logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Kotak misterius

Tatkala masih asyik melamun, terdengar suara pintu dibuka. Seketika aku menoleh, Mas Lucky masuk dengan ekspresi lesu. Aku hanya mencibir melihatnya, pasti rasa kecewa itu masih bersarang di hatinya.
"Kamu kenapa, Mas? Dari tadi mukanya nggak semangat gitu. Apa karena Maya nggak datang?"
Mas Lucky menatap tajam, sepertinya perkataanku barusan membuatnya kikuk. "Kamu ngomong apa, kenapa Maya terus yang kamu tanyakan!" ucapnya ketus.
"Mas suka Maya, kan? Jujur aja, Mas! Sebenarnya apa yang kamu sukai dari dirinya?" tanyaku sambil mendekat.
Mas Lucky semakin salah tingkah, demi menutupi kebohongannya dia berpura-pura melihat ponsel. Aku pun terus menatapnya sambil bersedekap kedua tangan.
"Kamu pasti mengirimkan chat sama Maya kan, Mas?" tanyaku lagi.
Lama-lama Mas Lucky jengah karena terus aku tanya. Tanpa menjawabku dia malah mengalihkan pembicaraan. "Tadi kamu kenapa pake masker?"
"Oh, itu tadi aku hanya nggak ingin kalian malu kalo tamu tau wajahku yang miskin ini," jawabku menyindirnya.
"Kalo kami malu, kenapa Mama menyuruh kamu keluar untuk menemui tamu! Mama sampai kesal karena kamu nggak menghormati tamu."
Aku diam saja, malas untuk berdebat lagian Mas Lucky juga tidak mau menjawab pertanyaanku tadi. Kemudian aku masuk kamar mandi untuk berwudhu.
"Mas, kita sholat bareng yuk! Mas jadi imam dan Ayu makmumnya," ajakku setelah keluar dari kamar mandi.
"Kamu duluan aja, Mas masih sibuk balas chat penting ini," jawab Mas Lucky tanpa melihatku.
Huh, paling Maya yang dibilang penting itu. Soalnya saat aku lagi di kamar mandi ponsel Mas Lucky terus berdering. Tak mungkin klien menghubungi malam-malam, kecuali itu selingkuhannya sendiri.
Sudahlah, aku sholat saja dulu. Saat sholat, aku malah tidak bisa khusyuk karena mendengar suara Mas Lucky begitu nyaring dengan tawanya yang cekikan. Entah mengobrol apa hingga begitu senang.
Setelah salam tak kulihat Mas Lucky lagi, pasti keluar kamar. Selesai melipat mukena aku turun ke bawah memeriksa keadaan Ibu. Namun, baru saja akan turun tangga terdengar panggilan Mama.
"Ayu, kenapa tadi kamu pake masker dan berpura-pura flu hah!" ucap Mama dengan suara keras.
Langkah berhenti demi menjawab interogasi Mama. "Ayu memang flu, Ma!"
"Nggak usah bohong kamu! Bilang aja kamu takut ketahuan, kan!" ujar Mama mencibir.
"Apa maksud Mama?" tanyaku heran.
"Alah bilang aja kalo kamu kenal dengan Terry. Soalnya Terry juga berkata kalo dia merasa nggak asing melihatmu."
Wajahku membulat sempurna, jangan-jangan Terry tau siapa aku. Gawat kalo Mama sampai tau masa laluku, bisa-bisa rencana tidak berjalan mulus.
"Mungkin dia salah orang, Ma! Mana mungkin wanita miskin seperti aku kenal dengan Nona kaya itu," alibiku mematahkan prasangka Mama.
Mama memutar bola malas, lalu mendengus pergi dan masuk kamar. Oops, syukurlah aman. Untung saja Mama tidak meneruskan, aku sudah tau sifat Mama yang mudah dipengaruhi lalu dengan memaksa akan membongkarnya dan menyakiti. Akan tetapi, bila tak terbukti Mama akan diam dan berlalu.
Menuju ke dapur, Bi Inem sibuk mencuci piring dan membersihkan meja makan. Sisa makanan yang tidak termakan sungguh mubazir. Saat Bi Inem akan membuangnya aku melarang.
"Jangan dibuang, Bi!" pekikku sambil mencekal tangan Bi Inem.
"Kenapa, Non? Makanan ini nggak termakan lagi besok," ucap Bi Inem heran.
"Masukkan ke dalam rantang, Bi yang belum termakan. Sayang kalo dibuang, Ayu akan bagikan pada tetangga sebelah rumah," pintaku lalu Bi Inem mengambil rantang.
Tetangga sebelah rumah dihuni seorang singel parent dengan anaknya yang sudah yatim. Aku mengenalnya saat jalan-jalan sekitar rumah. Itupun saat Mama lagi keluar jadi aku leluasa untuk bersilaturahmi dengan tetangga.
Sambil menunggu Bi Inem menyiapkan rantangan, aku membuka pintu kamar Ibu. Terlihat Ibu sedang sholat, aku pun tidak mengganggu lalu keluar kembali.
Jam menunjukkan pukul sembilan malam, diwaktu ini Mama yang sudah masuk kamar jarang keluar. Mungkin juga sudah tidur, aku bebas keluar rumah tanpa omelan.
Sampai di gerbang satpam mengangguk saat aku menunjuk rantangan di tanganku. Satpam sudah hafal karena aku sering membagikan makanan pada tetangga. Dengan bersenandung kecil, aku masuk gang kecil dan menuju rumah Mbak Ratih.
Terlihat anaknya sedang bermain di luar, aku pun menghampiri. "Assalamualaikum, Mbak Ratih!" panggilku.
"Wa'alaikumussalam, eh Ayu! Mari masuk!" ajaknya menyambut.
"Nggak usah Mbak, saya cuma ngantar lauk untuk Mbak," kataku menyodorkan rantang padanya.
"Aduh, Yu! Mbak nggak enak selalu menerima makanan darimu," katanya segan sambil melirik tetangga sebelah yang lagi berkumpul.
Mereka menatapku dan Mbak Ratih lalu berbisik-bisik. "Lihat tuh, enak benar ya si Ratih selalu dapat makanan orang kaya."
"Iya, jadi keenakan dia! Palingan dia ngemis-ngemis, kalo nggak mana mungkin nona kaya itu mau nganter sendiri," timpal yang lain.
Mbak Ratih yang mendengar dirinya dicela menunduk sedih. Jangankan Mbak Ratih, aku pun jadi geram. Kalo sudah begitu aku pasti teringat Ibu yang selalu dihina mertua. Orang-orang hanya bisa membicarakan keburukan tanpa melihat faktanya.
Walaupun janda, Mbak Ratih tak pernah meminta-minta pada orang. Dari ceritanya aku tau kalo Mbak Ratih dengan sekuat tenaga bekerja mencari sesuap nasi untuk anaknya. Andai aku orang kaya, pasti sudah membawa Mbak Ratih kerja di rumahku.
Tanpa pedulikan omongan orang, aku memaksa memberi rantang sambil menghibur. Dengan terpaksa Mbak Ratih menerima kemudian mengembalikan rantang padaku.
Pulang dari rumah Mbak Ratih, saat akan keluar dari gang aku melihat mobil Mas Lucky lewat dan masuk gerbang. Darimana Mas Lucky malam-malam begini, pantas saja tadi aku tak menemukannya rupanya dia keluar membawa mobil.
Dengan berjalan mengendap-endap, menunggu Mas Lucky masuk ke dalam rumah. Setelah dekat mobil, aku melongok ke dalam jendela. Mataku terbelalak melihat ada sebuah kotak di dalamnya. Penasaran, lalu membuka pintu mobil tapi sial terkunci.
Mungkin kotak itu yang menjadi penyebab Mas Lucky keluar tadi, aku harus tau apa isinya. Tapi, kalo minta kunci pada Mas Lucky tak mungkin dia akan memberi. Ah, aku ada ide ya seperti itu saja.
Mas Lucky yang tidak tau aku keluar rumah, begitu dia dari ruang kerja melihatku sedang menonton TV. Tanpa menghiraukan aku Mas Lucky terus berjalan naik tangga. Aku pun memanggilnya untuk bergabung.
"Mas nggak menonton TV?" tanyaku.
"Nggak, Mas mau tidur udah ngantuk! Kamu nggak tidur?" tanyanya balik.
"Ayu belum ngantuk, ya udah Mas dulu tidur sana!" ucapku lalu menoleh kembali ke TV.
Lima menit, sepuluh menit hingga setengah jam sengaja aku menunggu agar Mas Lucky tertidur. Masuk ke kamar, aku pura-pura akan tidur dan mengetes Mas Lucky. Menggoyang tubuhnya tapi Mas Lucky tidak bangun juga.
Segera aku sambar kunci mobil di meja dan menutup pintu kamar dengan pelan. Tiba di garasi, memasukkan kunci lalu pintu mobil terbuka gegas aku masuk ke dalam. Mengambil kotak coklat dan membukanya dengan berdebar. Lalu saat melihat isinya, aku terkejut dan mulut mendadak kelu.

Comentário do Livro (205)

  • avatar
    Denn

    sangat seruu sekali ceritanya

    21/08

      0
  • avatar
    GawolRini

    Bagus ceritanya

    20/07

      0
  • avatar
    Sasmita Bhizer

    bagus

    06/04

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes