logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 4 Cinta Dan Dering Telepon

Bian kembali mengusap kepalaku lembut, berusaha membujuk supaya aku membiarkan dia pergi. Tidak, Tidak, kalau sampai laki-laki aneh ini nekat pergi jalan kaki di tengah hujan deras, dan terjadi apa-apa, sekali lagi tentu aku yang disalahkan.
Gara-gara aku Bian sakit, gara-gara keegoisanku semesta akan mengutuk. Ini bukan tentang cinta, tapi nama baik dan kasihan.
"Kamu jangan pergi sekarang," ucapku setelah berhasil menguasai diri dan lebih tenang.
"Lalu?"
"Aku--"
Baru saja mengucapkan satu kata jawaban, dering telepon memotong ucapanku. Tentu saja aku lebih mementingkan benda canggih penghubung itu, daripada membujuk Bian. Menaruh belanjaan di lantai, mencari benda pipuh yang menimbulkan berisik terus menerus. Dengan begini aku terbebas dari keharusan mengutarakan cinta, setidaknya sementara.
Entah kelewat gugup atau tadi salah mengambil merk tas tangan, handphone yang biasanya langsung ketemu, mendadak sulit dicari. Sampai lumayan lama dan deringnya mati. Berbunyi sebentar, mati lagi. Seolah mengejek emosiku.
Sekilas terlihat dari ujung mata, Bian yang semula antusias ingin mendengar jawabanku, mengacak rambut frustasi.
Rasain, emang enak!
"Halo, Ma," sapaku setelah menemukan handphone dan menelpon balik.
"Kamu masih di supermarket, kan, Sayang?" tanya Mama dari sebrang sana penuh kekhawatiran. To the poin.
"Iya, Della masih di supermarket. Nanti pulang kalau hujan agak reda, ya, Ma," jawabku.
"Ya sudah kamu hati-hati."
"Siap!"
Akan tetapi, aku buru-buru mencegah Mama yang hendak mematikan sambungan telepon. "Oh, iya, Ma. Tunggu bentar."
"Iya?"
"Boleh nggak habis ini Della anterin teman pulang ..." Aku menatap Bian yang seketika mengerutkan kening kebingungan. "Soalnya motor temen Della ini masih di bengkel depan supermarket."
"Memang siapa teman kamu, Del?"
"Temen kuliah, Ma. Tadi Della ketemu dia pas belanja, mau pulang hujan deras. Terus motornya nunggu perbaikan, antri panjang banget!" jelasku panjang lebar merayu Mama. Sekaligus melebihkan kata 'panjang' di akhir kalimat.
Sementara laki-laki di sampingku ini lumayan ilfil. Ingin bicara, aku selalu memberinya kode supaya diam. Hmm, ini baru permulaan, Bi.
Harusnya Bian itu senang bisa pulang bareng aku, sambil berkhayal diterima cintanya juga. Kok, malah nggak mau. Aku tu kurang baik apa coba.
"Ya sudah, kamu antar dia dulu, terus pulang, Del!"
Eh, iya. Masih nyambung telepon Mama. Kebablasan ngelamun sampai lupa.
"Iya, Ma. Della jalan dulu, ya! Ini hujan udah lumayan reda."
Kuakhiri pembicaraan sepihak, kemudian memasukkan layar sentuh canggih itu ke tas. Tanpa banyak bicara aku menarik tangan Bian untuk meninggalkan teras supermarket dan langsung masuk mobilku.
Hujan baru saja reda, hanya menyisakan gerimis untuk persiapan deras selanjutnya. Mendung masih menggumpal-gumpal hitam, bisa diprediksi hujan susulan nanti akan lebih deras dari sebelumnya. Kalau tidak segera ambil kesempatan pulang, ya akan terjebak lagi di sini. Beberapa pengunjung juga melakukan hal yang sama, tancap gas dengan kendaraan masing-masing.
"Del, terus mobilku gimana? Mau tanggung kamu kalau ilang!" tegas Bian ngamuk.
"Telepon aja orang rumah suruh ambil!" jawabku santai.
"Cewek stress!"
"Tapi naksir, kan?"
Dengan cekatan, Bian langsung memasukkan dua plastik putih belanjaan kami di bagasi, kemudian memutari setengah sisi mobil untuk duduk di sebelahku. Tidak lupa dia menelpon orang kepercayaan rumahnya untuk mengambil mobil.
Aku tidak peduli saat Bian menggerutu menunggu yang ditelponnya datang, menyerahkan kunci mobil pribadi ke orang itu dengan ekspresi terpaksa.yang penting Bian kuantar pulang.
Begitu semua beres dan membayar parkir, aku langsung tancap gas meninggalkan supermarket.
"Maaf, ya, Bi. Jadi nyusahin kamu." Aku mengawali pembicaraan tanpa menoleh dari jalan raya di depanku.
"Terus bohong juga tentang kamu. Soalnya, Mama tu merepet nggak habis-habis kalau aku jalan sama orang  baru," lanjutku.
"Nggak apa-apa, kok. Santai. Aku juga seneng akhirnya diterima," jawab Afdhal ringan. Entah terbuat dari apa manusia satu ini, moodnya cepat berubah.
Aku menatap sekilas penuh tanda tanya. "Diterima? Maksudnya apa?"
"Iya dengan pulang dianterin kayak gini, artinya kamu khawatir dengan keselamatan aku, peduli kalau sakit atau apalah.. Dan itu lebih dari cukup mengungkapkan perasaan yang sebenarnya." Bian menjelaskan seenak otaknya.
Dasar nggak waras!
Ge-er setinggi Monas! Memangnya kalau dianterin pulang, berarti aku nerima cintanya gitu? Belum tentu, aku itu cuma takut efek tidak kuat kalau Bian nekat hujan-hujanan jalan kaki sampai rumah. Ntar sakit, nangis, nyalahin aku.
Kalau masuk rumah sakit gara-gara demam kehujanan, gimana coba! Kan, nggak lucu orang dewasa main hujan terus sakit, dan bilang gara-gara aku nolak cintanya. Itu aja kok alasanku.
Tidak enak menyahut ucapan Bian, aku hanya tersenyum menanggapi. Menepikan mobil supaya leluasa bicara. Mode kalem diaktifkan.
"Bi, please. Jangan memaksa aku untuk nerima kamu sekarang. Aku belum bisa," ujarku serius dengan tatapan lekat. "Tapi, ajarin bagaimana caranya nyaman sama kamu."
Laki-laki di sebelahku ini hanya mengangguk, tersenyum simpul sebagai tanda menyetujui permintaanku. Barangkali sisi hatinya yang lain terluka, tapi demi menghargai aku, Bian sanggup mengalah.
Aku kembali melajukan mobil dengan perasaan lega, beban yang selama ini semakin berat karena menggantung cinta seseorang sedikit demi sedikit berkurang. Ditolak atau diterima itu urusan nanti, yang pasti Bian mau memberi waktu untuk aku belajar. Semoga nggak maksain keinginan.
"Oh, iya, rumah kamu di mana, Bi?" tanyaku sesampainya di persimpangan jalan.
Capek satu mobil sama orang aneh. Jadi, aku harus menghemat waktu juga sampai rumah.
"Belok ke selatan, aku turun di perumahan yang pagar besinya ada ukir-ukiran bunga teratai emas aja, Del!" jawab Bian sekaligus memberi arahan rumahnya.
"Beneran nggak dianterin sampai depan rumah, nih?" tawarku.
Bian menggeleng sebagai tanda penolakan halus. Kalau hujan kembali deras, nanti aku bisa sakit kalau lama-lama di jalan. Begitu alasannya.
Empat menit setelah obrolan kami, mobil akhirnya sampai di tempat tujuan. Sebuah rumah mewah dengan pagar besi yang teralisnya berhias bunga teratai warna emas. Cukup lama aku tertegun usai Bian mengucapkan terima kasih dan berlari-lari kecil masuk perumahan lain dekat rumah itu. Entah kenapa, mendadak perasaan tidak pantas muncul.
Apa benar Bian tidak salah pilih dengan keputusannya? Aku ini gadis manja, membuka pintu gerbang saja enggan dan memilih membunyikan klakson berkali-kali supaya dibukakan, kadang. Dan Bian, sepertinya dia terbiasa mandiri dengan hal apa saja.
Hah, sial!
Sampai di rumah pun aku masih memikirkan Bian. Ingat pandangan matanya, kebersamaan di supermarket juga di mobil tadi, meskipun tidak terlalu banyak bicara. Perasaan yang semula benci menyebut nama Bian, sepertinya berubah drastis ingat dia terus.
Duh, tiba-tiba ingin menghubungi Bian. Tapi dengan apa? Astaga, aku ini kenapa?
Merebahkan diri di tempat tidur, menikmati perasaan campur aduk yang baru sekali ini kurasakan. Menyesal juga sih kenapa tadi tidak minta nomor WhatsApp.
Tetapi ....
Ah iya, kartu nama itu!
Buru-buru aku bangkit dari tempat tidur, menyambar tas tangan yang malam itu kupakai ke resepsi pernikahan Kak Erin, anaknya teman Mama. Mengeluarkan benda apa saja yang berada di sana, sampai mataku menemukan sebuah kartu nama dalam buku harian kecil di antara pecahan uang lima puluh ribu yang terlipat asal.
Yess, ketemu! Ada nomor WhatsApp juga!

Comentário do Livro (427)

  • avatar
    KeringBatu

    aku suka dengan crita ini

    19/06

      0
  • avatar
    PirahSafirah

    Mantapp

    26/03

      0
  • avatar
    DinanaFiki Ariska

    👍👍👍👍

    06/03

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes