logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Part 2

"Arfand, kau juga disini?" Seru Via.
"Hey, kita bertemu lagi." Balas Arfand ketika keduanya tak sengaja pula duduk di bangku pesawat yang sama.
"Bolehkah kita pindah tempat? Aku suka duduk didekat jendela." Ujar Via.
"Tentu saja." Balas Arfand. Sepanjang perjalanan Via dan Arfand saling mengobrol satu sama lain. Membahas soal pekerjaan di Jakarta, soal kampung halaman mereka, pula membahas soal Indonesia.
"So, dimana kau mendapatkan pekerjaan?" Tanya Arfand setelah ia memesan kopi dari pramugari.
"Rumah Sakit tempatmu bekerja." Jawab Via. Arfand hampir tersedak ketika menyeruput kopinya. Memandang Via, "kau tidak tahu kan? Sebenarnya aku sudah kontrak kerja dengan pihak rumah sakit, sebelum kembali ke Paris. Aku pernah melihatmu sedang memeriksa pasein, tadinya aku ingin menyapa. Berkali-kali bertemu denganmu, tapi aku gagal menyapamu." Lanjut Via.
"Ohya? Aku bahkan tidak menyadari bahwa kau ada disana." Jawab Arfand.
"Tapi sepertinya kau jarang ada di Rumah Sakit. Apa kau punya klinik?" Tanya Via menyelidik. Bagi Via, Arfand adalah sesosok lelaki yang menyenangkan. Memiliki kepribadian sanguinis namun ia pandai menyimpan rahasia. Bila Via mencurahkan hatinya kepada Arfand, ia tidak perlu resah. Rahasianya cukup terjamin aman.
"Ya begitulah." Jawab Arfand. "Waktuku fleksible. Hanya hari-hari tertentu aku ke rumah sakit." Katanya. Via mengangguk, Arfand adalah lelaki yang baik. Batin Via. Via mengenang beberapa lembar kenangannya bersama Arfand. Masa dimana ia kesulitan dalam pengerjaan tesisnya dan Arfand sangat membantu dalam hal apapun.
"Cokelat panas untuk nona cantik." Tukas Arfand.
“Thank you." Balas Via.
“Your welcome. Ada yang bisa aku bantu?" Arfand menawarkan bantuan.
"Ough. Cuma tinggal nulis dibuku ini doang koq. Santai saja." Jawab Via lalu tersenyum kepada Arfand.
Kalau begitu aku akan menemanimu disini.
"Ohya? Aku akan grogi kalau kau duduk disini sambil memandangiku." Via sedikit salah tingkah.
"Ouhmmm. Tidak apa-apa. Anggap saja aku tidak ada." Kata Arfand. Via menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Sementara Arfand sedang menuliskan beberapa formulir yang harus ia isi.
Beberapa kali Via menguap. Rasa kantuknya semakin berat. Dan ketika Arfand menyadari Via tertidur diatas meja, ia memberinya selimut dan membantu mengerjakan tesisnya.
Ponsel Via berdering dengan keras tepat dipinggir wajahnya. Via mengerjapkan matanya. Terkejut. Lalu ia mengucek matanya. Sudah pukul 8.00 pagi. Via lupa kalau tesisnya masih belum selesai. Dan ia harus menyelesaikan bab 4 untuk bisa menyelesaikan ke bab selanjutnya.
Begitu Via menyalakan laptop, bab 4 yang masih harus ia kerjakan sudah selesai dikerjakan. Via merasa aneh. Karena semalam ia baru mengetik 8 lembar. "Kau sudah bangun?" Tanya Arfand. Via menoleh.
"Kenapa kau tidak membangunkanku?" Tanya Via kepada Arfand dan mengabaikan pertanyaan Arfand.
"Kau begadang semalaman dan kau tertidur pulas. Apa aku harus membangunkanmu? Ketika seharusnya kau istirahat untuk memulihkan energimu." Jawab Arfand.
"Tapi kenapa bab 4-ku sudah selesai? Kau mengetiknya?" Tanya Via.
"Sedikit membantu." Jawabnya.
Tapi ini sudah selesai. Tukas Via. Arfand hanya tersenyum sambil mengenakan dasinya. Via menghampirinya.
"Kau sudah banyak membantuku. Kau memberi aku tumpangan, ya, meskipun aku harus jadi pembantu di apartemenmu tapi aku rasa itu adalah bantuan. Kau meminjamkanku laptop, kau meminjamkan uang padaku, dan kau membantu mengerjakan tesisku. Aku rasa itu adalah hutang budi yang sangat dan sangat mahal, Arfand." Tutur Via.
"Ohya? Kalau begitu buatkan aku sarapan pagi." Kata Arfand. Via membantu merapikan dasi Arfand.
"Kau mau kubuatkan apa? Omelet? Sandwich atau apa?" Tanya Via. Arfand menggenggam tangan Via. Dan menatapnya lamat-lamat.
"Apa saja yang kau bisa." Jawab Arfand akhirnya. Via mengagumi ketulusan Arfand. Via juga mengagumi apapun yang Arfand miliki. Hanya sebatas kagum. Bagi Via, Arfand adalah pahlawan penyelamatnya.
"Kau pernah mengoperasi pasein?" Tanya Via. Setelah ia mengenang beberapa lembaran ingatannya.
"Sesekali." Jawab Arfand, ia terhenti menyeruput kopinya. Menatap Via. Ada sebuah perasaan dimana ia harus siap menjawab apa yang akan Via tanyakan padanya. Yaitu tentang kematian Andra. "Kau sudah punya pacar?" Tanya Arfand.
"Kenapa?" Via mengernyitkan dahinya, "kenapa kau bertanya soal pacar?"
"Aku cuma bertanya." Jawab Arfand.
"Sakit hati bagiku adalah hal biasa. Putus cinta entah karena ditinggalkan atau pengkhianatan pula hal biasa. Melupakan bagiku adalah hal yang mudah. Tapi untuk kembali jatuh cinta adalah hal yang sulit. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Butuh waktu untukku jatuh cinta pada pria yang berbeda, pada pria yang benar-benar mencintaiku." Jelas Via sembari menghabiskan kopinya.
Arfand mendesah pelan. Dia cukup tangguh. Batin Arfand. Namun bagi Arfand sendiri, sakit hati, putus cinta adalah hal yang tidak biasa. Tapi untuk jatuh cinta kepada wanita seperti Via adalah hal yang mudah. Via tak sekadar cantik, ia cerdas, pula dewasa.
Percakapan mereka terhenti ketika keduanya sudah cukup lelah. Kemudian mereka terlelap. Perjalanan masih jauh, pesawat masih akan berlangsung selama 4 jam lagi menuju bandara Soekarna-Hatta. Arfand mengerjapkan mata, ia terbangun. Kepala Via bersandar kepundaknya, lalu Arfand tersenyum. Bergetar hatinya dengan cepat. Via memang cantik. Bahkan sangat cantik. Wajar saja jika banyak lelaki yang terpana kepadanya. Batin Arfand
***
Pesawat lepas landas tepat pukul 23.15 WIB. Udara Indonesia begitu hangat dibandingkan di Paris. "Akhirnya" Kata Via. Dengan merentangkan kedua tangannya. Arfand hanya tersenyum. Bahkan disaat bangun tidur pun wajahnya masih cantik.
"Kau pulang kemana?" Tanya Arfand.
"Kau mau mengantarku pulang." Tukas Via.
"Ya, kalau kau tak keberatan." Balas Arfand. Via sumringah, awalnya ia khawatir tidak akan mendapatkan taksi. Tapi beruntung ia bersama Arfand, lantas pulang dengan selamat ke rumahnya.
"Jadi, kita akan sering bertemu di rumah sakit." Ujar Via, ketika ia berada didalam mobil Arfand. Sementara pria itu sedang menyetir.
"Mungkin." Jawab Arfand.
"Apa kau tidak mau bertemu denganku?"
"Terlalu sering bertemu dengan wanita sepertimu akan membuat suasana hati mudah bosan." Ketus Arfand. Via cemberut, tak terima.
"Baiklah, aku tidak secantik Taylor Swift." Jawab Via, manyun.
Arfand tertawa mendengarnya. "Arfand, tunggu." Kata Via, Arfand menoleh.
"Aku ingin jagung bakar." Lanjutnya ketika melihat tukang jagung bakar.
"Okey, tunggu sebentar disini." Kata Arfand. Lelaki bermata cokelat itu memarkir mobilnya dan turun untuk membeli jagung bakar.
"Mas, jagung bakarnya 3." Kata Arfand. Tukang jagung itu mengangguk. Arfand mendengar jeritan, ketika ia menoleh, ia melihat Via terjongkok didepan mobilnya. Arfand langsung berlari menghampiri Via.
"A-A, Arfand..." Suara Via parau. Ia terlihat sangat lemas. Refleks Via memeluk Arfand.
"Kau kenapa?"
"Ja-ja-jambret..." Katanya. Arfand langsung memeriksa mobilnya. Ransel Arfand yang isinya tablet, kamera, dan beberapa baju dalamnya hilang. Kaca mobil sebelah kiri pecah. Tepat ditempat yang Via duduki.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Arfand. Via terjatuh lemas. Kejadiannya sangat singkat. Arfand pun tak menyadari mobilnya sedang diincar oleh penjambret. Arfand cemas pada Via, apakah ia terluka atau tidak? Tangan Via tergores oleh kaca mobil sehingga menimbulkan bercak darah.
Akhirnya Via dan Arfand kembali ke mobil setelah kursi depan dibersihkan oleh bantuan si tukang jagung. Arfand menyetir kembali mobilnya, "Apa yg hilang?" Tanya Arfand.
"Tas dan seluruh isinya. Dompet, ponsel, camera, dan mereka memaksa meminta kalung dan cincinku." Jawab Via. Arfand mendesah pelan, tidak tahu harus bagaimana. "Aku takut sendiri." Ujar Via. Via sempat cerita bahwa ia tinggal sendiri di rumahnya. Lalu Arfand memutar balik mobilnya menuju apartemennya. "Kita mau kemana?"
"Sementara malam ini, kau tidur di apartemenku." Jawab Arfand. Via menoleh, mengerjapkan matanya. Arfand melirik. "Tenang saja, di apartemenku ada dua kamar. Kau boleh memakainya. Aku juga tidak akan berbuat yang macam-macam koq." Lanjut Arfand. Menghilangkan rasa khawatir Via. Via mendesah lega.
"Terimakasih."
***
Kejadiannya begitu singkat, Arfand turun dari mobil. Seketika pintu kaca mobil diketuk. Via terkejut, melihat dua orang lelaki garang tak dikenalnya mengetuk kaca mobil. Via ketakutan, ia teringat kejadian beberapa tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang menyakitkan baginya. Peristiwa yang membuatnya sangat trauma. Kaca mobil dipecahkan. Via hanya berlindung dari balik kedua tangannya.
"Serahkan semua hartamu!" Kata si jambret. Suara Via kaku, seolah ingin teriak tapi tak bisa. Ia cuma memandangi punggung Arfand. Ia ingin berteriak memanggil nama Arfand, tapi seolah suaranya hilang. Bibirnya bergetar, seluruh tubuhnya menggigil, ketakutan, matanya berkaca-kaca. Singkat, kedua jambret itu membawa satu ransel milik Arfand dan satu tas milik Via.
"Serahkan perhiasanmu!" Si Jambret menodongkan pisau. Via semakin takut. Tangannya bergetar, lalu memberikan cincin tersebut pada kedua jambret itu. Saat kedua jambret itu pergi dengan motornya. Suara Via melengking. Ia berhasil menjerit. Lalu Arfand datang menghampirinya.
"Aaaaagggghhh..." Bayangan masa lalu terlintas dipikiran Via. Seolah itu baru terjadi satu menit yang lalu. Via jongkok ketakutan. Tubuhnya gemetar, nafasnya terengah-engah, matanya berair. Via mendongak ketika Arfand berdiri tepat dihadapannya. "A-A-Arfand..." Serunya. Lantas Via refleks memeluknya.
"Kau kenapa?" Tanya Arfand.
Via tak mampu membendung air mata ketakutannya. "Ja-Ja-Jambret..." Jawabnya pendek. Via ditinggal sendiri sebentar.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Arfand. Via terjatuh lemas, Arfand menyangga tubuh Via.
Via adalah seorang korban dari pelecehan seksual. Mengalami PTSD atau post traumatic stress disorder, sebuah gangguan yang terjadi kepada korban pelecehan seksual. Dimana penderitanya sangat ketakutan dan terjerat disebuah masa lalu yang kelam. Gangguan yang dialaminya itu hanya ia yang tahu.
Mengalami gangguan tersebut, merupakan aib bagi Via. Namun mempelajari ilmu psikologi membantunya meringankan gangguan tersebut. Di Paris ia mendapatkan banyak sekali treatment dan juga therapy. Namun ia belum sepenuhnya pulih dari gangguan tersebut.
***

Comentário do Livro (179)

  • avatar
    AmeliarhCahaya

    bagusss

    14d

      0
  • avatar
    AgustiaSELPA

    tolongg jika membaca mendapatkan 500

    20d

      0
  • avatar
    Joni

    cerita nya bagus dan menarik

    21/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes