logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bagian 3

“Bunda pengen suatu saat nanti Naya menjadi dokter, seperti Bunda.”
Naya kecil hanya mengangguk-angguk dalam dekapan sang Bunda yang sesekali mengelus rambutnya pelan, sementara tangannya sibuk menyisir rambut barbie yang ada di pangkuannya. “ Naya juga pengen jadi dokter, supaya bisa selalu menjaga Ayah seperti Bunda.” ada sebersit senyum yang terbit di wajah sayu wanita paruh baya yang kini tampak termenung itu.
“Bunda kok diem?” Naya kecil mendongak dan menatap manik mata sang Bunda yang menatapnya hangat.
“Apapun yang terjadi nanti Naya harus selalu jagain Ayah ya, jangan lupa juga pesan Bunda.”
Naya kembali mengangguk. “Memangnya Bunda udah nggak mau menjaga Ayah lagi?” lagi-lagi hanya senyuman yang terbit di wajah wanita itu.
“Bunda sayang Naya.” Tanpa diduga ia sudah kembali berada dalam dekapan sang bunda. Malam itu menjadi saksi bagaimana sosok kecil seorang Naya mulai mengukir angan yang begitu tinggi. Menjadi seorang dokter kebanggaan.
Tapi impian itu hanya mampu ia tata dalam semalam karena keesokan harinya semua impian itu kandas terenggut keadaan yang memilukan.
Naya terbangun dengan napas terengah. Mimpi itu lagi. Sebuah kenangan lama yang kembali melempar ia pada masa lalu. ia mendesah pelan ketika meraih ponsel dan mendapati angka jam masih menunjuk pukul tiga dini hari, Andini di sebelahnya masih tampak tidur dengan tenang. Ia bangkit dan menghampiri sang ayah yang masih tampak terlelap, matanya terpejam rapat dengan raut wajah yang tampak tenang, sangat tenang. Bahkan nyaris seperti tak ada tanda kehidupan di sana, selain monitor di sebelahnya yang menjadi bukti bahwa sang Ayah masih bertahan di sisinya.
Ia menatap sekeliling ruangan yang hanya diterangi oleh seberkas cahaya dari lampu lorong rumah sakit yang masuk melalui celah jendela. Kini ia benar-benar merasa seorang diri, seakan tak ada lagi seseorang yang menjadi pelabuhannya untuk berpulang. Bagaimana kalau sang Ayah benar-benar memilih untuk menyerah pada takdir, meninggalkan dirinya seorang diri tanpa tujuan? Mungkinkah sang bunda di sana telah menantikan hal itu?
Bagaimana kalau....
Naya menggeleng pelan mencoba mengusir berbagai pemikiran buruk yang terlintas di benakkanya. Cukup sekali, ia tak ingin mengulanginya lagi. Apapun akan ia lakukan untuk membuat sang Ayah tetap bertahan.
Meskipun dengan menyakitinya?
Suara batinnya kembali terdengar. Benarkah ia akan sanggup melihat sang Ayah tersiksa dengan alat-alat medis yang melekat di tubuhnya? Ia kembali menatap pada sosok ringkih di hadapannya. Sang ayah telah menghabiskan lebih banyak sisa umurnya di rumah sakit sejak kejadian dua belas tahun yang lalu. Masihkah ia akan terus menyiksa sang ayah dengan cara seperti itu?
Sebuah helaan napas berat kembali keluar dari bibir mungilnya ketika kilasan-kilasan dari masa lalu kembali hadir tanpa ia minta. Air matanya kembali tumpah bersamaan dengan bayangan abu-abu yang kembali menghantuinya. Ia terisak pelan mencoba meredam suara tangisnya dengan sebelah telapak tangan meski ia rasa percuma.
Sedang tak jauh dari tempat itu, tanpa Naya sadari ada sosok lain yang juga terjaga tanpa sepengetahuannya. Sosok orang yang hampir memperjuangkan segala kehidupan yang ia miliki demi dirinya. Sosok yang akan tetap menyayangi dirinya melebihi siapapun di dunia ini.
@@@
Naya kecil sedang berkutat di ruang tengah bersama Andini, sahabat sekaligus tetangga sebelah rumahnya dengan buku gambar besar beserta krayon yang berserakan di atas karpet.
“Ini gambar apa?” tanya Andini kecil sambil menunjuk gambar setengah jadi yang dibuat oleh Naya.
“Dokter, kata Bunda Naya harus menjadi seorang dokter supaya bisa menjaga Ayah seperti Bunda.” Mata bulatnya mengerjap lucu dengan wajah berbinar ketika menceritakan impiannya, membuat Andini yang duduk di sebelahnya hanya tersenyum lebar meski jauh di lubuk hatinya tersimpan rasa iri melihat kesempurnaan hidup yang Naya miliki. Bunda seorang dokter dan Ayah pengecara terkenal.
“Kalau impian Andini apa?”
Andini kecil mengerjap pelan mendapati pertanyaan itu. “Ng... aku pengen jadi apa aja asal selalu bareng Naya.” balasnya terbata atas pertanyaan mendadak itu.
Naya kecil tersenyum lebar lalu berhambur ke pelukan sahabatnya, membuat Andini mau tidak mau juga ikut tersenyum dan membalas pelukan Naya. Sejak saat itulah Andini berjanji akan menjaga Naya yang polos, yang selalu menyayangi dan menerima dirinya apa adanya. Di saat semua orang menghujat dirinya karena terlahir dari sosok Ayah seorang bandar narkoba, namun Naya tak pernah berubah, ia tak hanya teman bermain tapi juga bagian dari hidup seorang Andini.
“Kalau begitu Andini juga harus menjadi dokter kayak Naya, ayo Naya ajarin.” Andini hanya tersenyum namun tak urung mengikuti apa yang Naya lakukan. Baru beberapa menit mereka tenggelam dalam dunia warna anak-anak, sebuah suara gaduh menganggu keduanya, membuat mereka serempak menoleh keambang pintu dimana Ayah Naya sudah muncul dengan keadaan kacau.
“Ayah...”
Belum sempat Naya berbicara sang ayah sudah menarik tangannya dengan membawa ia kedalam gendongan sang ayah. “Kita ke rumah sakit sekarang, Bunda ada di sana.”
Naya kecil mengangguk dan menoleh ke arah Andini yang menatap keduanya dengan mata sayu. “Mama Andini belum dateng?”
Andini kecil menggeleng pelan. “Mama tidak akan datang sebelum dagangannya laku habis.” balasnya pelan mendengar pertanyaan ayah Naya.
“Ya sudah ayo ikut saja.” dan tanpa diminta ayah Naya meraih sebelah tangannya dan menuntun sosok Andini kecil keluar rumah dengan Naya masih dalam gendongannya. Hati andini terenyuh, ia tak pernah merasakan dekap hangat seorang yah, ayahnya tak pernah sudi menatap apalagi jika harus menggandeng tangannya. Perlahan namun pasti sebuah senyum manis tersungging di bibir mungilnya.
“Kita mau kemana, Om?” tanya Andini ketika mobil yang mereka tumpangi sudah memasuki jalan raya.
“Rumah sakit. Pasti Ayah mau kasih kejutan sama Bunda, Bunda kan kerja di sana.” Naya kecil menjawab kalem sambil meraih salah satu boneka kesayangannya yang rupanya tertinggal di dalam mobil.
Andini tak lagi menjawab sampai mobil berhenti di parkiran rumah sakit. Andini kecil tahu bahwa ada raut wajah cemas yang menghiasi wajah sosok tegas yang ia anggap sebagai ayah sendiri, seperti bagaimana raut sang mama menanti kedatangan Ayahnya sendiri sejak sang Ayah selalu pulang larut sebelum ayahnya tertangkap polisi. Andini kecil sudah tidak asing lagi dengan raut wajah yang sudah biasa ia lihat selama ini, tapi bagi Naya yang selalu hidup dalam kenyamanan tak akan pernah tau bagaimana suatu hal terjadi di dunia ini.
“Ayah kok ke situ, ruangan Bunda kan sebelah sana.” protes Naya begitu melihat sang ayah yang berbelok arah dari ruangan sang bunda. “Bunda lagi sakit jadi sedang tidak ada di ruangannya.” Naya kecil kembali mengangguk sambil mendekap bonekanya erat dengan Andini yang masih mengekori di belakangnya.
“Naya pengen ketemu Bunda.” Naya kembali bersuara ketika mereka sudah terduduk di ruang tunggu. “Sebentar lagi dokternya keluar kok,” balas sang ayah sambil mengusap rambut Naya pelan. “Ayo, Andini duduk di sini jangan menyendiri.” Ayah Naya menarik tangan Andini agar duduk disebalanya membuat Andini mau tidak mau kembali tersenyum dengan perlakuan manis sosok yang ia kagumi.
“Dokternya lama banget, pasti mereka nggak tau meriksa kayak Bunda.” Suara renyah Ayah Naya menggema pelan mendengar celetohan putri semata wayangnya itu. Namun tawa itu tak berlangsung lama ketika sosok dokter bersama dua perawat keluar dari ruangan.
“Naya sama Andini di sini dulu yah, Ayah bicara sama temannya Bunda.” Keduanya serempak mengangguk. Naya kembali sibuk dengan boneka di pangkuannya sedang Andini mengikuti pandangannya ke tempat ayah Naya sedang berbicara dengan serius. Ia tak melewatkan setiap ekspresi mereka meski tak bisa mendegar dengan jelas apa yang sedang dibicarakan, dan ia merasa sesuatu hal telah terjadi begitu mendapati raut wajah ayah Naya mendadak pias dan pucat.
Tebakan Andini benar, tepat lima menit setelahnya ketika mereka sudah berada di dalam ruangan dengan sosok bunda Naya yang yang sudah berbaring kaku dengan wajah pucat.
Andini menoleh ke arah Naya kecil yang tampak meremas boneka di genggaman tangannya dengan tatapan tak lepas dari sang bunda. “Pamit yuk sama Bunda,” bisik sang ayah yang sudah berjongkok di sebelahnya.
“Bunda sakit apa? Kok tidur terus meski Naya datang?” tanya Naya polos yang masih berdiri kaku dalam dekapan sang Ayah.
“Bunda capek mau istirahat, makanya Bunda memilih tidur, tapi kali ini Bunda tidurnya lama.”
“Sampai kapan?” tanya Naya kembali saat Andini sudah mendekat dan memeluknya erat. “Kalau Bunda tidur terus Naya nanti main sama siapa?” tidak ada jawaban setelahnya, hanya terasa pelukan dari dua orang di sisinya yang semakin medekapnya erat. Tapi Naya tidak menangis, ia hanya menatap lurus ke arah depan dengan raut wajah yang sulit dibaca.
“Bunda kan dokter, kenapa nggak bisa menyelamatkan diri..” ucap Naya lirih yang hanya bisa didengar oleh mereka bertiga.
Sejak saat itulah Andini sadar bahwa segalanya telah berubah. Tak lagi ia dengar celetohan riang anak kecil sepuluh tahun yang sering menyapanya tiap hari. Dunia Naya terasa jauh untuk bisa ia jangkau, meski mereka masih tetap bersama dan tumbuh dalam lingkungan yang berbeda.
Apalagi tak lama setelah itu, ketika dia mulai memasuki dunia remaja, ayahnya juga mulai bersikap aneh sehingga terpaksa di larikan ke rumah sakit jiwa, membuat Naya harus hidup sebatang kara, mengarungi kejamkan kehidupan hanya bertumpu pada sosok Ayah yang bahkan sudah tak mengenali dirinya lagi.
Namun Naya tetaplah Naya, ia tak pernah menyerah melakukan segala upaya demi kesembuhan sang ayah. Memasuki bangku SMA ia sudah mulai mengenal dunia kerja, meyakinkan diri sendiri bahwa ia mampu mengembalikan sang Ayah seperti dulu. Menyelamatkan satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini. dan kabar yang mereka dengar sekitar dua hari yang lalu kembali menghantam kehidupan seorang Naya, sebuah berita bahwa sang Ayah memotong urat nadinya sendiri, dunianya kembali runtuh untuk yang kedua kalinya. Dan Andini yakin beban sahabatnya kembali bertambah, bukan hanya tentang kehilangan tapi juga sebuah keputusan yang ia ambil tiga tahun yang lalu.

Comentário do Livro (74)

  • avatar
    muhammaddian

    aku mau diamond epep

    21/06

      0
  • avatar
    widyareny

    sangat menarik

    05/06

      0
  • avatar

    hebat

    04/06

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes