logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 2 Penasaran

Entah kenapa, begitu badanku menyentuh kasur rasanya justru tidak ada kantuk sama sekali. Pikiranku melayang ke peristiwa tadi. Tidak jadi mengikuti acara sampai selesai gara-gara gaun kena tumpahan sirup, dikejar seorang laki-laki dan dia meminta maaf sambil memberi kartu nama.
Haduh, cobaan macam apa ini? Benar-benar aneh. Siapa sebenarnya laki-laki itu, ya? Tampan, sih, tapi ... menyebalkan.
Aku akhirnya bangun dan meraih tas tangan, mengeluarkan handphone sekaligus kartu nama berwarna putih. Membaca setiap rangkaian huruf yang membentuk nama serta nomor WhatsApp duabelas digit.
Bian Mahendra
Oh, jadi namanya Bian. Entah kenapa aku jadi bicara sendiri, sambil memasukkan kartu nama ke buku harian. Tidak berniat menghubunginya, apalagi menghafal namanya. Untuk apa?
°°°°
Beberapa hari setelah peristiwa malam itu, aku hampir tidak pernah absen menerima buket. Kadang ditaruh begitu saja di kap mobil, atau dititipkan pada Pak Satpam. Dan, tentu saja sampainya ke aku secara sembunyi-sembunyi, kalau jatuh pada opsi kedua. Mama Papa tidak tahu, karena pasti menimbulkan pertanyaan besar.
Hingga hari ini, tidak sekalipun orang tuaku tahu. Buket itu selalu berjajar manis di kamar Mayra----sepupuku. Entah kenapa, gadis tomboy yang kesehariannya berdandan simple itu, jadi pengagum rangkaian bunga warna-warni. Sesekali mendapat perlakuan manis dan romantisbiar mood baik, kata Mayra.
'Sejak pertemuan di pesta Erina, aku sudah jatuh cinta sama kamu'
~Bian~
Pagi ini, entah yang ke berapa puluh kali buket itu sampai ke tanganku lagi. Tidak berniat membalas, kuletakkan rangkaian mawar buatan beserta selipan kertas seukuran kartu nama di tempat semula. Nanti juga diambil sendiri sama Mayra. Hafal anak itu mah.
Orang tuaku sedang tidak di rumah, jadi aman kalau benda unik dari orang tidak jelas itu tetap di meja teras.
"Buket lagi, ya, Kak?" Mayra langsung menyambar apa yang ada di hadapanku, pandangannya pun sangat antusias. Tuh, kan. Dibilang juga apa.
"Iya," jawabku malas.
"Dari siapa? Bian lagi?"
"Tuh, baca. Kan, ada namanya!"
Segera kutinggalkan Mayra yang sekarang membolak-balik buket sambil berdecak kagum. Belum tahu orangnya sudah lebay, apalagi udah ketemu. Eh, tapi mungkin saja berubah kesal seperti aku. Bisa jadi, kaan. Buket saja yang mahal, pengirimnya belum tentu promax.
"Iya iya, dasar cere ..." Barangkali menyadari aku sudah masuk rumah, Mayra menggantung kalimatnya. Gadis itu buru-buru menyusulku. Dan ....
Astaga, buket itu kenapa di bawa, sih? Bahkan, lebih dari antusias, gadis tomboy itu kembali mengoceh.
"Kak Del, lihat, deh. Coba lihat! Ini buket lebih bagus dari yang biasanya, tahu nggak!" Didekapnya rangkaian mawar yang sekilas diulurkan padaku tadi, dengan mata menerawang. "Ya ampun, pasti yang namanya Bian orang kaya, ganteng, romantis!
"Seandainya buket dari dia itu buat aku ... nggak nunggu lama deh untuk jadi bidadari di hatinya!" lanjut Mayra kian menjadi.
Dasar ganjen!
"Ya udah, ambil!" ketusku.
Aku benar-benar malas membahas Bian lagi dan lagi. Nyebelin banget ini Mayra malah mancing-mancing.
"Kak Della serius nggak mau nyimpen satu aja?"
"Enggak!"
"Kenapa?"
"Ya nggak kenapa-kenapa, Mayra! Cerewet banget kamu!"
"Berarti kalau dia ke sini terus ungkapin cinta ke Kakak, aku aja dong yang terima. Yess!"
Udah, salto aja sekalian daripada meloncat kegirangan gitu. Niat banget cosplay jadi anak paud.
Udah nggak bisa diam, cerewet, norak lagi ini anak! Aku yang terlanjur kesal, semakin panas mendengar pamer seandainya, seandainya. Lagi pula, siapa yang ke sini ungkapin cinta? Memangnya berani berhadapan sama Papa? Kuat ditanya-tanya sama Mama?
Dengan kekesalan akut, aku buru-buru menyeret Mayra ke luar dari rumah, mengusir gadis tomboy yang masih terus menerus pamer kebucinan tingkat pohon toge kepada pengirim buket bernama Bian. Bukan saja telinga yang panas mendengar hal itu, mood juga berantakan.
Biar saja kalau marah, anak kecil paling tahan berapa lama, sih? Lagian berantem, saling ngomel sudah makanan sehari-hari kami. Tom and Jerry.
Setelah Mayra tidak terdengar lagi suaranya, mungkin pulang. Aku kembali terduduk di sofa. Pintu yang sengaja tertutup dari dalam membuatku bingung harus melakukan apa.
Kerja libur, heng out pandemi, ke kantor Papa sama saja hanya duduk memperhatikan hilir mudik orang dengan rutinitas itu itu saja.
Hah?
Mataku membulat sempurna saat melihat kalender, tanggal 28 sudah lewat satu hari. Itu artinya harus sesegera mungkin belanja bulanan ke supermarket, kalau tidak ingin Mama merepet panjang lebar. Di rumah ini yang bertugas mengatur uang dan belanja kebutuhan keluarga, aku. Biar sambil belajar, nggak kaget sewaktu-waktu jauh dari orang tua, kata Mama.
Astaga, kok bisa lupa, sih!
Tergesa aku menaiki tangga dan ke kamar, meraih kunci mobil dan dompet berisi ATM. Tidak lupa handphone, sambil menyambar salah satu tas tangan koleksi Mama. Bodo ah yang mana saja, daripada keduluan Emak-emak super cerewet itu pulang arisan.
Aku langsung mengeluarkan Daihatsu Ayla dari garasi, memacunya perlahan melewati pintu gerbang.
"Pagi, Neng. Berangkat ngantor?" sapa Pak satpam hormat.
"Enggak. Saya mau ke supermarket sekalian jalan-jalan. Nitip pamit ke orang rumah, ya, Pak. Kalau saya pulang telat nanti," Panjang lebar kuberikan jawaban sebelum menutup kaca mobil.
Akan tetapi, gerakanku terhenti karena dicegah Pak satpam.
"Neng, tadi dititipin salam juga."
"Dari siapa?"
"Dari teman Eneng yang malam itu ke sini?"
Dari teman yang malam itu ke sini? Lama aku berpikir siapa, dengan mesin mobil yang spontan kumatikan supaya tidak mengganggu dan menjadikan otak setengah blenk. Namun, karena tidak kunjung menemukan orangnya, satu pertanyaan terkesan mengintrogasi meluncur ringan dari bibirku.
Temanku kan banyak, hampir semua sering mampir ke sini. Memangnya nama yang di maksud Pak Satpam itu siapa?
"Teman saya? Yang mana, ya, Pak?"
"Yang malam itu, Neng. Habis dari pesta, mobilnya bagus banget!" Antusias Pak satpam mengingatkan.
Seketika aku menepuk kening teringat seseorang. Orang nggak jelas itu lagi, apa sih maunya. Mayra bucin sama Bian, Pak Satpam antusias menceritakan Bian. Dunia sedang kenapa deh pagi ini? Semua kok ter Bian-bian
"Oh iya, ingat. Terus dia bilang apa?"
Sengaja kutanyakan dengan ekspresi cerah, supaya orang kepercayaan Papa yang satu ini tidak curiga, kemudian mengadu aneh-aneh. Aku salah sedikit saja, Papa langsung ceramah biasanya.
"Katanya, nanti sore neng Della ditunggu di taman dekat air mancur. Harus datang!"
"Harus datang ..." Aku mengulang ucapan.
Pak satpam mengangguk.
"Terus apalagi, Pak?"
"Udah cuma pesan gitu, Neng. Habis itu pergi. Kira-kira ada apa, ya?"
Loh, kok, malah balik tanya yang dititipin pesan? Ya mana aku tahu! Udah gitu kelihatan mancing-mancing penuh selidik. Asem, mengambil tugas sampingan sebagai detektif nih kayaknya. Gawat kalau diaduin yang enggak enggak.
"Oh, nagih buku kuliah mungkin, Pak. Dia dekat sama dosen saya, dulu. Terus ada buku yang saya lupa balikin sampai sekarang!" bohongku. Enak aja mau dipancing supaya aku jujur.
Pak satpam mengangguk paham, sambil ber-oo tanda lega tidak ada hal yang mengkhawatirkan tentangku. Selamat deh aku.
"Ya udah. Jalan dulu, Pak!" pungkasku langsung tancap gas.
Bahkan, menyetir pun aku tidak fokus sekarang, berbagai pertanyaan hilir mudik di kepala. Takut kalau Bian marah karena kode-kode yang tidak kunjung mendapat respon. Namun, kalau tidak datang, aku penasaran juga sih maunya apa orang itu. Duh, kok, aku jadi mikirin Bian ini kenapa?

Comentário do Livro (427)

  • avatar
    KeringBatu

    aku suka dengan crita ini

    19/06

      0
  • avatar
    PirahSafirah

    Mantapp

    26/03

      0
  • avatar
    DinanaFiki Ariska

    👍👍👍👍

    06/03

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes