logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 7 Rencana Mendadak

"Makan yuk, sama Mas,"
Aku menghentikan gerakan pulpen, menatap Mas Dinar. Dia beneran ganteng tapi nggak bikin aku histeris. Aku cuma gemas sama kumis dan jambangnya. Nggak tau kenapa kalo lihat bulu-bulu itu, pengen banget ngelus-ngelus. Tapi nggak mungkin kan, aku nyelonong mengelus milik dia. Harga diriku rendah benget kalo begitu. Beda sama dia yang pernah tanpa izin mengelap bibirku.
"Enggak bisa Mas," Aku menolak. Kantin sekolah sudah tutup. Kalo dia mengajak aku makan, berarti harus makan di luar. Aku nggak mau ada murid sini yang memergoki aku berduaan sama Mas Dinar. Apalagi seragam batik sekolah yang kupakai, kentara banget kalo aku murid sini.
Raut wajah Mas Dinar tampak kecewa, tapi perlahan hilang, digantikan sama senyuman.
"Oke, nggak papa. Tapi besok, Mas berharap, Adek bisa makan sama Mas,"
Sumpah, aku geli mendengar dia mengucapkan panggilan begitu. Aku curiga, dia membahasakan dirinya 'Mas' itu cuma ke aku atau juga ke semua orang. Apalagi dia memanggilku sama sebutan 'adek', emang aku adiknya?
"Nama saya Anna," ujarku. Dia harus sadar kalo aku punya nama, dan nggak seharusnya dia membahasakan diriku dengan sebutan itu. Kalo terus-terusan geli, aku bisa muntah.
"Udah tau kok. Bibir kamu luka?" tanya Mas Dinar sambil mengamati bibirku. Sontak aku meraba bibir, dan merasakan perih pas jariku sedikit menekan benda itu. Kayaknya luka, karena aku demen banget ngelentekin kulit yang kering.
"Oh...nggak papa kok," jawabku.
"Merah banget loh, yakin nggak papa?" tanya Mas Dinar lagi sambil masih mengamati bibirku.
Aku malah refleks membasahi bibirku dengan lidah, dan itu lumayan perih. Tapi nggak papa, karena sudah sering begitu. Aku bodo amat saja dilihatin kayak gitu sama Mas Dinar.
Lipbalm yang bisanya kupakai sudah habis, dan aku lupa buat beli. Padahal aku sudah nggak perlu bingung lagi mau beli pakai apa.
"Ngapain sih Mas, biasa aja kali ngelihatnya," kataku nggak suka. Lama-lama risih juga dilihatin kayak gitu. Apalagi obyek yang dia pandangi itu bibir, bisa jadi bahan imajinasi liar kalo begini, dan aku nggak suka. Sudah cukup ngomongin bibir terus sama Mas Dinar. Aku malu.
"Oh iya, Mas minta w.a kamu dong," kata Mas Dinar akhirnya sambil mengalihkan matanya ke mataku.
Itu terdengar bukan seperti meminta, tapi memaksa. Mas Dinar tanpa izin merebut handphone yang kupegang. Aku berdiri, mencondongkan tubuhku, buat melihat apa yang dia lakukan.
"Sini, biar saya aja yang nge save-in," pintaku pas tau kalo dia membuka aplikasi WhatsApp-ku.
Mas Dinar nggak menghiraukan. Dia malah membuka WhatsApp di handphonenya, men-scan kode QR WhatsApp-ku.
Nggak sampai disitu, dia juga membalas pesan yang masuk dari WhatsApp-nya yang tadi dia kirimkan ke WhatsApp-ku. Menamai kontaknya dengan nama 'Mas Dinar', dan juga menscroll kontak WhatsApp-ku.
"Kontak w.a kamu cowok semua?" tanyanya dengan kening berkerut.
Aku merebut handphone dari tangannya, dan kembali duduk di kursi. "Teman saya kebanyakan cowok. Tapi, ada kok yang cewek? Mas jomblo? Mau cari pacar? Nomer w.a Ratih ada lo.." tawarku. Kalo Ratih tau aku menawarkan nomer w.a nya ke Mas Dinar, dia bakalan seneng banget, apalagi kalo keduanya save-save an.
Mas Dinar meletakkan handphone di meja, manik matanya bertemu dengan manik mataku. Bola mata Mas Dinar ternyata hitam banget.
"Nggak perlu. Kamu aja udah cukup kok,"
Aku memutar bola mata kesal. Bisa-bisanya Mas Dinar gombalin aku. Aku nggak mempan sama yang begituan.
Lagian ngapain sih dia melemparkan gombalan mautnya ke aku.
Kalo dia tertarik sama aku, aku nggak kaget. Karena aku nggak sekali ini saja menjadi bahan ketertarikan lawan jenis. Dan aku nggak melambung tinggi banget. Aku biasa saja.
Tubuhku proporsional, nggak tinggi banget, juga nggak pendek. Berat tubuhku juga ideal, kulitku putih, wajahku juga cantik. Aku masuk dalam kategori cewek cantik sesuai standar para cowok. Kata bapakku, aku cantik banget kayak Ibu. Apalagi, Mas Dinar sendiri pernah memuji aku cantik, sampai berhasil membuat aku melayang.
"Ngomong apa sih kamu Mas," kataku asal. Kalo dia emang lagi menunjukkan ketertarikannya ke aku, harusnya fikir-fikir dulu. Cewek cantik disini banyak, guru yang cantik, yang usianya sebanding sama dia juga banyak. Kok dia milih aku yang umurnya jauh banget di bawah dia. Aku kan masih bocah.
"Anna......" Teriakan keras membuat kami menolehkan kepala. Cowok itu dengan tergesa menghampiri kami.
"Lo belum pulang?" tanyaku ke cowok yang tadi memanggilku saat dia sudah tiba di depan kami.
"Udah, gue balik lagi karena mau voli," jawab Cleo dengan nafas tersengal. Baju seragamnya udah diganti sama baju club voli.
"Ada apa?" tanyaku.
"Ada yang nungguin lo di depan. Nggak tau siapa...mungkin kakak lo deh,"
Aku menanggapi ucapan Cleo dengan mata melotot. Bingung. Kakak aku? Kapan hidupnya?
"Naik,"
Aku diam, meredakan kebingunganku atas apa yang aku lihat. Mataku nggak sliweng kan. Om David tiba-tiba saja datang menjemputku di sekolah. Padahal aku nggak pernah memberitahu dia kalo aku sekolah disini.
"Naik," kata Om David untuk yang kedua kali. Aku bergegas naik di boncengan motornya. Dan lumayan susah karena aku pakai rok sementara motornya tinggi banget. Motor CBR warna merah, sama persis kayak motor ayahnya Wingki.
Aku nggak bisa naik kalo nggak pegangan sama yang lebih tinggi. Mau pegangan sama orang yang nyetir nggak berani. Takut, melihat tatapan matanya dari balik helm yang dia pakai, sejak aku keluar dari gerbang, tajam banget, kaya elang lagi memburu mangsa. Aku takut yang jadi mangsanya.
"Cepetan naik," katanya lagi yang kali ini dengan suara lebih keras.
Ya sudah kalo gitu, aku pinjam pundaknya sebentar. Om David sama sekali nggak terganggu dan nggak marah waktu aku memegang pundaknya yang keras. Aku jadi tambah yakin kalo dia patung tapi hidup. Semua bagian badannya keras banget.
"Pegangan," katanya usai aku berhasil duduk di boncengan motornya. Lalu motor melaju.
"Pegangan dimana?" tanyaku karena aku bingung mau pegangan dimana. Jok motornya nggak ada pegangannya dibelakang kayak motor pada umumnya.
"Terserah. Saya mau ngebut," Ucapan itu dia katakan seiring kecepatan motor bertambah. Membuat tanganku refleks menarik bajunya buat jadi pegangan.
"Jangan ngebut-ngebut dong, Om. Aku nggak pake helm nih, bisa mati aku kalo kecelakaan. Om nggak puas sudah buat bapakku meninggal, terus mau bikin aku ikut meninggal juga?" kataku keras menghalau angin.
Om David melirikku dari spion, lalu kurasakan kecepatan motor yang kami tumpangi melambat.
Nggak nyaman banget, pengen cepet sampai rumah. Berkali-kali aku menurunkan rokku yang tersingkap akibat angin yang menerpa kencang. Kaos kakiku pendek, jadi nggak ada yang menutupi betis jenjangku.
Aku bertanya dalam hati saat motor belok ke sebuah rumah makan. Lalu menyatakan pertanyaanku lewat suara ke Om David yang melepas helm. "Kok kesini? Bukannya pulang ya?"
"Turun," Bukannya menjawab pertanyaanku, Om David menyuruhku turun. Dan aku menuruti perintahnya lalu dia ikutan turun dari motor.
"Makan dulu, saya lapar." ujarnya sambil melangkah masuk ke rumah makan, meninggalkan aku yang pasang muka kesal. Aku mengentakkan kakiku di tanah, pembuktian kalo emang beneran kesal.
Aku pengennya cepat sampai rumah, terus mandi, terus rebahan. Badanku lengket banget, dan mukaku udah sumpek minta dibasuh air. Aku ragu buat masuk, nggak pede sama muka dan seragamku. Bukannya malu sama almamater sekolah, tapi malu kalo masih pakai seragam terus makan berdua sama om-om.
###
Aku mau tidur lebih cepat, karena besok mau kemping. Berangkatnya emang nggak pagi buta, tapi aku nggak mau jam tidurku terganggu karena harus bangun buat berangkat kemping.
Aku capek banget hari ini, pengennya dipijetin. Lalu tiba-tiba aku teringat bapakku. Bapak setiap malam aku pijetin. Aku kasihan karena beliau harus setiap hari banting tulang cari uang buat hidup kami.
Aku kangen sama beliau. Nggak terasa air mataku menetes saat teringat kebersamaan kami. Lalu aku terdiam, berdoa sama Tuhan, biar bapakku tenang di sana.
"Anna..."
Aku dipanggil, bersamaan muncul sosok yang memanggilku dari balik pintu. Dia nyelonong masuk ke kamar begitu saja tanpa izin dulu dariku. Bahaya, besok-besok aku harus mengunci pintu.
"Ikut saya," katanya singkat, habis itu dia pergi. Aku nggak bergeming, tetap stay di posisi rebahanku.
"Anna..."
Teriakan terdengar mirip orang lagi marah. Aku buru-buru bangun, menyusul Om David yang lagi berdiri menyandar di tembok. Tatapannya tajam menghunusku, membuat aku jadi gelagapan. Aku takut.
"Ambil itu,"
Aku langsung menuruti perintahnya. Mengambil paper bag yang teronggok di sofa. Aku nggak mau acara tidurku malam ini terganggu. Plis Tuhan, bukakanlah pintu hati Om David, biar nggak menyuruh aku melakukan hal yang bisa mengurangi jam tidurku.
"Pake bajunya, jangan lupa make-up sama peralatan yang ada disitu. Lima belas menit harus selesai," katanya lalu berlalu. Langkahnya menuju kamarku, dan aku tergesa mengikutinya.
"Aku harus ganti baju dimana kalo Om di kamarku?" tanyaku.
"Saya bakal nunggu di luar, dan kamu cepetan ganti baju,"
"Ngapain aku harus ganti baju coba? Kan aku nggak mau kemana-mana?" kataku sambil meniti tubuhku. Kaos pendek dan boxer itu pakaian rumah yang nyaman banget. Aku juga nggak butuh piyama buat tidur.
"Kamu harus ikut saya keluar. Dan itu bajunya," Tunjuknya ke paper bag yang kubawa.
Aku langsung mengeluarkan baju yang diberikan Om David, mengecek kayak apa baju yang dia belikan untukku. Emang dia tau ukuranku?
"Kok pendek? Dress lagi," protesku usai aku menempelkan baju ke tubuhku. Ukurannya sih kayaknya pas, tapi panjangnya cuma lima Senti diatas lutut. Aku emang biasa memakai celana pendek di rumah, tapi kalo keluar aku nggak terbiasa, dan selalu memakai celana jins panjang. Apalagi rok pendek, aku jarang pake bahkan nggak pernah. Nggak nyaman banget, takut ketiup angin kalo pas jalan.
"Lipstiknya harus pake ini?" Aku mengacungkan lipstik yang Om David beli ke arahnya yang lagi bersandar di samping pintu.
Aku akhirnya menyerah, karena nggak mungkin aku bisa menang melawan dia yang nggak mau ku protes. Menuruti kemauan Om David untuk memakai dress merah maroon, yang bagian pundaknya terbuka. Kayak nggak lagi pake baju rasanya.
Tapi aku mengakui, kalo selera baju Om David emang cocok banget di aku. Kulitku yang putih semakin bersinar saat beradu dengan warna merah.
"Ya pake yang itu," jawab Om David. Wajahnya datar, tatapannya nggak beralih dariku yang lagi bercermin merias diri. Dia juga memaksaku buat make up an, padahal aku nggak sepintar Ratih kalo lagi make up.
"Tapi bibirku udah merah, kayaknya nggak perlu deh," Aku berusaha menolak. Nggak mau mengoles bibir merahku sama warna lipstik yang nggak kalah merah.
"Cepetan dipake, waktu kamu hampir habis," kata Om David sambil melirik jam di tangannya.
Aku menghela nafas, mencoba untuk sabar sama orang yang sudah mengerjai ku malam-malam. Rencana buat tidur lebih cepat gagal total.
Aku nggak pakai semua make up yang Om David belikan, karena make up naturalku nggak perlu itu. Cuma warna bibir saja yang bold dan itu karena permintaan dari sang tuan yang punya rumah.
"Selesai," kataku sambil menghadapkan tubuhku ke arahnya. Om David mendekat buat menilai penampilanku. Aku nggak masalah sebenarnya, tapi matanya pas melirik ke dadaku membuat aku risih. Apa sih yang dia lihat dari bagian tubuh yang jelas nggak menggunung ini? Aku mengakui kalo emang dadaku rata, yang kadang jadi bahan candaan cowok-cowok di kelas, bilang kalo dadaku tepos.
"Emang rata gitu?" tanyanya tiba-tiba. Matanya sudah beralih ke mataku yang terbelalak karena kaget sama ucapannya.
Aku menyilangkan tanganku di dada dan membuang muka. "Gawan bayi," sungutku.
Aku sudah terbiasa diejek kalo dadaku rata, dan aku nggak marah. Beda banget rasanya kalo Om David yang mengejek. Rasanya, pengen menendang dia dari muka bumi. Kesal banget.
Om David mendekat, mengunci tubuhku di antara meja rias dan tubuhnya.
"Om jangan macam-macam ya," kataku mendadak takut. Aku sudah terbiasa berinteraksi dengan para cowok, dan nggak pernah berfikiran bakal terjadi yang enggak-enggak. Saking biasanya, aku bahkan lupa, kalo ternyata yang ada di depanku ini juga cowok, tapi beda usia. Yang jelas beda hormon, dan beda kepuasan.
"Aku tendang lo kalo Om macam-macam," kataku menakut nakuti.
"Saya nggak bakal nyium kamu," balas Om David dengan santai seiring tubuhnya menjauh karena tangannya sudah berhasil melepaskan ikatan rambutku yang kucepol tinggi. Dengan santai dia merubah tatanan rambutku menjadi tergerai, sementara aku bersungut karena kesusah payahanku menata cepolan itu berakhir sia-sia.
"Siapa juga yang ngarep di cium sama om-om," kataku sinis usai dia menjauh.
"Saya denger omongan kamu," ujar Om David dengan nggak membalikkan badannya.
Aku mencebik, lalu menjawab nggak mau kalah, "Syukurlah, berarti Om nggak tuli."

Comentário do Livro (536)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    FaqihahMazlan

    best gila

    1d

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes