logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 57 Ini Juga Saya, David

Dulu saat masih SMA, saya pernah minta ke Mama saya untuk dibuatkan adik. Saya waktu itu sudah besar, tapi kenapa saya bisa melakukan hal seperti itu. Kalian tau? Sama, saya juga tidak.
Saya iri sama teman-teman saya yang ketika nongkrong selalu mengajak adik perempuannya. Dari situ saya ingin memiliki adik perempuan juga, dan akhirnya meminta kepada Mama saya, yang dihadiahi dengan cubitan karena permintaan saya tidak masuk akal.
Sekarang, sepertinya Tuhan mengabulkan. Bukan memberikan saya adik seperti yang dulu saya minta, melainkan langsung memberi saya istri muda, yang kesannya bisa jadi adik bagi saya.
Saya sangat menyayangi istri saya. Saya selalu peduli dengan penampilannya, dan membelikan dress dress cantik agar dia bisa meninggalkan kaos dan juga boxer yang sama sekali tidak memperlihatkan kefeminiman.
Saya suka melihat Anna memakai dres, yang membuatnya terlihat sangat anggun. Meskipun memakaikan dia baju seperti itu sangat membutuhkan perjuangan, namun usaha memang tidak mengkhianati hasil.
Sore itu, Anna pulang dengan keadaan basah kuyup. Diluar memang hujan, dan saya tau gadis itu keras kepala dan tidak mau memakai jas hujan.
Saya hanya khawatir, jika dia bisa demam sehabis hujan-hujanan. Begitu dia sudah berada di kamar, saya langsung menyusul. Saya tidak bisa lama-lama mendendam keresahan.
"Saya tau pernikahan kita cuma status, tapi bukan berarti kamu lupa sama saya dan seenaknya ciuman sama laki-laki lain." kata saya langsung to the point.
Tadi, saya mendapat informasi dari Dasa. Tangan kanan saya itu selalu bisa diandalkan. Saya tidak bisa mengikuti kemanapun Anna pergi dan mengamati apa yang dia lakukan selama dua puluh empat jam. Maka dari itu, saya menyuruh Dasa untuk diam-diam mengikuti kemana saja gadis itu pergi.
"Kamu dengar omongan saya?" kata saya lagi karena dari dalam tidak ada jawaban.
"Iya. Aku gak budeg," jawab Anna akhirnya. Saya hanya butuh jawaban dan pengakuan. Gadis itu harus berani mengaku bahwa dirinya bersalah. Dia memang keras kepala, tapi meminta maaf adalah kewajiban yang harus dilakukan apabila berbuat kesalahan.
"Tapi, Om tadi ngomong apa? Aku lupa."
"Kamu emang gak budeg, tapi lola. Untung orang sekarang lebih mentingin goodlooking."
Gadis itu memang lucu, tapi juga menjengkelkan. Saya jadi teringat sama omongan orang, bahwa rata-rata perempuan cantik itu otaknya lambat mencerna.
"Om kalo nyindir langsung aja di depan aku, jangan dibalik pintu kayak gini." kata Anna lagi dengan nada kesal.
Pintu kamar saya buka, dan saya langsung masuk ketika melihat Anna sudah memakai baju.
"Saya udah bilang, kamu jangan gampangan sama laki-laki," kata saya lagi menjelaskan permasalahan. Itu sangat menganggu. Sebenarnya sudah berkali-kali saya memergoki dia berinteraksi dengan laki-laki lain. Membuat saya cemburu, terlebih laki-laki itu tak lain adalah Dinar.
"Siapa? Aku? Maksud Om aku cewek murahan gitu?"
"Saya gak bilang begitu."
"Om kenapa sih, kayak dendam banget sama aku. Om baru sadar ya, kalo aku cuma benalu bagi Om. Kenapa baru sekarang, gak sedari dulu aja terus gak usah nikahin aku. Kalo sudah begini, aku harus gimana? Mau ceraiin aku? Jadi, Om tega jadiin aku janda diusiaku yang masih delapan belas?"
Saya cuma diam merespon dengan menaikkan alis, memasang ekspresi bingung usai mendengar kalimat yang dia serukan sangat panjang. Saya malah ingin tertawa karena lucu dengan bibirnya yang manyun.
"Udah?" tanya saya ketika beberapa saat Anna hanya terdiam.
"Dulu saya kira, memiliki istri yang umurnya jauh dibawah saya itu bakalan mudah diatur. Tapi ternyata, saya harus menyiapkan banyak stok kesabaran," kata saya lagi.
Saya menepuk tempat sebelah saya, menyuruhnya untuk duduk, tapi dia tidak mau dan malah memepetkan tubuhnya ke dinding belakang.
"Saya memberikan kamu kebebasan untuk menikmati masa muda kamu. Tapi bukan berarti saya hanya diam ketika tau kamu ciuman sama orang lain."
Saya mengatakan itu dengan berat, karena menahan agar tidak membayangkan adegan laki-laki itu mencium istri saya. Rasanya sakit, setiap kali saya terbayang dengan adegan itu. Namun, saya harus bisa bertindak, agar istri saya jera, dan menghormati saya sebagai suaminya.
"Kenapa gitu? Aku emang gak tau Om David ngelakuin apa diluar sana. Bahkan bisa saja Om juga ciuman atau bisa seks sama perempuan lain, tapi yang jelas aku cuma diam kok gak mempermasalahkan." Dia membela diri, bahkan dengan melontarkan persepsi salah yang sama sekali tidak benar.
"Terserah bagaimana tebakan kamu ke saya. Tapi kamu harus tau, kalo saya sudah cinta sama kamu, saya gak akan melakukan kayak gitu."
Saya menatapnya tenang, membuktikan bahwa ucapan saya sungguh-sungguh.
"Maafkan saya belum bisa mendidik kamu sepenuhnya." Saya berdiri, menghampiri Anna. Saya langsung merengkuh tubuhnya membawa kepelukan.
Saya masih memberikan dia waktu untuk berfikir. Saya ingin, dia mengakui perbuatannya itu salah. Dia memang bocil, tapi dia sudah cukup dewasa dibanding anak TK.
"Aku minta maaf Om. Aku salah." katanya akhirnya. Memang benar, bocil ini bisa jika saya membimbingnya dengan benar.
"Gara-gara saya juga, kamu tau rasanya ciuman itu enak," Saya juga mengaku. Jika bukan karena saya yang mengajarinya ciuman, mungkin dia tidak akan ketagihan dan mau dicium siapapun asal mendapatkan kenikmatan.
"Jangan diulangin ya, saya kapanpun mau kalo kamu butuh obyek buat dicium." kata saya lagi yang berhasil membuat pipi miliknya merona. Pelukan saya lepaskan, dan tangan saya berganti mendongakkan dagunya.
"Cukup sekali itu saja, saya gak mau berbagi milik saya dengan orang lain." kata saya lagi lalu menyambar bibirnya. Tidak masalah saya egois, karena dia hanya milik saya.
Tidak bisa ditawar, karena itu sudah takdir Tuhan. Saya tidak bisa melepaskan Anna dari kehidupan saya. Saya sangat mencintai dia dan tidak mau kehilangannya.
###
Saya mengatakan kapada Anna, bahwa saya akan ke Surabaya sekitar satu minggu. Sebenarnya saya berat sekali meninggalkan dia, tapi apadaya ada pekerjaan penting yang tidak bisa saya tolak. Jujur, saya khawatir meninggalkan gadis itu sendirian, setelah salah satu ketakutan saya sudah terjadi.
"Janji kok." Itu yang Anna ucapkan sebelum saya pamitan pergi. Saya bisa saja mempercayai dia, tapi saya tidak bisa percaya dengan Dinar. Saya takut laki-laki bernama Dinar itu kembali menggangu istri saya.
Dua hari di Surabaya, saya sama sekali tidak bisa tenang. Meskipun kemarin malam saya sempat video call dengan Anna, saya tetap saja merindukan gadis itu.
Setelah pertemuan penting dengan direktur restoran yang akan berkerja sama dengan saya, saya memutuskan untuk pulang. Saya tidak bisa berlama lama lagi disana apalagi setelah tau, istri saya dalam bahaya.
Semalaman saya tidak bisa tidur, terus kepikiran dengan video yang dikirim oleh nomor tidak dikenal, tapi saya sangat yakin bahwa pengirimnya adalah Dinar.
Laki-laki itu selalu saja bertingkah. Selalu melibatkan saya di setiap tingkahnya, dan merugikan saya.
"Itu masih part 1, part 2 nya adalah adegan inti,"
Pesan yang dikirim bersamaan dengan kiriman video, membuat saya gelisah. Saya ingin memaki, menghajar, dan menendangnya. Semuanya akan saya akan lakukan untuk membuat Dinar jera.
Laki-laki itu berhasil memancing emosi saya. Saya tidak mau lagi membiarkan dia mencuri Anna selagi saya tidak ada disana. Saya tidak mau Dinar berbuat lebih dari yang dia lakukan divideo. Saya tidak mau, Anna dikotori dengan tangan laki-laki sialan seperti dia.
Saya akhirnya pulang setelah beramanat kepada Dasa untuk menggantikan peran saya dalam meeting selanjutnya.
Begitu tiba di Trenggalek, saya langsung ke sekolah Anna. Tepat sekali, saya datang ketika para murid pulang sekolah.
Awalnya mata saya tertuju kepada gadis kecil yang saya rindukan. Saya ingin memeluknya, tidak peduli jika saya sedang berada di sekolah. Saya ingin menghujani wajahnya dengan ciuman, juga ingin menghapus bekas bibir laki-laki lain dari bibirnya yang mungil.
Namun, ada obyek lain yang lebih membuat saya tertarik. Saya langsung menghampiri sosok yang sejauh ini selalu membuat saya naik pitam. Langsung melayangkan tinju, saya ingin menghajar sampai puas, tidak memperdulikan sekeliling, yang ramai para murid berteriak histeris.
"Gue gak tau salah gue dimana. Tapi lo bajingan kalo nyerang gue disini."
Amarah saya diujung tanduk. Laki-laki itu sok sok an tidak tau, padahal jelas dia pelakunya.
Saya ingin melayangkan tonjokan lagi, tapi Anna malah mendekati saya, dan berkata, "Om David ngapain sih, kuker banget. Gak malu apa dilihatin bocil,"
Saya diam, menatap tajam ke arah Dinar yang meringis kesakitan.
"Kayaknya dia mau ngasih tau seluruh sekolah, kalo Adek itu istrinya." respon Dinar dibarengi dengan senyum mengejek.
Rahang saya mengeras, tangan saya mengepal, tidak tahan lagi dengan Dinar. Laki-laki itu sangat bebal dan kurang ajar. Saya bersiap akan memukul lagi, namun Anna lebih dulu menggenggam tangan saya, dan mengajak saya keluar dari keramaian.
Saya tidak bisa langsung cerita kepada Anna, tentang alasan saya marah meskipun dia dengan menggebu-gebu menanyakan kepada saya. Saya cukup mendengarkan ocehannya yang malah membuat saya senang.
"Hah? Kosong?" Anna kaget ketika masuk ke ruangan atas tempat kerja saya. Saya maklum, karena dia belum tau alasannya kenapa saya sampai bisa mengosongkan ruangan, dan hanya menyisakan satu sofa tentu masih baru.
"Om resign?" tanya Anna. Gadis itu selalu aktif, dan itu yang membuat saya rindu.
"Saya gak mau ada bekas orang lain di ruang kerja saya." Penjelasan saya mungkin tidak bisa dicerna dengan baik olehnya.
"Aku minta maaf kalo bikin Om gak nyaman. Kemarin aku lupa mau bilang kalo aku sempat tiduran disini." Akunya. Bibir saya sedikit tertarik mendengar pengakuannya. Ternyata dia malah salah faham.
Saya tidak merespon dengan kata, namun malah memeluknya dari belakang, dan menyandarkan dagu saya di bahunya.
"Saya lebih percaya kamu, tapi saya gak bisa memberikan kepercayaan penuh." kata saya. Saya menemukan kembali kenyaman saat memeluk dia seperti ini.
"Tapi, aku gak nyolong apapun kok Om dari sini." Akunya lagi.
"Maafkan saya juga, saya lalai."
"Tapi Om gak salah. Aku yang salah soalnya gak izin dulu masuk kesini."
Saya memutar tubuhnya agar berhadapan dengan saya. Menyisihkan anak rambutnya yang riweh menutupi wajah, dan menangkup rahangnya, menyuruhnya menatap saya.
"Kamu faham sama yang saya omongin?" tanya saya.
Anna mengangguk. "Faham kok. Om lagi nyindir aku kan, yang kemarin kesini tapi gak bilang bilang. Aku wajar kok, kalo Om risih sampai menghilangkan semuanya soalnya gak mau ada bekasku. Mungkin juga disofa yang kemarin, ada ilerku. Hehehe."
"Bukan."
Sebenarnya, tidak papa membiarkan dia dengan persepsinya sendiri. Daripada memberitahu yang sebenarnya, dan dia akan merasa bersalah padahal itu murni kesalahan Dinar. Laki-laki itu yang membuat gara-gara.
Di perjalanan pulang, saya menelpon Sari. Saya langsung menyuruhnya untuk membuang segala perabotan yang ada di ruangan saya.
Saya tidak mau ada bekas Dinar di ruangan saya. Saya ingin mengosongkan semuanya, hingga tidak ada yang tersisa. Laki-laki itu sungguh picik. Sangat licik sekali hingga dia punya ide untuk melakukan adegan yang jelas membuat saya cemburu, di ruangan saya.
"Jadi, siapa?" tanyanya.
"Anjing." jawab saya saraya membayangkan wajah Dinar. Tidak papa mengatai laki-laki itu anjing, karena sebutan itu memang pantas untuknya yang suka menggonggong mencari perhatian korban.
"Anjingnya siapa sampai masuk kesini?"
Saya tidak menjawab, dan menggendong Anna, lalu kami duduk di sofa dengan posisi dia duduk dipangkuan saya.
"Aku tadi belum pesan makan Om," kata Anna.
"Gak perlu. Nanti kamu kenyang pas lihat saya makan,"
"Makan apa?"
"Makan kamu." jawab saya lalu mengecup bibirku singkat. Anna semakin meresahkan. Gadis itu bergerak gak tenang dipangkuan saya, membuat milik saya berontak ingin mencari udara segar.
"Boleh gak aku makan Om juga?" tanyaku. Ini buat formalitas biar imbang sama permainan Om David yang sok sokan mau jadi Sumanto. Ditambah lagi aku tergoda sama bibir tipis miliknya yang dikelilingi bulu halus.
Om David mengangguk, dia memejamkan mata pas aku bergerak lagi karena merasakan ada benda yang mengganjal dibawah sana.
Saya sudah tidak tahan, dan ingin segera menikmati hidangan. Melakukan seperti itu bersama Anna sangat membuat saya candu. Saya tidak bisa berhenti untuk terus memuaskan dia, hingga dia mendesah menyerukan nama saya.
Saya puas, tidak peduli dengan milik saya yang sebenarnya ingin dipuaskan juga. Untuk saat itu, saya tidak mau mengajari Anna hal-hal dewasa meskipun nanti akan sangat berguna demi keharmonisan rumah tangga.
Bagi saya, membuatnya menyerah puas itu cukup. Saya selalu tidak pernah memaksa jika dia harus melepas keperawanannya saat itu. Dia bisa menyuruh saya berhenti dan saya akan berhenti. Saya tidak egois, karena saya juga tidak tega ketika melihat dia menahan perih saat milik saya masuk ke miliknya yang sempit.
"Aku siap Om, masukin sampe mentok. Ayo."
Namun saat itu beda. Anna memohon dengan wajah memerah dan terlihat sangat ingin sekali saya masuki. Saya tidak bisa menahan lagi, karena itu kemauannya.
"Perih, ya Tuhan tolong. " rintihnya pas ujung benda itu masuk. Saya tidak tega, melihat dia menahan perih. Matanya memejam, serius sekali sedang merasakan keperihan.
"Aku gak kuat. Ini sempit dan sakit banget. Hiks hiks." Saya berhenti, tidak jadi melesakkan milik saya masuk. Gadis itu sangat kesakitan, dan mengaduh tidak kuat untuk lanjut. Saya tidak memaksa, meskipun bagi saya itu rasanya nanggung dan juga sakit karena tidak jadi terpuaskan.
"Maafin aku, ini sakit tapi enak. Tapi aku gak berani, nanti sobek gimana. Punya Om besar banget," keluhnya yang ingin membuat saya tertawa. Saya bertanya-tanya, apa itu sebuah pujian bagi saya atau bagaimana.
Saya merebahkan tubuh miring disampingnya.
Tangan saya menangkup wajahnya, menyuruhnya menatap saya. Saya tersenyum, dan mencium keningnya sangat lama. Itu sebagai bukti, bahwa saya sangat menyayangi sepenuh hati.
"Itu telepon," katanya ketika suara nyaring dari handphone mengalihkan perhatian kami.
Saya langsung bangkit, ingin tau siapa yang menelpon. Setau saya, Anna tidak pernah menerima atau menelpon seseorang. Namun saya tidak terlalu tau, karena gadis itu sangat pintar menyembunyikan rahasia.
"Dinar sialan." Saya mengumpat. Saya tidak bisa lagi membendung kekesalan, setelah tau bahwa nama itu juga hadir sebagai sang penelepon.
____
Bentar lagi tamat. Hore, akhirnya author bisa tidur nyenyak.

Comentário do Livro (535)

  • avatar
    Dwi Sulistiowati

    ceritanya bagus.. alur ceritanya ngalir begitu aja.. berasa kita ikut masuk ke dalam ceritanya .. 👍👍👍👍👍

    26/03/2022

      1
  • avatar
    FaidahIndah

    kak seru bangett, kadang gak sadar ikut ketawa2 sendiri 😂😁😁 semangat terus ya. lanjut terus nulis nya❤️

    05/12/2021

      0
  • avatar
    ApriliaNadira

    membosankan

    21/08

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes