logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bagian 5

Hujan lebat kembali mengguyur kota Jakarta, Iqbal sebenarnya malas untuk kembali ke rumah sakit setelah berhasil lolos dari racauan Melvin tadi sore jika saja ia tidak mendapat telpon dari pihak UGD yang sepertinya semakin sibuk dan memintanya untuk segera meluncur ke tempat ini.
Ia baru saja keluar dari mobil dengan payung di tangannya dan melangkah lebar-lebar berharap bisa secepatnya sampai di lobi rumah sakit tanpa harus berbasa-basah ria. Namun langkahnya terhenti ketika matanya tanpa sengaja menangkap sosok tubuh yang rupanya sedang terisak pelan dengan baju basah kuyup sedang duduk seorang diri di taman rumah sakit yang tampak sepi.
Langkah kakinya berbelok arah begitu mengenali siapa gadis itu. Ia mempercepat langkah dan sengaja menggunakan payung itu untuk melindungi gadis di hadapannya dari hujan dan membiarkan dirinya sendiri yang kebasahan walau ia rasa percuma karena gadis yang kini berada di hadapannya nampak basah kuyup.
Menyadari ada seseorang yang berusaha melindungi dirinya, gadis itu mendongak yang membuat Iqbal bertatapan langsung dengan manik mata sayu yang tampak redup. “Kamu...”
Suara gadis itu tercekat begitu mengenali siapa yang berdiri di hadapannya saat ini. Sepertinya dia masih mengenali dirinya sebagai salah satu dokter yang tadi sore juga ikut menvonis penyakit sang ayah.
“Kenapa tidak masuk? Nanti kamu masuk angin.” tanya Iqbal halus dan ikut duduk di samping gadis itu. Ia meletakkan payung yang dipegangnya dan bergeser mendekat ke arah gadis yang kini juga menatap ke dirinya.
“Tolong selamatkan Ayah saya...” ucap gadis itu tiba-tiba yang membuat pergerakan Iqbal yang sedang berusaha melipat payung di tangannya terhenti seketika.
“Saya...”
“Tolong... hanya untuk kali ini saja,” Gadis itu kini mendongak dan menatap Iqbal dengan mata berkaca-kaca yang sarat permohonan. “Hanya dia satu-satuya yang tersisa, saya tidak punya siapa-siapa lagi untuk bisa saya perjuangkan selama sisa hidup saya, hanya Ayah...” Sebuah isakan pelan terdengar setelahnya. Gadis di sebelahnya kembali terisak dengan bahu bergetar, sebuah isakan menyayat yang terdengar memilukan di telinganya.
“Saya benar-benar bisa gila kalau seperti ini. Setelah hampir dua belas tahun saya menanti kesembuhan Ayah, mempertahankan kewarasan saya untuk tetap berjuang ketika nurani saya kadang meminta untuk mengakhiri hidup, saya tidak bisa terima jika harus berakhir dengan seperti ini...”
“Ayah saya gila dan selama dua belas tahun lebih saya hampir tidak bisa bercengkrama dengannya.. haruskah saya merelakan dia pergi dalam keadaan seperti ini? tolong saya, Dok.”
Kali ini pipi gadis itu sudah basah dengan air mata, membuat hati Iqbal ikut terenyuh
“Kasih sayang kesempatan... sepuluh hari, tiga hari, atau bahkan satu hari saja. Saya akan melakukan apapun untuk membeli kesempatan itu. Setidaknya biarkan saya untuk mengucapkan kata-kata perpisahan, biarkan saya untuk berbicara dengannya, saya tidak akan bisa hidup tenang kalau seperti ini Dok. Setidaknya kasih saya kesempatan.” Entah sejak kapan gadis itu sudah menggenggam telapak tangannya, membuat separuh hati Iqbal ikut pias merasakannya.
“Tapi semuanya tidak bisa mengubah apapun,” balas Iqbal mencoba memberi pengertian. Membuat gadis di hadapannya kembali mendongak dengan air mata yang masih menggenangi pelupuk matanya.
“Saya tahu... tapi.. tapi masih ada harapan Dok, saya yakin harapan itu ada meski sedikit.”
“Saya tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya, cukup Bunda yang pergi tanpa pamit tapi tidak dengan Ayah, setidaknya saya ingin mengatakan bahwa saya sangat menyayanginya, saya ingin mengatakan bahwa dia masih berarti buat saya. Saya sudah bertahun-tahun mengusahakan yang terbaik, kenapa... kenapa hari ini...” Iqbal mendekat dan memberanikan diri memeluk gadis itu tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Ia tahu bahwa gadis di hadapannya sudah berjuang melalui masa sulit.
“Tolong selamatkan Ayah...” bisiknya pelan sebelum isakannya yang semakin keras terdengar, terdengar miris dan menyayat, membuat siapapun mengerti bagaimana penderitaan sosok gadis dalam dekapannya.
Iqbal semakin mendekapnya erat begitu gadis itu semakin bergetar hebat. Malam ini ia berjanji, apapun yang terjadi kedepannya ia akan menjaga gadis itu, gadis misterius yang ternyata serapuh guci, ia bahkan bisa saja hancur jika ia tidak hati-hati dalam menjaganya.
@@@
“Bagimana kondisi pasien yang tadi sore?” tanya sang papa ketika mereka baru saja mengecek kadaan pasien yang sempat droup pasca oprasi.
Iqbal mendongak menatap sang papa. “Sudah dipindahkan ke ICU dan masih berada dalam pantauan dokter.” Sang ayah mengangguk mendengar jawaban putranya.
“Papa...” langkah dokter Renaldi terhenti ketika Iqbal kembali memanggil dirinya. “Iqbal mungkin masih amatir dalam hal ini, tapi aku pikir kita tetap harus melakukan operasi,”
“Alasannya?” tanya dokter Renaldi tenang.
“Tadi aku sempat bertemu dengan wali pasien.”
“Dokter bedah harus bisa mengendalikan emosi dari keadaan pasien. Jangan ikut terpengaruh. Kamu tahu itu,” potong sang ayah cepat.
“Bagaimana kalau operasinya berhasil dan pasien tidak lagi mengalami kerusakan otak?”
“Dia bahkan tidak bisa bernapas sendiri tanpa bantuan alat medis, ia bisa saja mati di ruang operasi!” tegas papanya.
“Bagaimana kalau itu tidak terjadi? Bisa saja ada keajaiban medis, tanpa mencoba tidak akan pernah ada keajaiban medis, dan kita sudah menyerah di awal.”
“Kenapa?”
“Setidaknya pertimbangkan pendapat wali. Ia mendadak harus menghadapi ini semua setelah bertahun-tahun menanti kesembuhan Ayahnya. Kalau Papa tidak mau melakukan ini, bolehkah aku melakukannya? Biar...”
“Iqbal!” potong ayahnya cepat
“Aku bisa melakukannya sendiri, Pa.”
“Kamu sudah melanggar batasmu sebagai dokter residen di sini, kalau kamu begini karena kamu masih anakku kamu...”
“Kalau aku bukan anak Papa aku tidak akan begini,” jawabnya memotong pembicaraan sang ayah. “Ini pendapat Iqbal... sebagai dokter.” Tandasnya pelan.
“Kalau begitu perkuat opinimu dan yakinkan Papa sebagai seorang dokter.” balas sang ayah yang kini sudah melangkah melewati dirinya, tangan Iqbal terkepal kuat mendengar itu. Tinggal satu senjata lagi yang belum dia lakukan, dan dia seharusnya tidak mengatakan ini jika saja ayahnya tidak memaksanya mengatakan hal itu.
“Bagaimana kalau aku yang seperti itu? Bagaimana kalau Iqbal yang mengalami ini semua? atau mungkin Mama?” teriakan Iqbal berhasil membuat langkah sang ayah terhenti, meski tidak berbalik namun ia tahu bahwa sang ayah masih mendengarkan dirinya. “Bagaimana kalau Iqbal atau Mama yang berada di posisi itu? Apakah Papa juga akan menyerah?”
“Itu curang,” sang ayah berbalik menatapnya, tapi hanya sekilas sebelum kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. “Kamu tidak meyakinkan Papa dari sudut pandang seorang dokter.” Lanjut ayahnya sebelum menghilang di belokan.
Perlahan kepalan tangannya terlepas, dirinya tau bahwa ia sudah memenangkan keputusan ini. Ada sebersit bahagia di benaknya, setidaknya ia masih bisa berusah untuk melakukan yang terbaik, untuk dia, gadis misterius di balik hujan. Pelan namun pasti ada sebersit senyum di wajahnya.
@@@
Pada akhirnya operasi itu benar-benar dilakukan. Entah apa yang dilakukan oleh dokter tampan yang menyelamatkannya dari hujan tadi malam sehingga pihak rumah sakit menyetujui untuk melakukan operasi. Naya sangat bersyukur atas semua itu.
Remasan pelan di bahunya menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendiri, ada sosok Andini yang selalu setia berada di sampingnya. Bahkan ia rela membatalkan jadwal pemotretannya pagi ini sehingga harus menerima umpatan dan protes keras dari pihak manajemen hanya untuk memberi ia dukungan moral ketika sang ayah masih berjuang meregang nyawa di balik pintu kaca yang tampak dingin itu.
“Mama sebentar lagi ke sini, aku sudah mengabarinya subuh tadi.” Naya mengangguk bertepatan ketika terdengar suara wanita paruh baya yang langsung memeluknya erat. “Abdullah operasi?” Naya kembali mengangguk dan balas memeluk wanita yang selama bertahun-tahun sudah seperti pengganti sosok bundanya itu dengan erat.
Tak dapat dipungkiri, ada rasa hangat yang menjalari hatinya. Kehangatan yang sudah bertahun-tahun hanya menjadi mimpi buruknya. Naya hampir lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan hal itu. Dekap hangat dari keluarga. Dan kini, berada diantara mereka membuat rasa itu kembali hadir, sebuah rasa yang nyaris tak pernah singgah di hatinya, rasa dicintai dan disayangi.
“Kamu sabar yah, Ayah kamu pasti berjuang demi kamu. Kalau pun dia memilih menyerah dia tahu bahwa kamu pasti kuat.” Setitik air mata jatuh di pelupuk matanya begitu kalimat itu terlontar, namun secepat air mata itu mengalir, secepat itu pula ia langsung menghapusnya dengan gerakan tak kentara, dan detik selanjutnya ia telah menampilkan wajah tenang dengan senyum tipis di bibirnya.
Namun tindakan itu tentunya tak luput dari pengawasan Andini yang hanya terpaku di sebelahnya. Ia tidak cukup bodoh untuk mengartikan gejolak batin di balik ketenangan sikap yang Naya tunjukkan, di balik senyum itu ia tahu bahwa hatinya berdarah-darah.
Naya yang masih berusaha tegar.
Bersamaan dengan uraian pelukan yang mereka lakukan, pintu ruang operasi mendadak terbuka menampilkan wajah lelah sosok dokter paruh baya yang kemudian diikuti dokter muda penyelamatnya.
Naya segera bangkit dan berhadapan dengan dokter paruh baya yang mencoba mengulas senyum menenangkan. “Kita masih harus terus memantau kondisinya karena dari awal kondisi pasien memang sudah memburuk, dan sejauh ini masih belum ada reaksi apa-apa.”
“Tapi operasinya berjalan lancar?” tanya Naya memastikan.
Dokter itu mengangguk. “Untuk informasi selanjutnya bisa ditanyakan pada Dokter Iqbal, karena untuk saat ini pasien berada pada penangannya. Saya hanya sekedar menempatkan diri sebagai konsulennya.”
Untuk beberapa saat Naya menunduk, barulah ketika dokter paruh baya itu pergi ia berani mendongak menatap manik mata menenangkan yang semalam juga menyalurkan aura itu kepadanya. “Apakah Ayah akan baik-baik saja? Apakah setelah ini dia bisa bangun?”
Dokter yang belakangan ini Naya tahu bernama Iqbal tampak tertegun beberapa sesaat sebelum menjawab. “Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa,” Naya mengangguk maski ada separuh hatinya yang merasa kecewa. “Tapi saya akan berusaha melakukan yang terbaik.”
“Iya, saya mengerti, terima kasih.” Hanya itu yang bisa ia katakan, bahkan ketika dokter itu pamit kepada Andini dan tante Dewi yang masih berdiri di sebelahnya, Naya masih mematung memandangi ruang operasi di depannya. Ia mendesah pelan dan berusaha membuang jauh-jauh sebersit kecewa yang sempat hadir di benaknya.
Setidaknya aku sudah mengusahakan yang terbaik.
“Ayo kamu makan dulu, tante sudah bawa makanan kesukaan kamu dari rumah.” Naya mengangguk dan menurut ketika tante Dewi membawanya kembali ke tampat duduk dengan Andini yang mengikuti dari belakang. Ada sebersit rasa lega di hatinya, setidaknya ia masih mempunyai orang-orang yang peduli terhadap dirinya, dan ia rasa semua itu sudah cukup untuk dirinya saat ini.

Comentário do Livro (74)

  • avatar
    muhammaddian

    aku mau diamond epep

    21/06

      0
  • avatar
    widyareny

    sangat menarik

    05/06

      0
  • avatar

    hebat

    04/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes