logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 8 Cosplay Menjadi Istri

Aku beneran protes nggak mau naik ke mobil yang udah bikin bapakku meninggal. Bisa-bisanya Om David dengan tenang tetap mengendarai mobil itu, dan memaksaku buat ikut.
"Ini bukan mobil yang itu," katanya meyakinkan aku yang merengut sebal. Mana aku tau dia bohong apa enggak.
Tapi perasaanku sebal banget kalo lihat mobil ini. Tambah kesal banget, pas aku sudah duduk di kursi sebelah kemudi, tanganku nggak bisa mengaitkan sabuk pengaman.
"Sini saya pake in," kata Om David akhirnya karena nggak tahan melihat tingkahku. Tubuhnya mendekat buat memasang sabuk di tubuhku. Aku bisa mencium aroma Woody yang menguar dari tuxedo warna merah yang dia pakai. Aromanya harum banget, khas aroma laki-laki dewasa. Aku yakin kalo harga parfum ini nggak puluhan ribu, tapi jutaan dan belinya online dari Singapur.
Lalu tiba-tiba aku teringat bapakku lagi, itu artinya memancing air mataku buat keluar. Aku nggak mau, karena bedak yang kupakai bisa luntur.
Alhasil aku beneran menangis dan nggak bisa menghentikan air mata saat mobil yang membawa kami sudah memecah jalan raya. Sampai mobil berhenti di sebuah cafe, air mataku baru beneran berhenti.
Om David masuk ke kafe itu, dan menyuruhku buat diam di mobil. Nggak lama kemudian, dia datang.
"Pake ini," katanya usai dia duduk di kursi kemudi. Aku mau protes lagi saat melirik sepasang high heels yang haknya tinggi dan lancip banget harus terpasang di kakiku.
"Sekarang kafe banting setir jualan sepatu ya?" tanyaku sambil mengelap sisa air mata dengan tisu yang kucuri dari dasbor mobil.
"Pake aja. Kamu crewet banget,"
Mobil kembali melaju.
"Biarin dong. Ini mulut-mulut aku. Namanya cewek tuh kalo crewet ya wajar. Lagian, Om ngatur aku seenaknya aja," Aku menyilangkan tangan.
"Kamu nggak cocok udah pake baju gitu, tapi sandalan jepit,"
Aku melirik kakiku yang emang memakai sandal jepit. Kalo Ratih melihatku pakai baju kayak gini tapi sandalnya jepit, pasti langsung nyerocos mengatakan aku nggak fashionable.
"Om ngajakin aku, tapi main ninggal aja. Nggak profesional banget jadi orang," Dengusanku membuat sosok tegap di depanku itu berhenti. Membalikkan badan lalu menatapku dengan kening berkernyit.
"Ayo jalan."
"Ini lagi jalan. Tapi emang susah banget. Om sengaja mau nyelakain aku?"
Aku nggak terbiasa memakai high heels, apalagi yang tinggi banget dan super lancip. Sepatu sekolahku emang hak nya kecil, tapi nggak setinggi dan selancip ini. Malah jadi teringat sama usahaku buat beli sepatu itu. Aku menabung buat beli sepatu itu karena berhasil diprovokasi Ratih. Sepatunya emang cantik dan membantu buat menambah tinggi badan.
Herannya lagi, kok bisa Om David pas banget milih ukuran sepatunya. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia sering ngepoin aku, pas aku lagi tidur. Atau lebih parahnya lagi, dia sering masuk kamarku pas aku lagi nggak ada, atau pas aku lagi tidur. Aku emang nggak terbiasa mengunci pintu kamar, karena dulu bapak yang menyuruh aku buat nggak mengunci pintu. Alasannya, kalo ada gempa bumi tiba-tiba, dan aku nggak merasa karena lelap tidur, bapak bisa dengan mudah masuk dan membangunkan aku.
"Kamu lemot banget," kata Om David ketus sambil menghampiriku.
"Loh, kok Om kesal. Harusnya aku yang kesal karena Om nyusahin aku," Aku nggak terima dikatain kayak gitu.
"Kamu nggak usah teriak begitu bisa nggak sih?" kataku sambil membungkam bibirku dengan tangannya. Mataku melirik orang yang berlalu lalang menoleh ke arah kami, gara-gara perkataanku yang kencang.
"Nggak usah bungkam aku juga dong,"
Kami berdua masuk di ballroom sebuah hotel mewah yang ada di kota. Hotel yang emang biasanya digunakan kalo ada acara-acara besar. Aku nggak tau lebih spesifik, yang kami hadiri ini pesta apa. Kata Om David ini acara pertemuan bagi para wirausahawan.
Aku nggak tau selama ini Om David kerja apa, yang kutau dia itu cuma laki-laki tua yang kaya yang berjanji bakalan merawat dan menghidupi aku.
"Hai, David,"
Dua laki-laki menghampiri kami begitu kami tiba di tempat acara. Kedua Laki-laki itu menyalami Om David yang menyambut dengan raut wajah sedikit masam. Nggak enak banget mukanya, masih bagusan dia pasang muka datar.
"Adek lo?" tanya laki-laki berbaju warna abu-abu sambil melihatku.
"Lo kan anak tunggal, mana punya adik?" sahut laki-laki satunya.
Laki-laki berbaju abu-abu itu melihatku dengan tatapan yang nggak aku suka banget. Dia menilikku dari kaki sampai kepala, kayak menilai penampilanku.
"Atau sugar baby?"
Mendengar dia menyebutku kayak gitu, aku kesal. Nggak terima kalo aku dianggap sugar baby. Pengen menyiram dia dengan segelas air warna ungu dari nampan yang dibawa pelayan. Aku emang masih bocah, tapi mereka nggak bisa bohongin aku dengan kata sugar baby.
Laki-laki berbaju abu-abu itu menatapku lagi, dan tatapannya terkunci di dadaku. Ini aku nggak salah, dia emang beneran melirik dadaku dengan matanya yang pengen banget kucolok pakai tusukan sate yang berjejer di wadah prasmanan.
"Emang, lo bisa puas sama teteknya yang rata itu?" Dan kedua laki-laki itu terbahak. Aku nggak terima dilecehkan. Aku sudah ancang-ancang maju buat mukul dia pakai tas yang kubawa, tapi tangan Om David mencegahku.
Dia melingkarkan tangannya ke pinggangku, lalu menarik tubuhku merapatkan ke tubuhnya yang tegap.
Aku mendongak, menatap matanya yang sama sekali enggak menatapku, tapi malah melihat ke dua laki-laki di depan kami.
"Dia, istri saya," Satu kalimat yang meluncur bebas dari bibirnya, membuat aku melebarkan mata. Terkejut bukan main. Kok bisa dengan mudahnya dia bilang begitu. Dia salah banget kalo menjadikan aku sebagai istri bohongannya. Aku terlalu muda buat jadi istri dia yang sudah berkepala tiga. Ya Tuhan.
Aku kesepian banget, padahal ballroom ramai penuh orang. Aku nggak punya teman bicara karena Om David meninggalkan aku begitu saja menemui rekan-rekannya. Harusnya dia nggak mengajak aku kesini, kalo ujungnya dia kelayapan sendirian.
Aku memilih jalan-jalan menyusuri meja prasmanan yang terbentang panjang. Ada banyak banget dan semua jenis makanan tersaji disini. Kalo melihat makanan enak, perutku nggak menolak. Persetan sama orang-orang yang berkumpul mendekati panggung, lalu sebuah suara terdengar dari pengeras suara.
"Selamat malam para hadirin yang saya hormati...."
Aku nggak peduli MC mengatakan apa, dan fokus sama sate yang kumakan. Aku mau simpan satu tusuknya, mau kucolokin ke mata laki-laki yang melecehkanku tadi kalo nanti bertemu lagi.
"Enak?" Lalu tiba-tiba suara menghampiri pendengaranku. Itu bukan suara MC yang lagi menegurku karena makan sendiri pas semua orang memperhatikan dia kan? Aku menoleh dan mendapati sosok yang nggak pernah kuduga muncul, berdiri di sebelahku.
Aku buru-buru mengelap bibirku yang belepotan bumbu sate dengan tangan.
"Hai Mas Dinar." sapaku kaku. Nggak siap sama keberadaannya yang tiba-tiba. Aku menoleh kanan kiri. "Mas disini juga?" tanyaku.
Mas Dinar tersenyum. Selalu begitu. Dia asli ramah banget.
"Iya. Adek sama siapa?" tanyanya balik. Matanya nggak lepas dari mataku, lalu turun mengunci tatapannya di pundakku yang terekspos.
"Nggak dingin pake baju kayak gitu?" tanyanya lagi. Padahal pertanyaan pertamanya belum aku jawab.
"Sedikit," jawabku lalu meletakkan piringku di meja.
"Makan bareng yuk, sama Mas. Anggap aja sebagai ganti, pas kamu nolak Mas ngajakin makan waktu itu,"
Aku mengiyakan tawaran Mas Dinar. Aku nggak mau berhenti makan karena terusik kedatangannya. Sayang banget, sama makanan sebanyak ini kalo nggak semuanya aku cobain.
"Kamu suka keju kan?" tanya Mas Dinar di sela-sela kami makan. Aku mengangguk mengiyakan. Nggak bisa menolak sama makanan enak itu.
Mas Dinar mengambil sedikit cake yang bertoping parutan keju, lalu mengulurkan ke mulutku. Aku niatnya mau mengambil dengan tanganku, tapi urung karena Mas Dinar memintaku untuk membuka mulut. Aku ikut saja, membuka mulutku dan Mas Dinar menyuapiku. Cake nya enak banget. Aku sampai merem dan tersenyum senang karena puas banget sama rasanya.
"Enak?" tanya Mas Dinar. Aku mengangguk dan melihat senyumnya terkembang lagi. Kalo yang dia senyumin berkali-kali itu Ratih, aku yakin dia bakalan pingsan saking nggak tahan.
"Enak banget, tempat cake nya dimana? Pengen lagi." kataku. Mas Dinar dengan senang hati menunjukkan letak cake itu. Aku mengambil satu, dan sadar kalo disitu nggak cuma cake bertoping keju, tapi ada juga coklat, matcha, juga yang original. Mas Dinar kenapa nggak ngambil yang lain saja kalo dia nggak suka keju?
"Nyonya Anna Ayyssandra, kami persilahkan untuk naik ke panggung," Aku yang lagi enak-enakan makan cake, hampir tersedak karena tau namaku dipanggil MC.
Mas Dinar melirik ke aku yang pasang muka bingung. Juga tamu undangan yang lain, yang saling menoleh-noleh kayak lagi mencari orang yang bernama Anna.
"Anna..." Suara yang nggak asing di telingaku terdengar dari pengeras suara. Dan aku langsung mengamati panggung. Om David yang mengambil alih mic, tatapannya tertuju ke arahku.
Aku gelagapan, dan jantungku mendadak berdebar keras.
"Nyonya Anna Ayyssandra, silahkan naik ke panggung," kata Om David menirukan MC. Aku buru-buru melangkahkan kakiku menuju panggung. Nggak peduli sama tatapan orang disekelilingku, yang terpenting sekarang aku naik ke panggung mengikuti permintaan Om David.
"Beri tepuk tangan yang meriah untuk rekan bisnis kita, Tuan David Guetta beserta istrinya, Nyonya Anna Ayyssandra," Suara MC menggema lalu diikuti suara riuh tepuk tangan dari para tamu undangan.
Aku kikuk, kaku banget. Nggak tau mau pasang ekspresi apa. Akhirnya aku memutuskan untuk tersenyum, dan membiarkan Om David memeluk pinggangku.
"Silahkan maju satu langkah untuk berfoto,"
Om David membawa tubuhku maju, dia menatapku yang aku juga menatapnya dengan tatapan nggak tau apa-apa. Jemarinya lalu terulur mengelap sudut bibirku. Menghapus sisa cake dibibirku dengan jarinya. Perlakuan yang langsung membuat para tamu undangan riuh bersorak, sementara di dalam sini jantungku berdebar nggak karuan.
"Senyum ke kamera," ujarnya, lalu dia tersenyum santai ke arah kamera, sementara kepalaku mendongak masih menatapnya, dan kemudian kilatan blitz memantul, yang diiringi suara jepretan kamera.
###
"Mau kemana?"
Aku menghentikan langkah dan menoleh ke sumber suara. Kukira, aku lagi sendirian di rumah karena Om David pasti sudah berangkat kerja. Melihat keberadaannya yang lagi ngopi-ngopi santai aku ingat kalo ini hari Sabtu, dan dia pasti libur kerja.
"Ngapain nanya-nanya," kataku sewot. Kekesalanku semalam masih tersisa. Aku bodoh banget mau saja dikibulin dia buat ikut ke acara itu, lalu aku dijadikan istri bohongan di hadapan banyak orang. Dan yang paling membuat aku kesal, karena omongan orang-orang yang mengataiku kalo aku terlalu muda untuk jadi istrinya. Ya iyalah, kan emang aku bukan istrinya.
"Kamu itu tanggung jawab saya," katanya lalu meletakkan iPad di meja. Keren banget, ada logo apel kegigit. Dia kayaknya emang orang kaya beneran.
Aku lupa nggak bilang kalo aku mau kemping sama teman-temanku. Mau bilang, pasti nggak penting juga buat Om David.
"Mau kemping," kataku.
"Kok nggak izin saya dulu?"
Aku memutar bola mata. Malas kalo meladeni om-om satu itu.
"Ini lagi izin," kataku nggak mau berdebat.
"Ya udah, saya nggak ngizinin,"
Aku memutar tubuhku, melihat dengan jelas Om David yang kembali sibuk dengan iPad nya.
"Om nggak berhak ngelarang aku kayak gitu dong," ujarku ngegas, karena kekesalanku sudah nggak bisa kubendung. "Aku kemarin mau disuruh Om ini itu, sekarang biarin aku berbuat semauku sendiri," sambungku.
"Berapa malam?"
"Satu." jawabku dengan nada ketus.
"Nanggung banget. Kenapa nggak sekalian satu minggu? Satu bulan? Atau satu tahun?"
Aku menatap sinis Om David yang kini juga menatapku.
"Om doain aku hilang di hutan terus nggak bisa pulang?" Kekesalanku kembali memuncak. "Yaudah kalo itu mau Anda, Tuan David Guetta. Saya pergi, bye!"
Tempat berkumpul kami sebelum berangkat ke lokasi kemping itu di sekolah. Dan teman-temanku sudah teriak heboh memanggilku saat aku masuk ke pintu lobi.
"Riko ikut?" bisikku lirih ke Andhika saat aku sudah duduk disebelahnya. Mataku tadi menangkap keberadaan Riko yang kemudian cowok itu menyunggingkan senyum.
"Iya, dia aneh banget. Pas tau kalo lo ikutan, dia juga ikutan," balasku Andhika dengan bisikan juga.
Setelah Riko mengatakan kalo menaruh hati ke aku, dia tambah terang-terangan menunjukkan keberadaannya. Bukan sebelum itu dia nggak dianggap tampak, tapi emang dulu dia suka nggak menonjolkan diri di hadapan kami. Padahal kami nggak menggangu atau menyakiti dia. Kami juga melibatkan dia ke pembicaraan kami kalo pas dia ikutan berkumpul.
"Kita kan ber enam nih, pas dong duduknya dua-dua nanti di mobil," kataku Andhika menyita perhatian kami.
Ratih akhirnya ikut karena aku juga ikut. Dia nggak pengen ketinggalan betapa serunya kebersamaan kami.
"Ceweknya kan tiga, cowoknya juga tiga. Cewek cowok aja biar adil," kata Andhika lagi. Itulah kenapa dia dipilih buat jadi ketua kelas, jiwa kepimpinan dan jiwa ketegasannya dapet banget.
"Yaudah, gue sama Anna," ujar Wingki yang langsung berpindah tempat ke sebelahku.
"Enggak....gue mau sama Riko. Lo sama Kenya aja, atau sama Ratih..." kataku yang langsung dihadiahi tatapan nggak percaya dari teman-temanku. Sementara dari tempatnya berdiri, Riko mengulas senyum, yang kubalas dengan senyuman juga.

Comentário do Livro (536)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    FaqihahMazlan

    best gila

    1d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes