logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 5 Jadian

Segera kusalin dua belas angka nomor handphone Bian dari kartu nama. Setelahnya, benda pipih di tanganku menampilkan photo profil seorang laki-laki muda yang memakai kemeja krem dipadu dasi batik dan jas.
Tampan serta tegas, itu kesan yang tertangkap pertama saat melihatnya. Mirip CEO di novel online dan drama salah satu sosmed yang akhir-akhir ini rutin menjadi pelarianku saat gabut..
[Bi, aku udah sampai rumah.
Della]
Tidak ingin membuang waktu, segera kuketik satu pesan dan mengirimnya. Tidak usah basa-basi juga.
[Nah, gitu hubungin aku]
Ya ampun, irit banget balasnya. Nggak nyuruh istirahat, nanya makan, atau apa gitu. Sepertinya dia balas dendam.
Buru-buru aku mengetik hendak bertanya basa-basi. Namun, satu pesan dari orang yang sama mendahului sekaligus membuat heran apa maksudnya.
[Tiga hari lagi aku jemput di kantor kamu]
Tiga hari lagi? Di kantor? Emangnya ngerti alamat tempat kerjaku?
Berarti Senin, pekerjaan yang padat dan bisa jadi ada jam lembur setiap awal pekan itu, membuatku terbiasa pulang malam. Apalagi, kalau bersamaan meeting memenuhi keinginan klien yang seringnya aneh-aneh. Serasa kerja rodi. Hmm, tahu aja nih orang waktu sibuk dan pulang terlambat juga butuh energi tambahan. Traktir makan atau belanja, misal.
[Memangnya ada apa?]
Aku penasaran ingin mencari tahu sekarang.
[KEPO]
Ya ampun, Bian! Gini amat jawabnya!
Aku kembali dibuat sport jantung oleh jawaban mengejutkan itu. Tidak habis pikir dengan laki-laki yang tadi terjebak hujan bersamaku di supermarket. Maunya apa?
Saat mengirim buket, kalimat cinta yang Bian tulis rapi dan lumayan banyak. Begitu bertukar pesan di WhatsApp, satu kata saja nyaris perhitungan. Aku jadi berpikir kalau Bian dulunya orang Pluto yang salah tempat tinggal, terusir dari planetnya, terus pas tinggal di bumi Bian berbagi otak sama Aldin  Makanya aneh sejak pertemuan pertama.
°°°°
"Bi, sebenarnya kita mau ke mana?" tanyaku gusar.
Sesuai perjanjian tiga hari lalu, sore ini Bian menjemputku di kantor. Katanya ingin menunjukkan sebuah tempat istimewa, dan kami sudah dikejar waktu sampai ke sana.
Akan tetapi, hampir dua jam kendaraan roda empat ini melaju, belum ada tanda-tanda tempat yang dituju apa atau daerah mana.
"Enggak ke mana-mana," jawab Bian santai tanpa beralih fokus dari jalan di depannya.
"Maksud kamu?"
"Kita keliling Jakarta sampai kamu menjawab iya pernyataan cinta aku, Della!"
Gila, ini benar-benar tidak masuk akal dan di luar batas pikiran manusia normal. Aku kira Bian mengajak makan di salah satu kafe romantis atau membelikan buku untuk bacaan pengisi waktu istirahat, tidak tahunya cuma muter-muter menikmati pemandangan jalan raya metropolitan. Apa bagusnya? Tidak ada, justru kepalaku  pening seperti gejala vertigo.
"Apa harus sekarang?" tanyaku.
"Iyalah!" balas Bian ngegas.
"Kalau aku nolak, gimana?"
Bian menoleh sekilas dengan senyum misterius. "Kita akan melewati pertigaan, Del. Lurus ke depan sana, sampai di sebuah jurang."
Jurang? Maksudnya gimana, sih? Apa mobil ini mau dibiarkan terjun bebas? Tidak. Aku harus menghentikan pikiran absurd laki-laki di sampingku ini sebelum melewati pertigaan. Daripada dia nekat terus mati konyol bawa anak orang. Aku masih waras kali.
"Bi, maksudnya mobil ini kamu biarin terjun bebas ke arah tebing itu?" tanyaku mulai panik, berharap Bian hanya bercanda alias ngeprank.
"Apa boleh buat, Della!" balas Bian santai.
Semakin panik, aku tidak bisa lagi berpikir keras mencari jalan keluar di tengah situasi seperti ini. Berdoa supaya terjadi keajaiban juga percuma, mobil tetap saja melaju dengan kecepatan sedang melewati ... pertigaan?
No no no!
Beberapa meter di depan sana, sebuah tebing menganga lebar bagai seseorang yang merentangkan tangan menyambut. Deru angin yang menyapu daun-daun kering dari luar jendela bahkan sama berisik dengan mesin Alpard yang membawa penumpangnya menuju jalan kematian paling bodoh. Beneran mau dibawa terjun bebas ke jurang.
"Bian, stop!" jeritku histeris.
Tidak menghiraukan teriakanku, laki-laki mirip CEO novel online ini tetap santai mengatur kemudi mobil supaya terarah lurus siap terjun. Berkali-kali kuguncang lengannya, merespon saja tidak. Salah makan apa sih ya, niat banget ngajak bunuh diri.
"Bian, berhenti, please!" mohonku dengan suara gemetar.
"Santai aja, Della. Sebentar lagi cinta kita akan bersatu di akhirat!" tukas Bian datar.
Akhirat apaan? Memangnya kalau bunuh diri kebahagiaan bisa diraih setelah ini? Ya kalau mau hidupnya tinggal nama, jangan ajak-ajak anak orang, dong. Aku masih punya masa depan, karir, serta keinginan keinginan yang lain. Tidak gila seperti Bian.
Tidak ada pilihan lain, aku harus mengambil sikap tegas agar semua cukup sampai di sini. Melompat dari mobil? Bukan, sudah kutegaskan dari tadi kalau masih ingin hidup.
"Bian, aku nggak mau bunuh diri sama kamu!" Aku mencoba negoisasi.
"Lalu, apa?"
"Aku mau hidup sama kamu!"
Berhasil, Bian seketika menginjak rem sehingga mobil berhenti mendadak tepat beberapa meter dari tebing. Kami lalu saling berpandangan dalam diam. Perlahan tangan kekar itu terulur membingkai wajahku.
"Kamu serius, Della?" tanya Bian masih tidak percaya.
Aku mengangguk. Sebenarnya lumayan terpaksa.
Seketika wajah yang semula diliputi putus asa itu berbinar bahagia, ada perasaan lega terlukis sempurna dari senyum simpul Bian. Gantian aku yang agak senewen.
"Terima kasih, Della. Terima kasih."
Bian hendak memeluk, tapi buru-buru kucegah karena tempat ini seketika memicu perasaan takut berlebihan. Aku harus ngajak pergi sebelum Bian berubah pikiran ngajakin bunuh diri lagi.
"Udah deh nggak usah peluk peluk, suasananya horor tahu!" sungutku kesal.
Bian justru terbahak, perlahan memundurkan mobil sampai melaju kembali di jalan raya yang semestinya. Sedang jantungku masih tahap pemulihan untuk stabil.
"Della, aku tu seneng banget akhirnya perjuangan ini nggak sia-sia. Diterima!" ucap Bian memecah keheningan.
Dasar ngadi-ngadi.
"Perjuangan apa? Kita tadi hampir mati konyol gara-gara kamu, tahu nggak!" sengitku emosi. Mode preman diaktifkan.
"Ya itu salah kamu, bilang iya aja lelet!"
Salah? Mana ada wanita salah. Yang nggak bener itu dia mencintai aku sampai bikin jantungan, maksa diterima pakai cara ekstrim. Dasar saudaranya Aldin.
Kuembuskan napas berat, kemudian mengatakan jujur kalau belum bisa mencintainya sepenuh hati dalam waktu dekat ini. Aku masih harus mengenal Bian lebih jauh, belajar dewasa melalui sudut pandang berbagi pemikiran dengannya. Karena ini pertama kali aku jatuh cinta, dan tidak ingin gagal.
Kupikir Bian marah layaknya laki-laki yang mengedepankan logika sebagai batas kesabaran, dan melakukan cara ekstrim kedua, tapi ternyata tidak. Bian serius mau menunggu sampai kapan pun cinta itu ada.
"Semua memang tidak bisa dipaksa, Del. Nggak apa-apa, yang penting aku diterima jadi pacar kamu.
Del, aku janji akan nunggu kamu, menjaga kamu dari kesedihan sesederhana apa pun," pungkas Bian serius..
Kali ini aku yang berterima kasih, berjanji dalam hati tidak lama lagi perasaan cinta akan tumbuh untuk memenuhi harapan dan keinginan Bian. Dan dia mengangguk, mengecup keningku sebagai tanda setuju, sebelum mengantarku pulang.
Benar-benar jadian yang nggak ada kesan romantis, kan? Tapi, bohong kalau lupa dengan mudah kesan hari ini.

Comentário do Livro (427)

  • avatar
    KeringBatu

    aku suka dengan crita ini

    19/06

      0
  • avatar
    PirahSafirah

    Mantapp

    26/03

      0
  • avatar
    DinanaFiki Ariska

    👍👍👍👍

    06/03

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes