logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Bab 5 Isyarat Cinta Rousyan

"Han, pulanglah dulu, Nduk! Biar bapak yang jaga Ibumu di sini, kasihan Naya sendirian di rumah," seru Pak Burhan pada Hana yang tengah duduk di samping Bu Rahma yang tergulai lemah.
Sejak kemarin sore Bu Rahma di rawat di rumah sakit akibat tekanan darah tinggi. Slentingan orang-orang tentang putrinya belakangan ini cukup membuat batin dan fikirannya tertekan dan terkuras. Hal tersebut akhirnya berpengaruh pada kesehatannya hingga akhirnya tumbang.
"Bapak tidak apa-apa kalau Hana tinggal sendiri?" tanya Hana sedikit khawatir.
"InsyaAllah, tidak apa-apa. Pulanglah!"
"Baiklah Pak, kalau begitu Hana pamit dulu sebentar ya!" Dengan terpaksa Hana pun beranjak keluar.
Tak pernah terfikir oleh Hana, urusannya dengan Rasyid bisa berujung seperti ini. Ada perasaan bersalah dalam dirinya, hatinya terus berseteru seolah menyalahkan diri yang sudah membuat keluarganya malu. Langkah Hana kian berat untuk meninggalkan mereka walau sesaat.
"Nduk, belum pulang?" sapa Pak Burhan saat mendapati Hana yang ternyata masih duduk terdiam di luar ruangan.
"Eh, iya Pak."
"Kenapa kamu, Nduk, kok sepertinya melamun?" Bukannya menjawab, Hana justru menangis.
"Hei, ada apa ini?" Pak Burhan bertanya heran sambil mengelus kepala Hana.
Belum sempat Hana menjawab, tiba-tiba seseorang datang mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikum salam warrohmatullah," jawab keduanya serentak. Ternyata yang datang adalah Umi Maryam. Hana pun langsung berdiri dan menyambutnya.
"Umi lagi di sini juga?" tanya Hana seraya mencium tangan Umi.
"Iya, umi sengaja datang kemari untuk menjenguk Ibumu. Gimana kabar beliau, Nduk?"
"Alhamdulillah, sudah mendingan Umi. Syukron ya ,Umi, sudah repot-repot datang kemari. Oh ya, Umi kesini dengan siapa?" Hana celingukan mencari seseorang yang mengantar umi.
"Umi diantar Rousyan, tadi dia sedang pergi ke kamar mandi sebentar." Mendengar nama Rousyan wajah Hana langsung berubah, hatinya kembali merasakan sesuatu yang tak biasa.
"Oh ...." Hana tak bisa berkata, entah mendengar namanya saja dia seperti salah tingkah.
"Nah, itu dia anaknya!" kata Umi sambil menunjuk ke arah Rousyan yang tengah berjalan menujuh mereka. Dari jauh pemuda itu nampak begitu teduh.
"Nduk, katanya mau pulang, pergilah! Jangan khawatir, bapak di sini tidak sendiri. Tuh, ada banyak orang!" seru Pak Burhan.
"Oh, Hana mau pulang toh? Ya sudah sekalian di antar Rousyan saja, deket ini kok! Biar Umi nunggu di sini." Gelagatnya Umi Maryam sengaja ingin mendekatkan Hana dengan ponakannya itu.
"Nggak usah, Mi, biar saya naik ojeg saja."
"Jangan! Udah hampir malam, dari pada sama tukang ojeg mending sama Rousyan. Lebih teteg!" ujar Umi setengah memaksa. Rousyan sendiri terlihat kikuk saat tak sengaja berpapasan pandang dengan Hana.
"Nggak apa-apa, biar saya antar!" ucap Rousyan kemudian.
Mereka pun berjalan beriringan namun sedikit berjauhan. Lorong rumah sakit itu seakan begitu menakutkan hingga keduanya nampak tegang dan saling diam. Tapi mungkin bukan karena itu, ada satu hal yang membuat mereka takut yaitu jatuh pada satu rasa yang tak mampu mereka tata yaitu cinta.
Hana terus berjalan dengan tetap menundukkan pandangan, dan Rousyan sesekali menatapnya sekedar menatap raut kesedihan yang terpancar di wajah Hana.
"Yang sabar ya," ucap Rousyan seketika , dengan pelan mencoba memecah keheningan. Satu kalimat singkat, namun begitu dalam terucap. Seperti ada rasa yang turut menyerta dalam setiap kata.
"Syukron Kak," balas Hana dengan mencoba tetap tersenyum.
Sesampai di parkiran, Hana kembali merasa tidak enak. Hatinya ragu harus membonceng pada Rousyan, laki-laki yang dicintai sahabatnya.
"Kak, biar Hana pulang sendiri saja. Kak Syan nganter sampai sini saja ya."
"Nggak apa-apa, lagian ini amanah Umi. InsyaAllah saya nggak akan macam-macam," jawab Rousyan sedikit becanda.
"Bukan gitu Kak maksudku,tapi ..."
"Sudah ..., hayuk naik! Kalau takut ketiganya syetan, biar nanti di jalan kita sambil sholawatan ya!" canda Rousyan, mereka pun jadi ketawa bareng.
***
"Gimana, Kak, kabar Ibu?" tanya Naya buru-buru.
"Alhamdulillah sudah mulai membaik, insyaAllah besok juga sudah boleh pulang."
"Alhamdulillah ya Allah, aku dari tadi cemas banget Kak. Lagian Kak Hana juga dihubunginya susah."
"Iya maaf, tadi handphone kakak lowbet. Oh ya kamu udah makan belum?"
"Boro-boro mau makan, neguk air aja rasanya seret."
"Kasihan banget kamu, Dek, kalau gitu Kak Hana cari makan dulu ya!"
"Ikut ...," pinta Naya dengan manja.
"Ngapain, orang cuma di depan kok!" timpal Hana gemas. Bibir Naya langsung manyun mengalahkan panjang paruh angsa.
Tok tok tok tok!!!!
Baru saja akan beranjak, tiba-tiba pintu rumah terketuk.
"Assalamu'alaikum...!"
"Wa'alaikum salaaam ...," teriak kakak beradik itu kompak saling bertatapan sama-sama menyeru untuk membuka pintu. Hana pun mengalah menghampiri sang tamu.
Dan saat membuka pintu, Hana begitu kaget.
"Kak Syan?" Hana terpaku heran.
"Maaf jadi mengganggu, saya cuma mau mengantarkan ini," ucap Rousyan seraya menyelodorkan bingkisan berplastik hitam.
"Apa ini, Kak?" Hana pun semakin bingung.
"Barusan aku beli di depan barang kali kalian belum makan, tadi mau sekalian mampir enggak enak bawa kamu," ungkap Rousyan, perhatian namun sopan.
"Ya ampun, Kak, repot-repot segala. Kalau begitu makasih ya!"
Rousyan hanya mengangguk sambil menyunggingkan senyum khasnya.
"Aku pamit ya, assalamu'alaikum!" ucapnya. Sementara Hana masih sedikit tertegun.
"Wa'alaikum salam," jawab Hana agak telat. Rasa kagum itu kembali muncul, sikap Rousyan membuatnya merasa terjaga. Hal itulah, yang diharapkannya saat pergi bersama Rasyid dulu. Rousyan sudah berlalu jauh, tapi Hana masih terpaku di depan pintu.
Dooooorrrrrr!!!
"Wooooyy ..., ditungguin kok malah matung di tengah pintu. Awas loh, tulak suruk!" Sontak Naya mengagetkan Hana.
"What is tulak suruk?" tanya Hana sambil mengernyitkan dahinya.
"Udah tua masa nggak ngerti!" ledek Naya sembari merebut bingkisan dari tangan Hana dan lari ke ruang tengah.
"Naya ...!" teriak Hana, gemas.
Yang diteriaki malah tertawa puas.
"Dari siapa ini, Kak, tau aja ada orang kelaparan."
"Dari Kak Syan."
"Kak Ocan yang ponakan kyai Hanif itu Kak?"
"Oh iya ya, dulu kamu pernah ngaji sama dia ya?" Hana malah balik tanya. Anak-anak memang biasa memanggilnya Ocan.
"Di tanya kok malah nanya. Hmmm...."
"Iya betul. Tadi si Ocan alias Rousyan ponakan Umi Maryam dan kyai Hanif."
"Kakak pacaran sama dia?"
"Idiiih pacaran, definisinya aja Kakak kurang faham."
"Terus apa dong, kok sampe sebaik ini?"
"Kamu, Dek, nggak semua orang baik itu ada maksud. Tadi itu nggak sengaja ketemu di rumah sakit jengukin Ibu."
"Tuh kan, sampe jengukin Ibu segala."
"Hm ... mulai deh, lebay. Nganter Umi Maryam, Dek Naya yang cantik." Hana mulai geram dengan ledekan Naya.
"Kakak nih pantesan jomlo terus, kurang peka jadi perempuan!"
"Udah ya ,kalau nggak tak letokin sambel nih!"
"Hehe ..., maaf gitu aja ngambek pantesan cepet kelihatan tua. Upsss, keceplosan ..., sekali lagi minta maaf cuma mau bilang apa adanya."
Hana melirik tajam ke arah Naya.
"Afwan, salah lagi deeeh. Hehe..."
"Kalau sudah selesai, jangan langsung tidur! Kak Hana istirahat dulu ya, besok pagi sudah harus buru-buru ke rumah sakit."
"Siap Kakak...."
***
Hana berusaha memejamkan matanya rapat-rapat. Namun ucapan Naya membuatnya terganggu. Rasanya, memaknai perasaannya sendiri saja dia tidak berani.
"Robb, hanya Engkau yang mengerti hatiku. Karena hati ini adalah milik-Mu. Hamba tidak mengerti dengan perasaan ini, karena yang hakiki hanya Engkau yang tahu. Ku titipkan hati ini pada-Mu untuk yang terbaik menurut-Mu. Yang mencintaiku karena cinta-Mu," lirih Hana dalam hati.

Comentário do Livro (67)

  • avatar
    NasribasanSamir

    mantap

    20d

      0
  • avatar
    AsrilAsril

    bagus ceritanya

    04/03/2023

      0
  • avatar
    Herlen Asya Dzifah

    sangat memotivasi

    15/02/2023

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes