ngobrol sama Iin dulu ya, Dis. Gue tidurkan Al ke kamar dulu.”
Bran langsung bergerak menuju kamar orang tuanya di lantai satu. Lisa dan Sandy beranjak ke ruang keluarga bersama El dan Farzan. Sementara Arini dan Gadis duduk di ruang tamu.
“Kak Gadis kapan sampai di Indonesia? Suami dan anak mana?” tanya Arini.
“Mereka di Aussie, Rin. Suami kerja, anak juga sekolah jadi nggak bisa dibawa ke Indo. Nunggu libur dan cuti keburu karatan gue saking kangen sama negeri tercinta,” balas Gadis antusias.
Senyuman masih betah menghiasi wajah Arini, karena bisa berjumpa dengan Gadis setelah sekian lama. Beberapa menit kemudian, Brandon bergabung dengan mereka di ruang tamu.
“Ternyata kalau jodoh nggak bakal ke mana ya,” kata Gadis melihat Iin dan Bran bergantian.
Dia memegang tangan Arini erat. “Salut loh buat kalian. Akhirnya perjalanan panjang membuahkan hasil.”
Gadis berhenti sejenak, lantas mengarahkan telunjuk kepada Bran. “Penantian si Cengeng juga nggak sia-sia, Rin.”
“Penantian?” gumam Arini bingung.
“Bisa nggak stop panggil gue cengeng, Dis?” protes Bran dengan wajah mengerucut, “anak gue udah dua loh.”
Sepupu Bran tertawa ngakak. “Habis susah ganti panggilan, Ngeng. Udah jadi kebiasaan.”
Setelah berhenti tertawa, Gadis kembali melihat Arini lekat.
“Lo tadi tanya penantian apa yang gue maksud, ‘kan?”
Arini mengangguk.
Gadis berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Kakak lo bener, Rin. Tingkat kepekaan lo emang minus sekian, sampai nggak bisa menangkap sinyal yang udah dikasih sama Brandon.”
“Gadis?” tegur Bran keberatan.
“Eh, biarin aja dia tahu sekarang. Toh kalian udah nikah ini,” sergah Gadis mendelik nyalang.
Beginilah mereka berdua kalau bertemu. Berbagai debat selalu menghiasi pertemuan Bran dan Gadis. Hingga dewasa pun tidak ada yang berubah dari mereka.
“Cerita dong, Kak. Jadi penasaran nih,” desak Arini memilih fokus mendengar perkataan Gadis.
“Sebenarnya. Si Cengeng udah lama jatuh cinta sama lo, Rin. Gue sih yakin sejak awal kalian dekat, dia udah ada rasa. Tapi kayaknya gengsi deh buat ungkapkan terlebih dahulu,” tutur Gadis mengerling usil kepada Bran.
Brandon berdeham-ria mendengar perkataan sepupunya itu.
“Sayang, aku lihat Al di kamar dulu ya. Takut bangun.” Bran bersiap untuk kabur dari sana.
“Eits, mau ke mana lo?” Mata hitam kecil gadis melebar melihat Bran. Dia mengarahkan telunjuk ke ruang kosong yang ada di samping Arini. “Duduk situ! Udah nikah juga masih pake jaim segala.”
“Habis lo buka kartu aja, Dis.”
Arini tersenyum jail kepada suaminya. “Tuh ‘kan bener. Kamu udah suka sama aku dari dulu.”
“Lo juga salah sih, Rin. Nggak peka banget jadi cewek.” Gadis menarik napas singkat.
“Coba deh lo pikir-pikir, mana ada cowok yang jagain cewek sampai segitunya kalau nggak cinta. Dia aja yang bego pakai TTM-an dan pacaran sama cewek nggak bener duluan. Eh, ujung-ujungnya mentok sama lo, ‘kan?” cecar Gadis.
Brandon mendesah pelan sambil garuk-garuk kepala. “Oke. Gue akui memang awalnya gengsi buat akui perasaan yang sebenarnya. Takut juga kalau Iin merasa nggak nyaman, karena pasti bakalan canggung ‘kan kalau dia tahu.”
Arini memiringkan kepala sambil menatap serius suaminya. Dia memilih diam mendengarkan perkataan Brandon.
“Waktu kamu nikah, aku pengin utarakan yang sebenarnya, tapi takut,” sambung Bran.
“Takut kenapa?” desis Iin.
“Takut kamu nggak mau. Aku juga berpikir nggak pantas bersanding sama kamu, In.” Bran memandangi netra istrinya lekat. “Kamu tahu maksudnya, ‘kan?”
Gadis mengembuskan napas keras. “Arini juga mau terima lo apa adanya kali, Ngeng. Lo aja yang terlalu banyak mikir. Coba waktu itu lo desak dia buat kabur, pasti mau tuh.”
“Kalau itu nggak bakalan mau, Dis. Orang dia patuh banget sama Papa, anak berbakti ini,” puji Bran bangga sambil memberi kecupan di pipi istrinya.
“Duh, gue jadi iri lihat kalian mesra kayak gini,” komentar Gadis.
“Gue bucin sama dia, Dis. Gimana dong?” Bran menatap nakal Arini.
Arini mencubit pinggang Bran, sehingga membuatnya meringis kesakitan.
“Lo belum cerita gimana kalian bisa sama-sama mengakui perasaan. Cerita dong. Kepo nih.” Gadis mengalihkan pandangan kepada Iin. “Pasti si Cengeng akhirnya yang nembak lo duluan ‘kan, Rin?”
Perempuan berkerudung itu mengangguk cepat. “Tebakan Kak Gadis tepat.”
“Finally, keangkuhan lo runtuh juga, Ngeng,” ledek Gadis usil.
“Gimana nggak runtuh?! Dia paket komplit. Almost perfect. Rugi udah sia-siakan wanita kayak Arini dari dulu,” ungkap Bran.
“Lo sih, Bran. Gue udah berkali-kali bilang waktu itu, tapi nggak didengerin.”
Wanita berambut pendek itu kembali mengangguk. “Tuh sekarang makin cantik pakai jilbab loh. Jadi kepengin juga.”
Brandon merangkul bahu istrinya bangga, sementara Arini menunduk tersipu.
Gadis menepuk kening sambil bergumam, “Astaga, lupa sapa ponakan gue lagi. Udah dua, ‘kan? Namanya siapa?”
“Elfarehza dan Alyssa, Kak,” sahut Arini.
“Parah nih. Saking excited ketemu kalian, jadi lupa sama hasil produksi kalian berdua,” goda Gadis. “Nggak nambah lagi?”
“Penginnya sih nambah, Kak. Tapi Brandon nggak mau.”
“Kasihan, Dis. Dua kali lahiran, gue yang ngilu. Takut banget kehilangan Iin. Cukup dua kali berpisah sama dia, jangan sampai kejadian lagi,” sela Bran bergidik.
Gadis hanya berdecak sambil mengerling usil kepada Bran. “Ya udah, gue mau ke sebelah dulu ketemu sama El. Al lagi tidur ‘kan ya?”
Bran dan Iin mengangguk. Mereka berdua melihat Gadis menghilang di balik dinding pembatas ruangan.
“Gimana kunjungan tadi?” bisik Bran sambil mengelus kepala Iin yang terbungkus kerudung.
“Farzan kayaknya nggak suka ketemu sama Ayu,” balas Iin memelankan suara.
“Oya? Trus reaksi wanita itu gimana?”
Arini mengangkat bahu. “Tadi cuma bilang terima kasih aja karena udah rawat Farzan dengan baik. Trus dia juga minta sesuatu.”
“Minta apa?” Paras Brandon tampak penasaran.
“Dia minta carikan tempat tinggal begitu keluar dari penjara, karena nggak punya siapa-siapa lagi.”
Bran mengusap keras wajah dengan kedua tangan. “Dia ‘kan udah bukan tanggung jawab keluarga kita lagi, In. Nggak bisa dong! Apalagi Farzan nggak tinggal sama dia juga.”
“Tapi dia Mamanya Farzan, Bran. Kasihan Farzan juga nanti lihat hidup Ayu terlunta-lunta,” tanggap Iin coba membujuk Bran.
“Dia nggak peduli juga, In. Selama ini nggak pernah singgung Ayu setelah tahu apa yang dilakukannya, ‘kan?”
Arini tersenyum lembut sambil menatap lekat wajah suaminya. Dia memberi kecupan singkat di bibir Bran.
“Nggak boleh gitu, Sayang. Suatu saat, Farzan pasti bisa menerima Ayu lagi sebagai Ibunya. Dia hanya butuh waktu untuk menerima keadaan.” Iin membelai pinggir wajah Bran. “Kita bantu aja carikan tempat tinggal ya?”
Hati Bran yang keras akhirnya luluh juga setelah dibujuk oleh wanita itu. Arini selalu mampu meruntuhkan dinding keras yang membentengi hati suaminya.
“Ya udah. Kamu punya usul bagusnya dia tinggal di mana?”
“Gimana kalau Yogyakarta? Bali, Lombok?” usul Arini memberikan pilihan.
“Di luar Jakarta?”
Arini menganggukkan kepala. “Biar dia nggak ngerecokin Papa dan Mama lagi, Sayang.”
Senyuman terbit di wajah Bran. “Pintar kamu. Oke, aku coba cari tempat yang jauh dari sini.”
Perbincangan mereka terpaksa berhenti ketika melihat Lisa muncul di ruang tamu. Wanita berusia hampir kepala enam itu duduk di sofa single, berhadapan dengan sofa tempat anak dan menantunya duduk.
“Bagaimana kabar wanita itu?” Lisa memulai perbincangan.
Arini menarik napas panjang, sebelum menjawab pertanyaan ibu mertuanya. “Miris, Ma. Jauh berbeda dari sebelumnya.”
Lisa mengangguk pelan. “Mungkin itu balasan yang setimpal baginya.”
Suasana kembali hening ketika wanita itu memandangi menantu dan anaknya bergantian.
“Mama mau bicara sesuatu dengan kalian. Mudah-mudahan kalian bisa mengabulkan permintaan Mama dan Papa.”
Arini dan Bran saling berpandangan, kemudian kembali melihat Lisa.
“Apa kalian mau tinggal di rumah ini?” Lisa masih membagi tilikan mata dengan Bran dan Arini bergantian. “Rumah rasanya sepi sekali tidak ada Al, El dan juga Farzan. Mama ingin hari tua kami berdua dihiasi dengan canda tawa dengan anak cucu.”
Bran kembali melihat istrinya. Arini tersenyum sambil menganggukkan kepala. Dia tidak tega melihat ayah dan ibu mertua hanya berdua saja di rumah yang besar ini.
“Nanti aku diskusikan dulu sama Iin ya, Ma,” kata Brandon.
“Satu lagi. Mama dan Papa minta Arini bekerja di perusahaan.” Lisa menatap lekat menantu kesayangannya itu. “Sudah waktunya kamu kembali ke perusahaan, Rin. Mau ya?”
Terdengar tarikan napas berat dari hidung Arini. Bran memalingkan paras kepada istrinya, karena tahu persis dia tidak mau bekerja di perusahaan keluarga Harun. Iin tipe wanita yang mandiri, sehingga peluang mengabulkan permintaan itu sangat tipis.
Lisa masih menunggu jawaban dari menantunya. Sementara Iin menjadi dilema. Apakah akan menerimanya atau tidak?
Bersambung....

Comentário do Livro (141)

  • avatar
    WINATA WIJAJAADHI

    ngetot

    01/07

      0
  • avatar
    arya dinda

    novel nya sangat lah bagus dan saya menyukai nya dengan novel ini

    20/05

      0
  • avatar
    IkrimahFani

    baguss

    09/05

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes