logo text
Adicionar à Biblioteca
logo
logo-text

Baixe este livro dentro do aplicativo

Capítulo 12 Dua belas

Kakek berdiri di tepi kolam dengan tangan yang terlipat di dada, mata nya dengan ramah menatap teman-teman Wahyu yang melongo menatap nya.
Feri Dirgantara. Tidak ada yang tidak mengenalnya bagi mereka yang berkutat di bidang olahraga. Mantan atlet renang yang nama nya paling di cari di tahun akhir 80-an, sekarang merangkap sebagai pelatih atlet renang profesional.
Sempat berhenti di pertengahan karir nya harena harus mengurus pemakaman istri nya yang berpulang terlebih dahulu. Lalu setelah setahun lama nya, beliau kembali muncul di TV sebagai pelatih pro.
Wajah nya masih terlihat tegas walau pun guratan halus sudah terlihat di pipi nya. Tubuh nya tercetak jelas di balik kaos ketat yang dia kenakan, celana bahan hitam yang dia kenakan terlihat sangat pas dia pakai. Tidak ada yang akan menduga jika dia sudah berumur 60 tahun lebih.
“Aku kakek nya Wahyu. Dia bilang teman-teman nya sedang berlatih, tidak keberatan jika aku dan anak ku yang melatih kalian?” Kakek masih tersenyum. Dia menoleh pada anak nya yang berdiri di samping nya.
“Saya Dewa Dirgantara, senang bisa melatih kalian.” Ayah membungkuk sopan, wajah nya yang terlihat kaku dia paksa senyum. Pakaian nya sudah dia ganti dengan celana training milik Wahyu, atasan dia menggunakan kaos longgar bewarna hitam.
Arga keluar dari kolam renang. Menyalami kakek dan ayah dengan antusias, senyum nya tidak memudar sedari tadi. “Senang bertemu kalian.”
Arga terus bergumam, menyuarakan hal yang aneh sambil menatap mereka kagum. Dia tau jika kakek nya Wahyu adalah pelatih, hanya saja dia tidak tau jika yang di maksud adalah pelatih ternama yang terus berseliweran di TV.
Dewa Dirgantara. Mantan atlet renang sebelum banting stir menjadi atlet lari, beberapa kali memenangkan kejuaraan dan pernah mendapat medali emas saat ikut SEA Games. Sekarang beliau sedang membangun perusahaan kecil di bidang olahraga, membuat alat yang akan membantu atlet saat berlatih.
Wahyu berjongkok di depan pintu, mendongak pada Raka yang bersandar di pembatas kaca. “Kenapa enggak bilang kalau kakek mau kesini?”
“Gue nggak tau apa-apa. Kakek cuman bilang mau ke suatu tempat, nggak bilang kesini.” Raka ikut menghela napas, dia menatap sang kakek malas.
“Paling enggak gue bisa ‘nyelametin’ mereka dulu.”
“Selametin diri lo dulu. Lo nggak bisa lepas dari latihan kakek nanti. Kecepatan renang lo menurun, lo abis di bantai kakek.”
Wahyu mendongak, menatap Raka sinis. “Yang mati nggak gue aja, kakek pasti maksa lo buat latihan bareng gue. Perlu gue ingetin, renang gue lebih baik dari lo.”
Raka menyenggol kaki Wahyu, membuat nya sedikit oleng lalu jongkok dengan benar lagi. “Cuman di gaya bebas. Selain itu, lo masih di bawah gue.”
“Wajar. Lo kakak gue disini.”
“Kita cuman beda setahun, nggak ngaruh gue kakak lo atau bukan.” Mengabaikan. Wahyu berdiri. Berjalan ke dalam rumah, menghampiri bunda nya yang sibuk menyiapkan camilan bersama dua perempuan berjilbab lebar.
“Wahyu itu gampang sakit, kena hujan dikit aja dia langsung sakit. Apalagi kakak nya, si Raka itu kalau udah di dalem air lebih dari 4 jam besok nya langsung nggak bisa gerak.”
“Bunda,.” Raka menyela. Wahyu menoleh menatap nya, Raka mengikuti nya ternyata.
“Nggak baik buka aib anak sendiri.” Raka duduk di kursi dapur dekat bunda, mengambil kripik pisang lalu memakan nya. Bunda tersenyum, mengelus rambut anak nya sayang. “Raka emang pemalu. Wahyu, sini nak.”
Wahyu mendekat. Duduk di meja dapur, membelakangi Nameera dan Dewi, menatap nyalang pada Raka yang terus-terusan menatap Nameera. Tangan nya terulur, mendorong dahi Raka keras dengan telunjuk nya. “Jaga mata!”
Nameera yang melihat nya menahan napas, terkejut. Dia sudah risih sedari tadi saat Raka datang dan duduk di depan nya. Dia tau saat Wahyu duduk di meja, dia ingin menegur Raka. Hanya saja dia tidak menyangka jika Wahyu berani berlaku kasar pada kakak nya. “Mas!”
Raka mengambil remahan kripik, melempar nya pada Wahyu. “Siapa? Pacar lo?”
Wahyu turun, mencekik leher Raka dari belakang. Membuat Raka mau tidak mau harus turun dari kursi, tangan kiri nya memegang tangan Wahyu, satu tangan nya lagi dia gunakan untuk menarik kepala Wahyu.
Wahyu menarik nya dari belakang, terjatuh saat kaki nya tidak sengaja tersandung kaki Raka. Dewi histeris, meminta bunda untuk melerai mereka. “Tante, itu anak nya-“
“Nggak pa-pa. mereka dari kecil sering begini, biarin aja.” Bunda bersikap santai. Mengeluarkan tahu kulit dari plastik kresek, memindahkan nya ke toples yang dia ambil di atas rak tadi.
“Terlalu cantik, lo nggak bisa-“ Raka berhenti bicara saat Wahyu mengatupkan rahang nya paksa. “Diem lo.”
“Nggak bisa nembak cewek sok-sok an punya pacar.” Geram. Wahyu membalikkan tubuh Raka menjadi tengkurap, menekan tangan Raka ke belakang dengan satu tangan, dia duduk di paha belakang Raka, membuka kemeja yang Raka kenakan lalu mulai menyentuh area pinggang nya. Membuat Raka tertawa sambil menahan umpatan.
“Sorry… Ampun!... Sorry woi!... Wahyu!” Raka menceracau, dia tidak berhenti bersuara. Sesekali meminta bunda untuk membantu nya.
“Raka! Wahyu!” Mereka berdua mendongak bersamaan, kakek memanggil nya. Wahyu melepaskan cekalan nya, dia berdiri. Berbalik menatap Nameera. “Kita bicara nanti.”
“Jalan, cepet!” Raka ikut berdiri, meninju lengan nya pelan lalu berlari saat kakek meneriaki nama nya lagi.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 3.29. Mereka selesai shalat berjamaah.
Latihan yang mereka lakukan lebih singkat dari biasa nya, tapi entah kenapa rasa nya mereka lebih lelah dari latihan-latihan sebelum nya. Setelah mandi dan menjemur baju, mereka tiduran di ruang tamu. Tidak laki-laki, tidak perempuan. Mereka sama sama memejamkan mata nya.
“Dilatih sama pelatih pro emang beda.” Arga bersuara pelan. Mereka mendengarkan, tapi tidak ada yang menyahuti ucapan nya.
“Enggak bapak nya, enggak anak nya. Gila semua.” Arga masih mengeluh. Dia membuka ponsel nya, membuka play musik lalu memainkan lagu dengan volume kecil. Dia taruh ponsel nya di samping nya.
“Mantan atlet di lawan.” Gilang menyahut. Dia hampir tertidur tadi jika Arga tidak bersuara.
“Lengan kamu! jangan angkat terlalu tinggi kepala kamu. Raka! Lengan!” Arga membuka mata, menoleh ke asal suara. Arga terperangah. “Gila! Keluarga gila olahraga ya ini! Kakek nya pelatih, ayah nya mantan atlet, kakak nya belajar renang di universitas khusus atlet, si Wahyu sendiri belajar jadi pelatih.”
“Wes mati aku kalau gini terus.” Gilang mengeluh.
Nameera datang dengan piring berisi cemilan di kedua tangan nya. Dewi di belakang nya dengan nampan berisi minumam. Bunda mengikuti nya dengan kotak medis berisi vitamin dan 2 pak koyo. “Mereka waktu awalan di latih juga gini. Aku bawa in koyo, biar badan nya enggak terlalu pegel.”
Arga merubah posisi nya menjadi duduk, di ikuti dengan yang lain. Mereka menjaga sopan santun pada orang yang lebih tua. “Makasih tante.”
“Raka udah semester berapa tante?” Rere bertanya dengan suara manis. Ganjen. Teman-teman nya yang lain sudah menduga nya. Tidak mendapatkan adik nya bukan berarti dia tidak bisa mendapatkan kakak nya. Lagipula Raka terlihat seperti laki-laki kebanyakan, lirik perempuan sana sini tanpa mempedulikan jika itu termasuk tidak menghormati nya.
“Semester 5 ini. Nggak tau nanti lulus apa enggak, Raka emang sering main-main kalo di sana.” Bunda menjawab. Dia ikut tersenyum ramah pada Rere.
“Enak ya tante. Punya anak 2 cowok semua.” Arga yang mendengar suara sok akrab Rere mendengus. Tidak habis pikir dengan apa yang di pikirkan perempuan ini. Arga mengabaikan, dia mengambil air minum di depan Nameera.
“Anak aku 3 loh. Cuman anak aku yang pertama nggak bisa ikut. Bentar lagi ada pertandingan, maka nya sibuk latihan sama pelatih nya.”
“Renang, te?”
Bunda menggeleng. Dia tersenyum manis pada Arga yang sibuk meniup the hangat buatan nya. “MMA.”
“Enak amat punya anak 3 cowok semua.” Rere merespon.
“Cewek kok.”
Arga tersedak. Dia menatap bunda tidak percaya. “Atlet juga?”
Bunda mengangguk. “Cuman aku orang normal di rumah.”
“Dari kecil dia udah suka bela diri. Terus pernah waktu masuk SMP ada yang gangguin dia, dia hajar sampe babak belur. Besok nya kakek nya bawa dia ke pelatihan MMA, kata nya kalau mau bertarung harus ada aturan nya.” Bunda menjelaskan.
“Dulu juga pernah adu tinju sama Raka, cuman Raka nya kalah, masuk ke kamar aku ngadu sambil nangis. Itu kayak nya waktu masih SD, kalo nggak salah kelas-“
“Bunda. Aib, bun!” Bunda menoleh ke asal suara. Raka berdiri di depan pintu kamar Wahyu, napas nya tidak teratur dengan gelas kosong di tangan nya. Wajah nya terlihat lelah, kulit nya lebih putih dari biasa nya, mengkeriput tanda jika dia sudah mulai kedinginan. Raka hanya memakai bawahan celana renang pendek selutut milik Wahyu. Membiarkan air mengalir di tubuh nya dan berakhir membasahi lantai.
“Raka. Kamu basahin lantai, nanti kalau Wahyu marah gimana?” Bunda menegur. Dia berdiri, hendak berjalan menghampiri anak nya sebelum suara teriakan Wahyu terdengar.
Raka berbalik, berjalan menuju ke asal suara. Bunda berjalan cepat menuju kolam renang, wajah nya terlihat khawatir. Teman-teman mengikuti nya dari belakang. Berhati-hati agar tidak terpeleset saat melewati genangan air yang Raka buat.
Nameera tidak kalah panik. Dia bahkan rela menaikkan gamis yang dia pakai agar lebih leluasa berlari. Pikiran nya sudah berkecamuk, takut hal-hal aneh terjadi pada Wahyu.
Tapi saat sampai di pintu kaca pembatas antara dapur dan kolam renang, dia melihat Wahyu memejamkan mata nya sambil telungkup dengan raut wajah kesakitan. Ayah nya menduduki kaki nya yang terus meronta sedangkan kakek memijat punggung, menekan di satu titik yang langsung membuat Wahyu menjerit kembali.
Wahyu membuka mata nya yang langsung bersitatap dengan mata Nameera. Mengepalkan tangan nya saat kakek menekan punggung nya lagi.
Tubuh nya sakit luar biasa, tangan nya terkepal erat menahan jeritan yang enggan dia suarakan. Tapi tak ayal Wahyu merasa senang, Nameera disana, menatap nya dengan pandangan khawatir dan kedua tangan yang menutupi mulut nya, sesekali perempuan itu berjengit saat Wahyu mengerang kesakitan.
Melihat Nameera mengkhawatirkan nya saja sudah terasa menakjubkan bagi nya.
“Punggung nya terlalu kaku. Maka nya kakek nyoba lemesin.” Raka menjelaskan. Dia langsung kabur ke dapur saat kakek memanggil adik nya itu untuk telentang di tepi kolam, mendapat pijatan di bahu nya saat dia merasakan keram.
“Kurang latihan ya gitu. Latihan dikit otot nya langsung keram.” Raka bergumam dengan nada yang terdengar merendahkan. Dia hendak berbalik, meletakkan gelas yang entah kenapa sedari tadi masih ada di genggaman nya.
Namun suara kakek yang terdengar menakutkan bagi nya menghentikan pergerakan nya. Dia berbalik takut-takut saat kakek memanggil nama nya. Beliau sudah berdiri, Wahyu juga sudah terbaring pasrah di lantai. semua tatapan tertuju pada Raka saat kakek mulai bicara. “Kamu selanjutnya. Otot kamu lebih tegang dari punya Wahyu.”
Mati!

Comentário do Livro (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    2d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • Ver Todos

Capítulos Relacionados

Capítulos Mais Recentes