logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 3 Gara-gara Hujan

Suasana tiba-tiba mendung, saat aku memarkir mobil di halaman sebuah supermarket. Udara yang tadinya agak panas karena matahari yang mulai meninggi, mendadak dingin oleh angin pertanda hujan turun sebentar lagi.
Sebenarnya kompleks perumahan tempat tinggalku dekat mall, hanya butuh lima belas menit sudah sampai. Namun, entah kenapa hari ini aku ingin suasana lain. Merasakan belanja di supermarket yang tidak begitu luas dan pengunjungnya sedikit saja. Meski harus muter-muter lumayan jauh.
Barangkali mood berantakan juga pemicu tersendiri, inginnya healing, tapi tidak mau capek.
Ya ampun, gerimis. Tapi, ya sudah deh nggak apa-apa, toh bawa mobil. Memasuki teras supermarket batinku terus menggerutu tentang cuaca.
Untung saja aku bisa sat set memilih barang belanjaan di rak, dan pengunjung yang datang tidak terlalu banyak seperti sore atau malam hari di mall. Jadi, leluasa berlama-lama di satu titik. Semoga saja tidak hujan deras di luar sana.
"Hai!"
Seseorang menyapa dari samping, saat aku sibuk memilih parfum. Seketika menoleh, mendapati laki-laki berkaos hijau dengan balutan jaket wardah sedang melakukan hal yang sama denganku. Tangan kirinya juga menjinjing tas belanja yang hampir penuh. Sama lagi.
"Eh. H-hai," balasku canggung. Mendadak otak nge lah, sumpah.
"Kamu kok belanja?" tanya laki-laki itu basa-basi.
"Memangnya nggak boleh? Udah biasa kali," jawabku sambil memasukkan parfum yang biasa dipakai Papa.
"Ya, anak manja kan tinggal nyuruh aja kalau ingin sesuatu."
Aku sekarang beralih ke rak makanan ringan, dan dia tetap mengikutiku, meski tanpa memilih satu pun camilan. Niat banget jadi stalker.
"Nggak gitu juga. Aku biasa kok belanja bulanan seperti ini." Kali ini aku menatapnya lekat. "Cuma kalau sayur dan bumbu dapur, ya enggak pernah."
Aku pikir dia akan seperti Aldin, tokoh utama di novel berjudul Separuhku Kamu yang mulutnya lemes, apa-apa selalu nyinyir. Ternyata tidak, sangat jauh dari ekspektasi
Laki-laki stalkerku ini hanya ber-oo sebagai tanda mengerti. Selanjutnya kami mengobrol ringan sampai tiba di depan kasir dn mengantri. Laki-laki itu yang kudorong menyelesaikan pembayaran lebih dulu, sedang aku bersabar di belakangnya.
Diam-diam mengamati, tampan juga kalau memakai baju harian ya ternyata. Tidak terkesan formal apalagi angkuh seperti malam itu. Eh, pikiranku kenapa, deh!
Beberapa saat menunggu, akhirnya belanjaan laki-laki di depanku selesai dihitung. Dia tersenyum ramah menerima kembalian yang membuat Mbak kasir sedikit salah tingkah. Namun, senyum wanita berjilbab hitam itu lenyap, saat idola dadakan yang tadi sempat mencuri hatinya---mungkin---berbisik padaku.
"Aku tunggu di luar, jangan lama!"
Tentu saja aku mengangguk untuk mempercepat dia pergi.
Selesai dengan Mbak kasir dan barang belanjaan sudah rapi di dalam plastik besar warna putih, aku bergegas ke luar. Mendapati hujan benar-benar deras. Laki-laki itu rupanya juga serius menunggu. Tamatlah aku sekarang.
Duh, bagaimana ini? Pemandangan dari balik pintu kaca yang kukira bohongan, ternyata ....
"Nggak ada kerjaan selain nglamun apa?" Entah sejak kapan dia mendekat, sekarang sudah menepuk pundak mengagetkan.
Untung jantungku kuat tanpa perekat.
"Eh, enggak, kok. Aku lagi lihat hujan, bukan nglamun!" sanggahku berbohong. "Ini gimana bisa pulang cepet?"
"Kalau cuma lihat hujan, tentu kamu tadi dengar aku ngomong apa. Dijawab, bukannya bengong!"
Loh, memangnya tadi bilang apa aja sih dia? Kok, aku nggak denger.
"Memangnya, tadi bilang apaan kamu?" Sambil membenahi ikat rambut, aku bertanya balik menutupi gugup.
"Tuh, kan!" Laki-laki unik itu terbahak beberapa saat. "Dibilang nglamun nggak mau."
Aku semakin merasa tidak enak,serba salah ketahuan sudah berbohong. Dan tatapan mata itu ... sungguh membuat hati yang mudah meleyot ini mendadak baper.
"Hmm, udah deh lupain. Kamu tadi nanya apa, sih?" cecarku gusar.
"Gimana sama buket dan pernyataan aku? Maafnya diterima semua apa setengah"
Astaga, beneran tamat hidupku hari ini!
Aku harus jawab apa, Bestie? Sedangkan buket yang entah terkumpul berapa puluh disertai kartu ucapan itu, jadi taman bunga di kamar Mayra. Selama ini jangankan berpikir nerima maafnya, melihat dia secara kebetulan saja, rasanya tidak pernah. Namun, takdir menentukan hal lain, pertemuan di luar perkiraan.
Gara-gara hujam.
"Harus sekarang ya jawabnya?" tanyaku lagi
Dia mengangguk. "Iya."
Mulutku membentuk huruf o karena kaget luar biasa, dan spontan tangan kiriku menutupnya. Otak benar-benar buntu diajak kerja sama, aku kebingungan harus menjawab apa. Rasanya kayak tiba-tiba ditembak musuh bebuyutan pas zaman sekolah ini tu.
Beberapa menit aku hanya diam, menghela napas berkali-kali sambil menatap hujan, laki-laki di sebelahku juga diam menciptakan hening. Sampai akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya. Kalau tidak ada yang mulai bicara, mana bisa ngerti endingnya.
Siap tidak siap, harus dipersiapkan deh menghadapi ujian cinta. Dadakan kayak tahu bulat yang digoreng dipinggir jalan.
"Sepenting apa semua itu buat kamu? Masalahnya juga sepele."
"Penting banget lah! Kamu pikir nunggu itu enak, Del?"
"Kalau aku belum siap?"
Aduh, padahal siap apaan, ya? Isi kertas di buket aja aku cuma baca dua kali..
"Lalu, sampai kapan aku harus menunggu kamu?" Dia kemudian menggenggam tanganku, sehingga kami berpandangan lekat. "Della, aku bosan terlalu lama menunggu kepastian."
Seperti ada ratusan duri mawar yang seketika menjadi bunga di hati. Ya ampun, aku makin baper, dan dia makin cakep.
"Bi, tolong beri aku waktu," mohonku.
"Untuk?"
Untuk ... untuk apa sih tadi? Mendadak apa yang sudah kupikirkan lenyap, terhipnotis tatapan mata Bian. Ya udah ngarang aja jawabnya.
"Berpikir sekali lagi. Please!"
Yess, akhirnya ketemu alasan yang tepat.
"Terus, kamu akan menolak atau Nerima aku, Del?"
Sama aja dong nagih dijawab sekarang!
"Eh, bukan. Bukan gitu maksud aku. Tapi--"
"Jawab aja sekarang. Apa pun itu aku terima, kok." Bian kemudian melipat sedikit lengan jaketnya, entah bermaksud apa.
"Atau aku akan menerobos hujan itu, dan jalan kaki sampai rumah kamu!" lanjutnya mengancam.
"Ngapain?"
"Ngelamar kamu langsung ke orang tua kamu!"
Tidak, ini bukan sebuah gertakan dan bercandaan ala orang bucin, Bian langsung membawa plastik belanjaan yang tadi dia letakkan di lantai dan tergesa melangkah.
Satu.
Dua.
Aku langsung menggamit lengan laki-laki berwajah tampan lagi keras kepala itu, memaksanya berhenti. Kami lantas berhadapan.
"Kenapa, Del? Khawatir aku sakit?" ujarnya dengan senyum tipis.
Aku mengangguk.
Nekat ke rumahku jalan kak,i dalam suasana hujan deras, drama meluluhkan hati macam apa ini? Terus kalau terjadi sesuatu sama dia gimana? Sakit pingsan misal ... kan, yang disalahin aku.
"Nggak apa-apa," jawab Bian mengusap rambutku. "Aku akan tetap menunggu kamu sampai hancur atau diterima.
"Della, diterima atau enggak cinta aku nanti ... atau entah kapan. Biar hujan ini yang menjadi saksi. Nggak perlu khawatir keadaan aku, sakitnya nggak seberapa, kok." lanjutnya.
Nggak seberapa gimana?
Ucapan Bian yang begitu dalam dengan ekspresi putus asa, membuatku semakin erat menggenggam lengannya. Meski dia berusaha melepas, aku justru menggeleng dengan ekspresi keberatan ditinggal.
Tidak, Bian tidak bisa melakukan ini. Dia tidak boleh sakit apalagi menderita gara-gara aku!
"Del, sudah. Biarin aku pergi. Oke"

Comentário do Livro (427)

  • avatar
    KeringBatu

    aku suka dengan crita ini

    19/06

      0
  • avatar
    PirahSafirah

    Mantapp

    26/03

      0
  • avatar
    DinanaFiki Ariska

    👍👍👍👍

    06/03

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes