logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 9 Musibah

"Omegat, gue lihat yang enggak-enggak," Kenya tiba-tiba datang dengan setengah berlari menghampiri kami yang lagi asyik duduk-duduk di atas tikar depan tenda.
"Ada apaan?" tanya Wingki sambil diam-diam mengambil snack yang ada di tangan Ratih. Sementara pemiliknya lagi bengong memperhatikan Kenya.
"Gue kan tadi kesana," terang Kenya sambil mengarahkan telunjuknya ke tempat dimana dia pergi tadi. "Gue kan niatnya baik, cuma cari sinyal doang."
"Terus ada apaan?" tanyaku. Riko yang ada disebelahku mengulurkan lolipop yang langsung kusahut. "Makasih," jawabku lirih.
"Gue juga mau kali Rik," ujar Ratih sambil mengatungkan tangan ke Riko. Perhatian teman-temanku beralih dari Kenya, mereka langsung melirik aku dan Riko.
"Terus gimana lanjutannya Nya," kataku mengalihkan perhatian mereka.
"Gue denger suara decapan-decapan gitu," lanjut Kenya sambil menempatkan pantatnya di antara aku dan Riko. Aku langsung bergeser memberinya ruang.
"Ya ampun, genderuwonya lagi mangsa orang ya? Atau mbak Kunti lagi makan malam?" tanya Ratih dengan bola mata membulat. Ratih masih percaya banget kalo tempat ini ada pocongnya. Dan emang, yang namanya hutan, pasti ada penunggunya.
"Iya, tadi gue ngiranya kayak gitu. Tapi pas gue denger lagi, suaranya jadi beda,"
"Jadi cekikikan?" tanya Andhika yang diam-diam juga ikutan Wingki mengambil snacknya Ratih.
"Jadi desahan. Gue penasaran dong, setan mana yang bisa desah malam-malam gini," lanjut Kenya. Kami khusyuk banget mendengarkan cerita Kenya.
"Setannya lagi mantab-mantab tuh," celetukWingki.
"Asal suaranya dari bawah pohon, terus gue cari,"
Ratih bergidik. "Kalo gue jadi lo, gue kabur aja," komentarnya.
"Ya ampun, gue langsung kaget pas tau makhluk apa yang ada di bawah pohon itu. Dua sejoli lagi ciuman, terus yang cewek dadanya kelihatan, sambil diremas sama yang cowok. Gue langsung syok, dan sekarang gue masih syok. Salah gue apa Tuhan, sampai ngelihat manusia lagi begituan?" Kenya frustasi usai menamatkan ceritanya. Tangannya merebut kipas dari tanganku dan mengipasi wajahnya. Jangan kaget, temanku kalo sudah bar-bar ya gitu. Asal nyeplos.
"Mantab," tanggap Wingki sambil melongo. "Harusnya gue yang mergokin mereka," sambungnya.
"Bukannya lo bubarin, lo malah ikutan gabung kan?" Kami sudah paham banget sama kepribadian Wingki. Cowok itu mesum, tapi nggak terlalu parah. Masih mending dibanding Junet, cowok di kelas kami yang mendapat julukan "Rajanya Mesum", karena mesumnya yang kebangetan.
"Orangnya masih disana nggak Nya?" tanya Wingki.
"Mana gue tau," jawab Kenya ketus sambil melangkah ke tenda. "Ntar kalo api unggunnya mulai, bangunin gue ya," Pesannya ke kami sebelum menutup tenda.
Wingki berdiri, menarik lengan Andhika mengajaknya buat berdiri juga.
"Mau kemana?" tanya Andhika ogah-ogahan. Dia sudah pw banget duduk enak-enak sambil makan snack curian.
"Ngintipin yang lagi uh-ah uh-ah,"
Aku melipat karpet dibantu Riko, sementara Ratih membangunkan Kenya.
Anak PA mengumumkan kalo acara api unggunnya mau dimulai, dan semua anak harus berkumpul di tengah-tengah area tenda di bangun. Sementara Andhika sama Wingki belum kembali dari kepergian mereka yang katanya mau lihat mantab-mantab.
Yang ikut kemping lumayan banyak, mungkin sekitar tiga puluhan orang. Aku nggak sudi ngitungin, cuma dilihat dari banyaknya anak yang berkumpul mengelilingi api unggun yang belum menyala, jumlahnya kira-kira segitu.
"Na, geser dong, " Wingki tiba-tiba datang dan pengen ikutan nyempil.
"Nggak bisa Wing, ini udah sempit banget," Jawabku. Mau geser kemana, kanan kiri udah ada orang. Bukan temanku, aku nggak kenal dua cowok disebelahku ini.
"Ikutan nyempil," Tiba-tiba Andhika juga datang dan ikutan mau nyempil. Aku menunjuk ke Kenya dan Ratih, tempat di sebelah mereka masih kosong. "Sana tuh longgar,"
Akhirnya dengan malas, kedua cowok itu pergi juga setelah kuusir, dan juga karena dua cowok disebelahku menunjukkan terang-terangan kalo mereka terganggu dengan keberadaan Andhika dan Wingki yang mendadak menyerobot.
Kok bisa aku terbuang sendiri disini? Padahal temanku yang lain tempat duduknya saling sebelahan. Cuma Riko yang tertangkap netraku berada diantara anak-anak lain, yang nggak aku kenal.
"Kelas berapa?" tanyaku basa-basi ke cowok di samping kananku.
"Tiga," jawabnya singkat. Dia nggak menatap aku sebagai lawan bicaranya. Tetap lurus menatap tatanan kayu yang nggak kunjung terbakar. Kayaknya dia nggak mau kuajak ngobrol.
"Jurusan apa?" tanyaku berganti ke sosok di samping kiriku. Yang kutanya menolehkan kepalanya ke arahku.
"Boga," jawabnya dengan suara berat.
"Lo sakit ya? Suara lo berat gitu," .
"Enggak, emang suara gue asli begini,"
Aku manggut-manggut. "Boga ada cowoknya ya ternyata," kataku lagi. Kayaknya dia seru buat diajak ngobrol. Nggak enak banget kalo cuma diam-diaman kayak orang lagi musuhan.
"Iya ada, cuma gue doang."
"Enak dong, teman lo semuanya cewek. Apalagi cewek boga kan cantik-cantik,"
"Enggak juga. Gue sebel pas nyaksiin mereka nangis-nangis karena putus sama pacarnya,"
"Tapi seru lho, lo pasti selalu diutamain, karena cowok sendiri,"
Dia nggak menjawab, karena pembicaraan kami teralihkan dengan kedatangan dua sosok yang ada di sebelah api unggun yang belum menyala.
"Halo....selamat malam...." ujar salah satu dua sosok itu dengan ramah. Anak-anak menjawab dengan serentak, dan aku cuma diam. Kaget banget. Itu yang lagi cuap-cuap Mas Dinar.
Dia ada disini juga, ngapain? Nggak menyangka kalo bakal ketemu lagi disini, setelah tadi malam juga bertemu.
Satu sosok yang berdiri di samping Mas Dinar itu ketuanya PA. Ketua penyelenggara kegiatan ini. Mukanya sudah nggak asing, karena sering ngalor-ngidul di sekolah. Super sibuk, ngalahin ketua OSIS.
Saking asyiknya bingung sama Mas Dinar, aku nggak tau kapan api unggun dinyalakan. Pancaran api itu berkobar di mataku. Aku tersenyum, ini indah banget, dan hangat.
"Sambil menikmati api unggun kita malam ini, ada yang mau nyumbang lagu nih, dari teman kita. Yaudah, nggak usah lama-lama lagi ya, mari kita sambut Yusna yang mau nyanyi lagu barat," ujar ketua PA yang langsung disambut meriah tepuk tangan anak-anak.
Ketua PA ikut berbaur di barisan anak-anak, sementara Mas Dinar masih disitu. Lalu seorang cewek yang bernama Yusna tadi berdiri di sebelah Mas Dinar. Mengobrolkan sesuatu, lalu keduanya duduk bersebelahan.
Aku nggak bisa melihat dengan jelas gimana wajah cewek itu, karena aku duduk di sebelah samping lurus dengan Mas Dinar.
Seorang cowok yang memakai seragam ekskul PA lalu mengulurkan sebuah gitar ke Mas Dinar.
Oh, aku faham. Jadi Yusna nyanyi, Mas Dinar yang gitarin.
Mas Dinar mulai memetik gitar, mengalunkan nada lagu yang kuhafal banget sama nada itu.
Lalu alunan lagu terdengar sangat halus dari Yusna sang penyanyi malam ini.
🎵 I like your eyes you look away when you pretend not to care
I like the dimples on the corner of the smile that your wear
I like you more the world my know but don't be scared
Co'z i'm falling deeper baby be prepared🎵
Nggak kusadari bibirku ikut mengalunkan lirik lagu bersama cewek-cewek lain yang juga serentak bernyanyi mengiringi suara sang penyanyi. Para cowok cuma bengong dan geleng-geleng kepala karena mereka nggak hafal liriknya, atau bahkan nggak tau lagu apa yang sedang terlantun sekarang.
Itu lagu terkenal banget di tiktok. Khas banget jadi backsound video keuwuan dua sejoli yang bikin netizen iri.
Aku suka banget sama lagunya. Bakal senyum-senyum sendiri kalo pas lagi dengerin.
Aku yang lagi asyik mengikuti alunan lagu, tersentak pas ada suara cowok yang mengiringi suara penyanyi.
Sontak aku yang tadi merem menikmati lagu sambil membayangkan keuwuan, langsung kembali melihat dua orang yang menjadi pusat perhatian.
Mas Dinar ikut menyanyi. Kepalanya menoleh, matanya berkeliling. Dari sisi samping kanan ke depan terus kekiri. Kayak lagi mencari seseorang.
Matanya langsung berhenti berkeliling pas bertemu sama manik mataku.
🎵 Love you every minute, every second
Love you everywhere and any moment
Always and forever i know i can't quit you
Coz baby you're the one i don't know how🎵
Bibirnya bergerak mengikuti alunan lagu, tangannya memetik senar gitar, sementara matanya terus menatapku.
Aku menggelengkan kepala, mungkin bukan aku yang dia tatap dan aku terlalu kepedean. Tapi menyadari kalo yang duduk di deretanku yang cewek cuma aku, aku jadi yakin kalo Mas Dinar menatapku, karena nggak mungkin Mas Dinat menatap dengan sorot mata kayak gitu, ke cowok-cowok yang ada disini.
Mas Dinar menyunggingkan senyuman mautnya, lalu mengedipkan sebelah matanya ke arahku, sebelum dia kembali menolehkan kepalanya menatap depan.
Keningku berkernyit, nggak faham sama tingkah anehnya. Dia mengkedipkan sebelah mata itu kenapa? Kelilipan?
###
Sebelum meninggalkan tempat kemping, kami harus bersih-bersih dulu. Jangan sampai datang bersih terus pulang kotor. Nggak sopan kalo bertamu di tempat asing kayak gitu. Apalagi ini hutan yang pasti banyak banget makhluknya halusnya.
Aku nggak ikutan bersih-bersih, dan malah asyik berdiri di atas gelondongan kayu. Menikmati pemandangan alam dulu sebelum pulang, juga ber-selfie ria berlatang belakang pohon-pohon.
Kami pulang pagi ini, karena katanya ketua PA, kami harus cepetan tiba di rumah biar bisa istirahat lebih lama, karena besok sudah harus masuk sekolah.
Aku tadi dikasih lollipop lagi sama Riko. Dia baik banget. Mau kumakan sekarang, nggak mau ketahuan Kenya sama Ratih karena yang dikasih cuma aku doang.
Melihat hasil selfie ku sambil duduk di gelondongan kayu, tiba-tiba aku kaget sama kedatangan Mas Dinar yang langsung ikutan duduk di sebelahku.
Aku spontan menoleh kanan kiri, melihat anak-anak lain yang masih bersih-bersih. Dan ternyata nggak ada satu orang pun yang mengamati kami disini.
"Hai," sapa Mas Dinar.
"Hai juga," balasku nggak melepas lollipop dari mulut.
"Udah kemas-kemas?" tanya Mas Dinar yang cuma kujawab dengan anggukan. Aku lagi sibuk menghapus foto selfi-ku yang menurutku jelek. Handphone-ku ini masih kentang, jadi ruang penyimpanannya gampang habis.
"Lagi lihatin apa sih serius banget," Merasa nggak aku hiraukan, Mas Dinar menggeser duduknya mendekatiku. Mepet banget. Kepalanya melongok ke layar handphone-ku, kepo sama yang kulihatin dari tadi.
"Cantik," ujarnya kemudian, lalu menggeser lagi duduknya menjauhiku.
"Iya Mas, background-nya cantik ya, hijau-hijau gitu...." kataku . Alam itu emang background natural paling sempurna.
Aku sama sekali nggak mengalihkan mataku dari handphone. Tapi aku bisa menyaksikan Mas Dinar lagi senyum yang kulirik dari ekor mataku.
"Makan permen Mas kok nggak dikasih,"
Mas Dinar nggak diam begitu saja, dan terus mengajakku bicara agar aku mau memperhatikannya.
"Cuma satu,"
"Manis,?" Aku bingung Mas Dinar bilang itu sebagai pertanyaan yang menanyakan apakah permen yang kumakan manis, atau dia ngasih pernyataan komentar ke permenku yang rasanya emang manis. Nada suaranya aneh, logat akhir katanya nggak condong kayak dikasih tanda tanya, tapi juga nggak datar.
Nggak mau bingung memikirkan itu, aku bertanya, "Mas habis mandi ya?"
Wajah Mas Dinar segar banget kayak habis disiram air. Rambutnya juga basah kayak lagi habis keramas.
"Iya, tadi turun sama Dias buat numpang mandi di rumah warga," jawabnya sambil menyeka rambut.
Aku mengerucutkan bibir. Nggak adil. Masa Mas Dinar sama Dias, si ketua PA bisa mandi, sementara kami dibiarin nggak bisa mandi. Cuma bisa cuci muka sama gosok gigi, itupun masih mending karena masih banyak dari kami yang nggak kebagian air.
"Enak banget bisa mandi, sini merana banget, badan lengket semua nggak kesentuh air," kataku sewot.
"Sabar, bentar lagi kan pulang,"
"Eh Mas, mata saya kelilipan, nggak bisa melek, panas banget," kataku panik. Mataku tiba-tiba kemasukan benda kecil gitu. Rasanya perih banget, dan mengganjal, sampai nggak berani melek, dan air mataku ikut keluar saking perihnya.
Mas Dinar langsung sigap berusaha membuka mata kiriku yang kelilipan, lalu  dia meniupnya dengan pelan. Menyalurkan angin ke mataku, sampai air mataku keluar lagi.
"Gimana? Udah nggak perih?" Aku berusaha membuka mata, tapi masih perih.
"Masih perih banget," rintihku.
Sekali lagi Mas Dinar memaksa membuka mataku dengan tangannya. Dia serius banget, mencari sesuatu di dalam mataku.
"Bentar, jangan kedip," pintanya, lalu satu jarinya menyentuh bagian mataku yang putih.
"Bulu mata kamu masuk ke mata, makanya perih," katanya lalu menjauhkan tubuhnya. Aku merasakan benda itu sudah hilang, dan nggak lagi terasa mengganjal. Perihnya juga hilang. Tanganku mengusap sisa air mata.
"Makasih ya Mas, udah nolongin," Aku mengucap terimakasih.
"Iya sama-sama. Mas ikhlas kok. Sebagai gantinya, lain kali kalo Mas minta tolong ke kamu, kamu harus tolongin Mas, ya," kata Mas Dinar sambil tersenyum.
Aku memutar bola. Kok ada sih orang yang katanya ikhlas menolong, tapi malah minta imbalan ditolong balik.
"Ayok dek, ngumpul kesana," Mas Dinar lebih dulu berlalu. Sementara aku, masih berdiri lagi menginjak gelondongan kayu, yang ternyata bagian yang kuinjak sudah rapuh. Akibatnya kakiku terpeleset, dan aku mencoba menyeimbangkan diri agar tidak terjembab ke tanah dengan menapakkan kakiku ke batu yang ada di bawahku. Bukannya selamat, aku malah tergelincir, karena batu yang kuinjak letaknya di tanah yang gembur. Aku merosot ke bawah, lalu tubuhku mendarat di tanah yang lebih rendah.
"Aww," teriakku kesakitan. Pergelangan kakiku terkilir, aku salah pasang badan pas mau mendarat tadi.

Comentário do Livro (536)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    FaqihahMazlan

    best gila

    23h

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes